Perekonomian nasional tahun ini, year on year, diperkirakan hanya tumbuh 2,3%, jauh lebih rendah dari asumsi APBN 2020 sebesar 5,3%. Bahkan dalam skenario berat, ekonomi Indonesia bisa minus 0,4%. Perlambatan ekonomi dalam level ekstrem adalah bencana. Jika ekonomi terpuruk, angka kemiskinan dan pengangguran akan membengkak. Risikonya, ledakan jumlah penduduk miskin dan penganggur sangat rawan memicu gejolak sosial yang bisa menyeret bangsa ini ke ranah konflik.
Menurut hitungan pemerintah, jumlah penduduk miskin akan bertambah 2 juta orang pada akhir 2020, dari posisi 24,79 juta orang (9,22%) pada September 2019. Sementara itu, jumlah pengangguran diestimasikan akan bertambah 4,2 juta orang dari 7,05 juta orang (5,25%) pada Agustus 2019. Ancaman meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan tentu bukan isapan jempol semata. Saat ini saja, sekitar 2 juta pekerja di berbagai sektor, terutama sektor manufaktur, transportasi, pariwisata, dan ritel sudah dirumahkan dan di-PHK.
Yang kehilangan mata pencarian bukan cuma para pekerja formal. Pandemi corona juga telah membuat para pekerja informal, terutama di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tak lagi bisa mengais rezeki akibat diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dan jika ditelisik lebih mendalam, para pekerja informal justru lebih terdampak, karena mereka melakukan kegiatan ekonomi yang membutuhkan interaksi fisik atau interaksi langsung. Padahal, jumlah pekerja informal di negeri ini lebih banyak dibanding pekerja formal, yaitu 70,49 juta (55,72%) berbanding 56,02 juta orang (44,28%).
Memang, bagaimanapun publik perlu mengapresiasi langkah-langkah yang sedang ditempuh pemerintah agar mesin ekonomi tetap menyala di tengah pandemi corona. Bila ekonomi tetap tumbuh, angka kemiskinan dan pengangguran tidak akan bertambah signifikan. Misalnya, salah satu program yang disiapkan pemerintah adalah memberikan subsidi bunga kredit kepada 60,66 juta UMKM terdampak Covid-19, dengan anggaran Rp 34,15 triliun. Program ini digariskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Subsidi bunga kredit bagi UMKM merupakan rangkaian dari stimulus yang dikeluarkan pemerintah pada masa pandemi corona. Pemerintah telah menggelontorkan stimulus fiskal senilai total Rp 438,3 triliun, terbagi atas stimulus I, II, dan III masing-masing Rp 10,3 triliun, Rp 22,9 triliun, dan Rp 405,1 triliun. Dan stimulus III ditujukan langsung untuk memerangi Covid-19 dan menekan dampaknya terhadap perekonomian. Stimulus III meliputi Rp 75 triliun untuk insentif tenaga kesehatan dan penanganan kesehatan, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan industri, serta Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi.
Subsidi bunga kredit bagi UMKM diberikan dalam bentuk penempatan dana pemerintah di bank pelaksana atau bank yang menyediakan dana peyangga likuiditas. Bank-bank itulah yang kelak melakukan restrukturisasi kredit atau memberikan tambahan kredit modal kerja. Setidaknya, pemberian subsidi bunga kredit bagi 60,66 juta UMKM bisa menjadi obat penahan sakit di satu sisi dn bisa membuat ekonomi kembali menggeliat di sisi lain. Apalagi, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 60%. Dan sekitar 97% pekerja di Indonesia ada di sektor UMKM yang jumlahnya sekitar 58 juta unit.
Selain subsidi bunga, program restrukturisasi kredit yang digulirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu juga diuatamakan untuk UMKM. Dari data OJK, hingga 24 April 2020 terdapat 74 bank yang telah merealisasikan restrukturisasi kredit milik 1,01 juta debitur dengan nilai Rp 207,22 triliun. Jumlah debitur dan nilai kredit yang direstrukturisasi perbankan dipastikan akan terus bertambah, mengingat ada 101 bank di Tanah Air yang telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan restrukturisasi kredit kepada debitur terdampak Covid-19. Kabar baiknya, debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mendominasi program restrukturisasi kredit. Jumlah pelaku UMKM yang kreditnya telah direstrukturisasi mencapai 819,9 debitur, sedangkan non-UMKM sekitar 199,4 debitur.
Program restrukturisasi kredit kepada debitur terdampak Covid-19 sangat perlu didukung karena merupakan salah satu upaya OJK untuk memelihara fungsi intermediasi perbankan terhadap sektor riil. Tujuannya tiada lain untuk menyelamatkan sektor riil, sekaligus menjaga ketahanan sektor perbankan di tengah pandemi corona. Jadi selain memberi keringanan kepada sektor riil, OJK juga memberikan kemudahan kepada perbankan. Di sisi perbankan selaku kreditur, OJK menetapkan debitur yang masuk stage 1 tidak perlu tambahan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) alias tidak terlalu membebankan perbankan. Di sisi sektor riil sebagai debitur, OJK antara lain menetapkan penilaian kualitas kredit hingga Rp 10 miliar hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok atau bunga. Debitur juga diberi penundaan atau keringanan pembayaran angsuran melalui program restrukturisasi dengan jangka waktu maksimal satu tahun.
Mengingat pentingnya kebijakan ini untuk meningkatkan daya tahan UMKM dan perbankan, publik perlu mendukung pemerintah agar bekerja all-out dalam melaksanakan program ini. Karena sukses atau tidaknya program pemberian subsidi bunga kepada UMKM pun program restrukturisasi kredit akan turut menentukan geliat ekonomi ke depan mengingat porsi kontribusinya pada perekonomian nasional yang sangat besar. Oleh karena itu, administrasi dan tata kelola yang baik (good governance) dari kebijakan ini harus benar-benar diperhatikan.
Pertama, pemerintah harus memastikan program ini bebas dari virus aji mumpung (moral hazard) dan KKN. Sepanjang pemerintah bisa menjamin program ini bebas dari moral hazard dan KKN, public tentu perlu mendukungnya. Kedua, pemerintah perlu meyakinkan publik bahwa subsidi bunga kredit bagi UMKM adalah upaya lain pemerintah untuk menyelamatkan bank dari kebangkrutan, mirip Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada era Orde Baru. Sehingga kriteria yang ketat bagi para bank pelaksana--seperti harus dalam kondisi sehat, masuk kelompok 15 aset terbesar, dan 51% dimiliki WNI—harus benar-benar dijalankan secara konsisten dan persisten. Setidaknya, prasyarat yang demikian dianggap cukup untuk mengawal program pemberian subsidi bunga kredit kepada UMKM.
Dan ketiga, soal transparansi. Masyarakat dan kalangan masyarakat sipil bisa ikut mengawasi selama ada keterbukaan informasi. Tujuannya adalah agar program ini dilaksanakan dalam semangat pelayanan kepada pembayar pajak dan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Justifikasi kedaruratan dan pandemic sejatinya bukanlah justifikasi yang “masuk akal” dan bermoral untuk bekerja di luar pengawasan public. Oleh karena itu, apapun program dan kebijakan yang dibiayai oleh APBN dan yang diambil dalam masa pandemik, akuntabilitas publik harus tetap dikedepankan.
Nofi Candra, Anggota DPD RI 2014-2019