Oleh: Wendra Jumardi
Beberapa dari kita mungkin sudah familiar dengan konsep yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Namun demikian, tidak ada salahnya untuk mengulang dan mengulas kembali bagaimana pemahaman tentang manusia terus berkembang.
Dari dulu hingga sekarang, pembahasan mengenai manusia tidak pernah berakhir. Bahkan, sebagian filsuf dan antropolog kerap ragu membahas manusia karena manusia adalah entitas yang kompleks untuk dikaji. Manusia menjadi objek sekaligus subjek penelitian, yang tentu membuat pencapaian objektivitas menjadi sulit.
Secara teoretis, masalah manusia mungkin adalah yang paling sulit dalam sejarah. Bukan karena ketidakmampuan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang dirinya, melainkan karena adanya begitu banyak jawaban. Pertanyaan seperti "siapa manusia itu?", "apa yang dimaksud dengan manusia?", "apa tujuan keberadaannya dan mengapa ia ada?" dapat dijawab melalui berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, antropologi, sosiologi, linguistik, dan sebagainya.
Namun, manusia juga digambarkan melalui seni rupa, sejarah, dan sastra. Meskipun beberapa dari pertanyaan tersebut dapat dijawab, jawaban yang diberikan sering kali hanya berputar dalam lingkup perspektif masing-masing disiplin.
Mencari jawaban atas pertanyaan tersebut bukanlah tugas yang mudah. Ragam pemaknaan tentang manusia telah menyebabkan krisis identitas. Ada terlalu banyak teori tentang manusia sehingga kita sering kali sulit memahami siapa kita sebenarnya.
Beberapa tokoh, seperti Alexis Carrel seorang doktor ahli bedah kelahiran Lyon, Perancis, berpendapat bahwa mengkaji manusia adalah suatu kemustahilan. Peraih Nobel Fisiologi pada tahun 1912 ini menyatakan bahwa manusia adalah misteri bagi ilmu pengetahuan. Sejak awal tradisi ilmu pengetahuan yang dibangun oleh para filsuf Yunani Kuno hingga saat ini, banyak teori telah ditemukan untuk menjelaskan hakikat manusia.
Dimulai dari adagium klasik "Gnoti Seauton Kei Meden Agam" (kenali dirimu sendiri, dan jangan berlebihan) yang diyakini diucapkan oleh Sokrates 25 abad silam. Ini menandai transisi perbincangan dari kosmologi menuju antropologi. Pada masa Abad Pertengahan di Barat, kerangka teoritis tentang manusia mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai dogmatis.
Lalu, di masa Modern, terjadi kebebasan intelektual yang sebelumnya terkungkung. Berbagai definisi muncul untuk menjelaskan hakikat manusia. Ada yang menyatakan bahwa manusia bersifat material, ada yang berpendapat sebaliknya, dan ada pula yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah dualitas. Beberapa pandangan lainnya menekankan bahwa hakikat manusia terletak pada vitalitas yang ada dalam diri manusia, yaitu daya kehendak.
Dari sekian banyak pandangan di atas, kalangan agamawan mungkin dapat memberikan perspektif bahwa pengetahuan yang beragam tentang manusia ini disebabkan oleh fakta bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam penciptaannya mengandung roh Ilahi. Manusia tidak diberi pengetahuan tentang roh, kecuali sedikit. Jika ini dapat diterima, maka jalan untuk mengenal siapa manusia sebaiknya merujuk pada wahyu Ilahi agar kita menemukan jawabannya.
Dalam Al-Quran, ditemukan beberapa istilah yang menggambarkan manusia. Setidaknya ada empat istilah, yaitu ناس (naas), انسان (insaan), انس (ins), dan بشر (basyar). Masing-masing istilah ini digunakan sesuai dengan kualitas manusia dan menjadi ukuran level kemanusiaan. Mulai dari taraf terendah, yaitu "basyar," yang merujuk pada aspek fisik manusia.
Secara harfiah, "basyar" berarti kulit atau bisa juga diartikan sebagai yang diciptakan dari tanah. Inilah yang menyebabkan Iblis enggan sujud kepada Adam. Iblis hanya melihat Adam dari sisi luarnya saja, "Aku tidak akan sujud kepada basyar yang diciptakan dari tanah lempung yang dibentuk" (QS. Al-Hijr: 33).
Iblis tidak melihat kualitas yang tersembunyi di balik tanah tersebut. Oleh karena itu, guyonan Fahruddin Faiz yang penuh makna menyadarkan kita untuk tidak menyerupai Iblis. Jika kita hanya melihat seseorang dari penampilan fisiknya saja, berarti kita mirip dengan Iblis. Jika kita mencintai seseorang hanya karena fisiknya, kita menggunakan metodologi yang sama dengan Iblis dalam mencintai.
Berikutnya adalah level "ins." Dalam bahasa Arab, "ins" berarti "jinak." Perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah bahwa manusia bersifat jinak, yang berarti beradab. Ia dapat diatur, mau diatur, dan patuh pada aturan.
"Ins" merupakan salah satu fitrah manusia. Jika manusia bersifat beringas, menentang aturan, dan menjadi pembangkang, maka ia melanggar fitrahnya sendiri. Pada saat itu, manusia lupa bahwa ia adalah ciptaan Tuhan yang diperuntukkan untuk mengabdi kepada-Nya. Kata "ins" ini terdapat dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."
Ketiga adalah kata "insaan," yang sering digunakan untuk manusia yang telah menemukan jati dirinya. "Insaan" adalah sebutan untuk membedakan manusia dengan makhluk lain. Manusia dibekali akal budi sebagai modal utama yang harus digunakan sebaik mungkin.
Dengan bekal ini, manusia menjadi mahakarya yang Tuhan pamerkan kepada makhluk-Nya yang lain. Malaikat dan Iblis diperintahkan untuk sujud kepada manusia karena ia diberi karunia akal budi. Karena bekal ini pula, manusia menjadi mukallaf, yaitu manusia dimuliakan karena ke-insaan-nya dan menjadi hina ketika melalaikannya.
Tuhan memuliakan kita dengan segala fasilitas yang membuat kita berharga, seperti akal, pancaindra, intuisi, imajinasi, dan seterusnya. Tapi, pemuliaan itu ada implikasinya. Manusia jadi mukallaf, ia punya tugas, ia (kita) punya kewajiban-kewajiban, punya tanggung jawab baik secara vertikal maupun horizontal.
Keempat, ada kata "naas," yang mencakup kategori manusia secara umum. Kata ini merujuk pada pemaknaan manusia dalam konteks jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. "Naas" juga mengandung dimensi sosial, agar manusia saling mengenal. Kata ini berkaitan dengan sifat-sifat kolektif dan sosial, serta ketentraman dan kesetaraan hak antar sesama manusia.
Demikianlah penjelasan tentang kemanusiaan dalam tulisan ini. Barangkali terdapat kekurangan, dan kami memohon para pembaca yang budiman untuk menambahkan. Membahas kemanusiaan tidak cukup dengan opini singkat seperti ini, karena kemanusiaan akan terus berkembang. Sebagai manusia (insaan), kita memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan kebaikan demi kebaikan kepada siapa pun dan apa pun. (*)
Penulis: Wendra Jumardi (Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)