Langgam.id - Nama Sutan Sjahrir pada awal-awal kemerdekaan disebut dalam satu rangkaian dengan Sukarno-Hatta. Ia menjadi perdana menteri pertama Indonesia ketika republik baru lahir.
Namun, jauh sebelum itu, Sjahrir sudah terlibat intens dalam pergerakan Indonesia merdeka. Sejak jadi siswa sekolah menengah di Bandung, bersama Hatta di Belanda dan meneruskan perjuangan sepulang ke Tanah Air.
Sjahrir lahir di Padang Panjang pada 5 Maret 1909, tepat 110 tahun yang lalu dari hari ini, Selasa (5/3/2019).
"Sjahrir lahir di perumahan jaksa di Air Mata Kucing, jalan utama kota itu," tulis Rudolf Mrazek dalam biografi 'Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia' (1996).
Ibunda Sjahrir, Poetri Siti Rabiah berdarah campuran Minang-Natal. Sementara ayahnya Mohammad Rasad gelar Maharadja Soetan adalah seorang jaksa, putra asli Kotogadang, Agam.
Kotogadang merupakan sebuah nagari di kaki Gunung Singgalang. Nagari ini terkenal sebagai pusat kerajinan emas dan perak serta kampung asal para intelektual Minang sejak pertengahan abad ke-19. Setelah Perang Padri berakhir, pada 1839 masyarakat di nagari ini diizinkan Belanda mendapatkan pendidikan formal di Bukittinggi.
Pada pertengahan abad itu, menurut Mrazek, anak-anak Kotogadang sudah bersekolah layaknya anak-anak di Batavia maupun Eropa. Mereka kemudian menjadi jaksa, dokter, pegawai dan advokat.
Setelah memperoleh pendidikan, masyarakat setempat banyak yang jadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda. Seperti halnya Sjahrir yang berasal dari keluarga jaksa. Ayahnya jaksa, kakeknya pun jaksa.
Dari isteri pertamanya yang asli Kotogadang, Ayah Sjahrir punya enam anak. Yang paling sulung adalah Rohana Koedoes. Dengan demikian, Sjahrir adalah adik (satu ayah) dari tokoh pejuang emansipasi dan juga jurnalis perempuan Indonesia pertama itu.
Penugasan jaksa sering berpindah. Karena itu, Sjahrir hanya dua tahun di Padang Panjang. Ia kemudian ikut pindah tugas ayahnya ke Jambi dan kemudian ke Medan, saat ia mulai masuk usia sekolah.
Pada tahun 1915, tulis Mrazek, di usia enam tahun, Sjahrir masuk ke sekolah terbaik yang ada di Medan: Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Rendah Eropa. Ia kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijd (MULO) atau sekolah Dasar Lanjutan.
Ketimpangan masyarakat yang terjajah, mulai tertanam dalam diri Sjahrir di usia sekecil itu. Ketika, ia menyaksikan pengaduan para kuli 'bumi putera' tentang penghinaan dan kebengisan atasan mereka. Juga, masyarakat kelas bawah yang mengharapkan pertolongan Dr. Djoehana, teman lama sekaligus ipar Sjahrir.
Pada tahun 1920-an, saat ayah Sjahrir mendekati usia pensiun, Sjahrir menyaksikan dua sepupu ayahnya yang masuk dunia pergerakan. Salah satunya, Haji Agus Salim. Di Jawa, ia menjadi tokoh utama gerakakan nasionalis militan Syarikat Islam. Sepupu ayahnya yang lain, Abdul Chalid Salim menjadi tokoh komunis dan akhirnya jadi orang buangan.
Selepas dari MULO, Sjahrir muda melanjutkan ke sekolah menengah umum AMS di Bandung. Sebagaimana di Medan, di waktu luang, Sjahrir bermain sepak bola. "Dia adalah penyerang tengah yang tangkas," tulis Mrazek.
Dunia pergerakan mulai bersentuhan dengan Sjahrir di kota ini. Pada 20 Februari 1927, bersama 10 orang teman, Sjahrir membentuk himpunan kaum nasionalis, Jong Indonesie. Pada Agustus 1928, polisi Bandung sudah mengenalnya sebagai pemimpin redaksi dari majalah himpunan muda itu.
Di Bandung pula, nasionalisme makin terpupuk dalam diri Sjahrir. Organisasi-organisasi nasionalis Indonesia bermunculan.
Pada Desember 1927, Sjahrir menjadi ketua Kongres Pemoeda Indonesia di Bandung. Setelah sepekan sebelumnya disepakati berdiri Permoefakatan Perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Pada kongres itu, Ketua PNI Sukarno berpidato. Sukarno yang lebih tua delapan tahun darinya, sampai dua kali dia koreksi sebagai pimpinan sidang. salah satunya ketika ia meminta Sukarno berbicara dalam Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Belanda.
"Tiada basa-basi, langsung saja tembak. Segi watak Sjahrir tampak di situ," tulis Rosihan Anwar dalam Buku 'Sutan Sjahrir, Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya' (2011).
Pada 23 April 1929, Pemoeda Indonesia, Pemuda Sumatra dan organisasi lainnya memutuskan melebur diri jadi satu. Sjahrir tak hadir dalam pertemuan itu, karena sedang ujian di AMS.
"Dia lulus pada Mei dan rantaunya akan segera melebar lagi. Pada bulan Juni 1929, Sjahrir mengepak pakaian," tulis Mrazek.
Dari Bandung, Sjahrir terlebih dahulu ke Medan melihat rumah masa kecilnya. Lalu, ke kampung Koto Gadang dan selanjutnya berlayar ke Negeri Belanda.
Sjahrir tiba di Belanda pada musim panas 1929. Di sini sudah menanti kakaknya Sjahrizad. Ia telah berada di Belanda satu tahun, mendampingi suaminya Dokter Djoehana yang dapat beasiswa di Universitas Amsterdam.
"Tidak banyak yang aneh bagi saya setibanya di Negeri Belanda, dan bulan-bulan pertama tak pernah saya lupakan," kata Sjahrir pada 1937.
Menurut Rosihan, Sjahrir belajar di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam dan kemudian mendaftar pula di Universitas Leiden. "Tapi dia jarang mengikuti kuliah. Minat dan perhatiannya ada di tempat lain. Sjahrir dengan serius mempelajari sosialisme," tuturnya.
Sjahrir bersahabat dengan Salomon Tas, Ketua Klub sosial-Demokrat. Ia memperdalam pengetahuan mengenai sosialisme dengan mempunyai banyak kawan.
Pada akhirnya, Sjahrir bertemu dengan Mohammad Hatta yang saat itu menjadi Ketua Organisasi Perhimpoenan Indonesia. "Kedua orang yang sama-sama merantau ini segera cocok satu sama lain. Sjahrir bergabung dan terpilih menjadi sekretaris PI pada 1930."
Persahabatan dengan Hatta berumur panjang. Sepulang ke Tanah Air, pada 1931 Sjahrir menjadi Ketua Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Pendidikan). Tahun 1932, Hatta gantian yang mengurus.
Sjahrir yang dijuluki Bung Kecil karena tingginya hanya sedikit lebih dari 160 cm, menurut Rosihan, sempat ingin kembali ke Belanda melanjutkan sekolah. Namun, Pemerintah Hindia Belanda makin represif pada aktivitas gerakan kemerdekaan. Sukarno ditangkap pada Agustus 1933. Hatta dan Sjahrir ditangkap pada 1934.
Pada 1935, keduanya bahkan dibuang ke Boven Digul, Papua. Kemudian dipindahkan ke Banda Neira. Tujuh tahun lamanya, Hatta dan Sjahrir di Banda mengisi waktu luang dengan mengajar, menulis dan membaca.
Mereka baru bebas pada 1942 menjelang Jepang masuk. Menurut Rosihan, di Zaman Jepang, saat Sukarno pulang dari Sumatra, ketiganya bertemu di rumah Bung Hatta.
Ketiganya sepakat berbagi tugas. Sukarno-Hatta bekerja sama dengan pembesar Jepang, untuk memajukan gerakan nasionalis Indonesia. Sementara, Sjahrir di bawah tanah mengkoordinasikan perjuangan tapi selalu berkoordinasi dengan Sukarno-Hatta. Kerja sama yang kelak mengantarkan Indonesia ke gerbang merdeka. (HM)