Meskipun jauh dari kata sempurna, partai politik dalam ruh demokrasi adalah tubuh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Tidak dapat dimungkiri, keberadaan partai politik sangat vital bagi kualitas demokrasi di sebuah negara. Pasalnya, partai politik tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan politik, rekrutmen kader, dan pengusung calon pemimpin, tetapi juga sebagai kendaraan bagi para pemimpin untuk mewujudkan visi politik mereka.
Dalam konteks ini, penting bagi setiap individu yang ingin berkontestasi dalam pemilihan umum untuk merapatkan barisan dalam tubuh yang bernama partai politik. Oleh karena itu, keenganan Anies Rasyid Baswedan bergabung dengan partai politik untuk maju pada kontestasi bisa menjadi preseden buruk bagi wajah demokrasi Indonesia jika ia terpilih.
Tanpa keanggotaan partai politik, Anies ibarat tubuh yang kosong dalam semangat berdemokrasi. Pemilihan umum, pada dasarnya adalah jalan menuju kekuasaan demi mengimplementasikan visi-misi politik yang termanifestasi dalam semangat partai politik. Tanpa partai, keikutsertaan dalam pemilu seperti kehilangan makna sejatinya—partai politiklah yang menyatukan visi dengan pelaksanaan, membentuk legitimasi politik.
Hemat saya, keputusan Anies untuk maju tanpa menjadi kader partai adalah keputusan yang naif dan egois. Ibarat orang yang ingin menjalin hubungan serius tapi tidak mau menikah, Anies seakan hanya ingin "berzina" dengan partai politik. Analoginya sederhana: menikah dengan partai politik berarti mengambil komitmen penuh. Ini tidak hanya terkait dengan pencapaian kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab moral dan ideologis untuk memajukan partai serta memperkuat demokrasi itu sendiri.
Dalam AD/ART partai politik seperti PDI Perjuangan juga Golkar sendiri secara tegas mengatur bahwa seorang kader harus loyal dan terlibat aktif dalam kegiatan partai. Kaderisasi menjadi proses wajib bagi mereka yang ingin diusung sebagai calon pemimpin. Tanpa menjadi kader, seseorang tidak akan terikat pada ideologi partai dan akan memunculkan keraguan mengenai keseriusan politiknya. Bahkan, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menekankan pentingnya kaderisasi dalam menjaga dan memajukan demokrasi di Indonesia. Pasal-pasal dalam UU ini menegaskan bahwa partai politik memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan kader-kader terbaik mereka untuk berkompetisi dalam pemilu.
Jadi, jika Anies benar-benar serius dalam politik dan berniat untuk membawa perubahan bagi bangsa ini, maka bergabung dengan partai politik seharusnya menjadi langkah pertama yang diambilnya. Maju tanpa menjadi kader partai menciptakan kesan bahwa ia hanya ingin menggunakan partai sebagai kendaraan politik sementara, tanpa komitmen jangka panjang untuk memperkuat institusi demokrasi.
Salah satu kekhawatiran besar ketika seorang kandidat maju tanpa menjadi kader partai adalah meningkatnya risiko untuk menjadi korban deal politik antar partai. Dalam situasi politik Indonesia yang penuh dengan negosiasi di balik layar, kesepakatan antar partai seringkali melibatkan kompromi-kompromi yang tidak selalu menguntungkan kandidat independen atau non-kader.
Ambil contoh kemungkinan kesepakatan antara PDI Perjuangan dan Gerindra. Jika ada deal politik yang dibuat di balik layar, PDI Perjuangan mungkin lebih memilih untuk tidak memajukan Anies sebagai calon gubernur atau presiden, melainkan meminta jatah di kabinet Prabowo, misalnya. Jakarta, sebagai barometer politik nasional, menjadi medan pertempuran strategis bagi partai-partai besar. Jika Anies adalah kader partai, kecil kemungkinan partainya akan mengorbankannya demi kepentingan politik lainnya. Namun, karena Anies adalah non-kader, partai tidak memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi kepentingannya dalam jangka panjang.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah Anies, dengan status non-kadernya, benar-benar dapat bertahan dalam dunia politik yang penuh dengan negosiasi ini? Partai politik yang mengusungnya tidak memiliki kewajiban untuk membelanya dalam deal politik di belakang layar. Ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki afiliasi yang kuat dengan partai politik bagi setiap calon pemimpin.
Partai politik di Indonesia harus mulai bersikap lebih tegas terhadap kandidat non-kader. Jika partai politik terus memberi ruang bagi orang luar untuk maju tanpa komitmen sebagai kader, partai akan kehilangan fungsinya sebagai institusi ideologis. Ini berarti bahwa partai hanya akan dilihat sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, bukan sebagai badan yang memiliki nilai-nilai politik yang dipegang teguh.
AD/ART partai seperti PKS dan Golkar menekankan bahwa kader harus memiliki loyalitas kepada partai dan ideologi yang diusungnya. Kaderisasi memastikan bahwa kandidat yang diusung partai memiliki pemahaman yang mendalam tentang visi dan misi partai. Dengan demikian, partai tidak sekadar menjadi kendaraan politik, melainkan menjadi penggerak utama dalam menata arah bangsa.
Mulai hari ini, setiap partai harus lebih ketat dalam menerapkan aturan kaderisasi. Mereka harus memastikan bahwa kandidat yang maju melalui partai adalah mereka yang benar-benar berkomitmen untuk memperkuat partai dan memperjuangkan ideologi yang diusung. Hal ini tidak hanya penting bagi kelangsungan partai, tetapi juga bagi stabilitas demokrasi itu sendiri.
Jika Anies tetap maju tanpa menjadi kader partai, apa sebenarnya yang didapatkan oleh partai politik yang mengusungnya? Tanpa ikatan yang kuat dengan partai, keuntungan yang diperoleh hanya bersifat sementara. Popularitas Anies mungkin akan mendongkrak elektabilitas partai dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, partai tidak akan mendapatkan keuntungan strategis. Partai akan kehilangan pengakuan dari publik atas kesuksesan yang diraih Anies, karena publik tidak akan mengaitkan kesuksesannya dengan partai politik yang mengusungnya.
Situasi ini mirip dengan hubungan tanpa ikatan formal. Partai yang mengusung Anies mungkin mendapatkan manfaat sesaat, tetapi tidak ada pengakuan atau warisan jangka panjang yang dapat diperoleh dari hubungan tersebut. Dalam jangka panjang, partai politik harus mempertimbangkan manfaat strategis dari mengusung seorang kandidat. Tanpa komitmen dari kandidat, partai akan kehilangan kesempatan untuk membangun reputasi dan legitimasi di mata publik.
Sikap Anies yang enggan menjadi kader partai menunjukkan ketidakseriusan dalam membangun karir politik yang bertanggung jawab. Politik bukan hanya soal mencapai kekuasaan, tetapi juga soal bagaimana kekuasaan itu dicapai dan dipertahankan melalui cara-cara yang konsisten dan etis. Partai politik di Indonesia harus memperkuat fungsi mereka sebagai institusi ideologis, bukan sekadar kendaraan bagi ambisi individu.
Partai politik yang kuat akan menghasilkan kader-kader yang berkomitmen untuk memajukan bangsa dan negara. Tanpa komitmen sebagai kader, partai hanya akan menjadi alat bagi ambisi pribadi, dan demokrasi kita akan kehilangan makna sejatinya.
*Yogi Nofrizal adalah Dewan Pimpinan Pusat Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (DPP AMPI)