Oleh: Putri Vanessa Hulu
Adopsi ilegal merupakan praktik yang melanggar hukum dan merugikan anak-anak yang diadopsi. Sejumlah kasus adopsi ilegal di Indonesia yang terungkap malah sudah masuk kategor praktik perdagangan anak, ketika anak-anak dijual atau diperdagangkan secara ilegal untuk adopsi di dalam maupun luar negeri.
BBC News Indonesia pada 8 Juni 2022 melaporkan, sebanyak 3 ribu anak Indonesia dalam rentang 1973-1983 diadopsi ke Belanda. Sebagian dari jumlah tersebut disebutkan diadopsi dengan dokumen palsu, alias ilegal. Sebelumnya, sebagaimana dikutip Detikcom pada 8 Februari 2021, BBC News menyebutkan, data tersebut bersumber dari Yayasan Mijn Roots. Karena temuan itu, Pemerintah Belanda dilaporkan telah meminta maaf dan menangguhkan sementara proses adopsi dari luar negeri.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya regulasi yang ketat dalam proses adopsi. Tanpa regulasi yang ketat, praktik adopsi ilegal dapat terjadi dan merugikan banyak pihak, terutama anak-anak yang menjadi korban.
Dr. Sugeng dalam Buku “Memahami Hukum Perdata Internasional Internasional” (2021) menulis, Indonesia belum memiliki undang-undang tentang adopsi. Ketentuan tentang adopsi di Indonesia, diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Aturan ini merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 2 PP ini menyebutkan, pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berikutnya, ketentuan Pasal 3 ayat (1) menentukan, calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Ayat (2) mengatur, baru dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Ketentuan Pasal 4 kemudian mengatur, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Sementara, sebagaimana diatur Pasal 5, pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Selanjutnya, Pasal 6 mewajibkan orang tua angkat memberitahu anak angkat yang diadopsi mengenai asal-usul dan orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak tersebut.
Aturan sepanjang 44 pasal ini mengatur cukup lengkap sejak dari syarat, prosedur dan pengawasan adopsi atau pengangkatan anak. Syarat anak yang akan diangkat ditentukan, meliputi: belum berusia 18 tahun; merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan memerlukan perlindungan khusus.
Sedangkan calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: sehat jasmani dan rohani; berumur paling rendah 30 tahun dan paling tinggi 55 tahun; beragama sama dengan agama calon anak angkat; berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; berstatus menikah paling singkat 5 tahun dan tidak merupakan pasangan sejenis.
Syarat lainnya, tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan memperoleh izin Menteri Sosial dan/atau kepala instansi sosial.
Dalam hal pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, diatur, permohonan pengangkatan anak diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan pengadilan. Kemudian, orang tua angkat juga harus melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam satu
tahun, sampai dengan anak berusia 18 tahun.
Pemalsuan dokumen dan praktik adopsi illegal yang diungkap BBC News di atas terjadi sebelum PP Pengangkatan Anak berlaku. Namun, tindakan tersebut jelas tidak etis dan tidak manusiawi. Hal ini menunjukkan betapa tidak bertanggung jawabnya orang-orang yang terlibat dalam praktik adopsi ilegal tersebut. Pemerintah RI dan Belanda harus bertanggung jawab atas praktik adopsi ilegal yang terjadi pada masa lalu. Pemerintah harus memberikan kompensasi kepada para korban dan melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya praktik adopsi ilegal di masa depan.
Para korban harus diberikan hak untuk mengetahui asal-usul mereka dan mencari keluarga biologis mereka. Hal ini sangat penting bagi mereka untuk memahami identitas mereka dan memperbaiki kesehatan mental mereka. Kasus ini juga menunjukkan betapa pentingnya media dalam mengungkapkan kasus-kasus seperti ini. Kurangnya pengawasan terhadap lembaga-lembaga adopsi dan perantara adopsi juga menjadi salah satu faktor mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Dalam menghadapi skandal perdagangan anak berkedok adopsi, perlu kepedulian bersama pada hak-hak anak dan orang tua kandung. Kita dapat menjadi pelopor perubahan dengan mengajak orang lain untuk memperjuangkan hak-hak anak dan orang tua kandung dalam sistem adopsi yang lebih transparan dan bertanggung jawab, dan juga kita dapat melaporkan praktik adopsi ilegal kepada pihak berwenang untuk mencegah terjadinya praktik adopsi ilegal di masa depan, serta menuntut reformasi sistem adopsi yang benar-benar transparan dan bertanggung jawab kepada pemerintah agar hak-hak anak dan orang tua kandung dapat dilindungi dengan baik.
Organisasi masyarakat sipil juga harus mengambil beberapa sikap dalam menghadapi skandal ini. Hendaknya, organisasi dapat mendorong reformasi sistem adopsi di Indonesia dengan mengajukan usulan kepada pemerintah dan memperjuangkan hak-hak anak dan orang tua kandung, dapat memberikan dukungan kepada korban perdagangan anak berkedok adopsi dengan memberikan akses informasi dan dukungan emosional, dan juga organisasi dapat menyediakan layanan konseling bagi anak-anak yang mengalami trauma akibat adopsi ilegal dan orang tua kandung yang kehilangan anak mereka akibat adopsi ilegal.
Pemerintah sebagai penanggung jawab perlindungan masyarakatnya, harus memperketat pengawasan terhadap praktik adopsi ilegal dan menjamin bahwa setiap adopsi dilakukan dengan prosedur yang benar dan transparan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pengawasan dan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku perdagangan anak. Selain itu, pemerintah juga harus menjamin hak-hak anak dan orang tua kandung dengan memberikan akses kepada orang tua kandung untuk mengetahui keberadaan anak mereka yang diadopsi dan memberikan akses kepada anak-anak yang diadopsi untuk mengetahui asal-usul mereka. (*)
Putri Vanessa Hulu, mahasiswa Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas