Meminangkan Perantau Minang

Meminangkan Perantau Minang

Donny Syofyan, S.S., Dippl. PA., M.HRM., M.A. (Foto: Dok. Pribadi)

Baru-baru ini saya berbelanja di kawasan Springvale, sebeuah suburb (kecamatan) di pinggiran kota Melbourne. Springvale dikenal sebagai kampung Vietnam sebab ia merupakan kawasan yang disediakan oleh pemerintah Australia bagi para pengungsi Vietnam yang melarikan diri dari negerinya ketika pecah perang Vietnam puluhan tahun silam.

Di sebuah toko, saya mendengar salah seorang pelayan tokoh, seorang gadis muda, melayani pelanggannya yang sudah tua dengan berbahasa Vietnam. Tak lama kemudian, ia berganti dengan pelanggan lain, yang kebetulan seorang kulit putih, dengan bahasa Inggris ala penutur asli.

Begitu pelanggan kedua ini berlalu, saya menghampiri gadis pelayan sambil menanyakan barang yang hendak saya beli. Dalam kesempatan ini, saya bertanya, “Do you speak Vietnamese to Vietnamese men? I’m just curious (Apakah kamu selalu berbicara bahasa Vietnam dengan orang Vietnam? Sekadar ingin tahu). Ia menjawab, “We never speak English with Vietnamese. Even we speak Vietnamese at home (Kami tak pernah ngomong bahasa Inggris dengan orang Vietnam bahkan di rumah sekalipun).

Bagi saya, ini adalah sebuah peristiwa budaya membikin shock meski peristiwa hanyalah sebuah jepretan, bukan berdasarkan riset yang serius dan teruji. Bagaimana tidak, si gadis yang sangat mungkin generasi ketika warga Vietnam di sebuah negeri asing masih menjaga budayanya dengan tetap berbahasa Vietnam sesama warganya. Pada saat yang sama, pikiran saya langsung melayang ke ranah Minang khususnya dan Tanah Air secara umum bagaimana para orang tua tak lagi hirau anak-anaknya yang tidak bisa berbahasa lokal. Untuk di kampung halaman, bahasa Minang masih bisa dipertahankan sebab komunikasi dilakukan dengan bahasa Minang alih-alih bahasa Indonesia dalam keseharian.

Hal berbeda terjadi di kalangan perantau Minang. Sudah bukan rahasa lagi kebanyakan generasi ke-2 dan ke-3 perantau Minang tidak lagi memahami dan mampu bercakap-cakap dengan bahasa Minang. Sebagai misal, tak terhitung lagi artis-artis ibu kota berdarah Minang yang menghiasi dunia hiburan di Tanah Air yang tak bisa berbahasa Minang. Nama-nama seperti Nikita Willy, Bunga Citra Lestari, Marshanda, Afgan, Tika Bravani, Tasya Kamila, Laudya Chyntia Bella, Nagita Slavina, Natasha Rizky dan Nina Zatulini adalah sedikit dari sekian selebriti Tanah Air berdarah Minang yang tidak bisa lagi berbahasa Minang. Sebagainnya berdarah campuran. Pengecualin bisa diberikan kepada sedikit artis, di antaranya Melanie Putria dan Nirina Zubir. Meski lahir di rantau, keduanya masih fasih berbahasa Minang.

Bahasa Minang sebagai Pintu

Kita tidak menafikan kiprah perantau ke kampung halaman. Sudah tidak terhitung bantuan material yang diberikan ke ranah maupun terbentuknya perkumpulan orang-orang Minang di rantau. Kelompok Sulit Air Sepakat (SAS) sudah terkenal dimana-mana. Bahkan di Melbourne, para perantau Minang mendirikan organisasi bernama Minang Saiyo. Namun sisi terlemah perantau Minang adalah mentransfer kemampuan berbahasa Minang ke anak-anak dan para cucunya. Menjaga bahasa Minang, adalah pintu masuk untuk menjaga identitas dan kebudayaan Minang itu sendiri. Memang terkesan sederhana, tapi kemampuan anak-anak berbahasa Minang di rantau bakal mendorong mereka untuk mencintai adat-istiadat, pulang kampung mengunjungi daerah yang menjadi asal-usulnya, berkontribusi lebih intens ke kampung halaman, dan lain-lain.

Dengan mengajarkan anak-anak berbahasa Minang di rantau, mereka mula mengenal adat istiadat, tradisi, dan hasrat terhadap budaya Minang. Melalui bahasa Minang, sejarah dan gaya hidup masyarakat Minang bakal diwariskan dengan cara yang sarat nuansa. Seorang anak gadis Minang di rantau tidak akan memodifikasi pakaian adat Minang, misalnya dengan memperlihatkan bagian dada bagi anak daro dalam acara perhelatan ketika ia memakai adat istiadat Minang yang erat kaitannya dengan Islam. Ada kenyamanan tertentu ketika masuk rumah makan Padang dan memesan makanan dalam bahasa Minang. Dalam banyak hal, bahasa Minang menjadi sentral untuk merasakan ‘sense’ keminangan tersebut.

Ada banyak alasan mengapa anak-anak Minang tidak lagi menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa orang tuanya. Dalam banyak kasus, orang-rang Minang mendorong anak-anak mereka untuk hanya berbicara bahasa Indonesia, atau bahasa daerah dimana mereka berada. Mereka tidak ingin anak-anak mereka menghadapi masalah bila tak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Bukankah orang Minang dituntut adaptif, dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang. Dalam kasus lain, anak-anak ini menolak untuk berbicara bahasa ibu mereka karena takut diejek di sekolah. Atau memang orang tua tidak menurunkan bahasa Minang ke anak-anaknya sama sekali.

Tak kalah penting, berbicara dengan bahasa Minang, atau bahasa ibu secara umum, sebenarnya menyampaikan pesan ke dalam hati, bukan sekadar pikiran. Bahasa adalah produk interaktif. Ia harus diucapkan dan ditafsirkan oleh yang lain. Nelson Mandela mengakui betapa kuatnya interaksi sehari-hari ini. Ia mengatakan, "If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his language, that goes to his heart” (Jika Anda berbicara dengan seorang pria dalam bahasa yang ia pahami, pesan itu masuk ke dalam pikirannya. Jika Anda berbicara dengannya dengan bahasanya, ia masuk ke hatinya).

Bahasa bergema di hati penuturnya. Ini memungkinkan kita terhubung dengan asal usul dan leluhur kita. Bahasa juga memberi kita rasa kemasyarakatan dengan orang-orang yang tidak kita kenal tetapi mungkin memiliki pengalaman hidup yang serupa. Kehilangan itu berarti kehilangan diri kita sendiri. Karenanya, ketidakmampuan berbahasa Minang adalah awal dari kehilangan jati diri sebagai orang Minang, sekecil apapun. Bila ingin meminangkan kembali orang Minang, teruatama di perantauan, saatnya mendorong keluarga-kelaurga urang awak untuk merawat dan menurunkan kemampuang bahasa Minang ini kepada anak-anak dan cucunya.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
IKAPABASKO Kota Batam Periode 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
IKAPABASKO Kota Batam Periode 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.
Bahasa Minang dalam Tafsir Ulang Keminangkabauan