Membongkar Stigma dan Kesenjangan Hukum dalam Kasus Pelecehan Seksual

Pernahkah anda merasa tidak aman saat berjalan sendirian, baik siang maupun malam? Atau pernah menyaksikan tindakan pelecehan seksual?

Rani Ardila. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Rani Ardila

Pernahkah anda merasa tidak aman saat berjalan sendirian, baik siang maupun malam? Atau mungkin pernah menyaksikan tindakan pelecehan seksual? Kasus pelecehan seksual masih menjadi permasalahan serius di masyarakat, terutama bagi perempuan, yang sering kali menjadi korban utama.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terdapat 30.367 kasus pelecehan seksual sepanjang tahun 2024, dan mayoritas korban adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan perlindungan bagi kelompok rentan dalam menghadapi tindak kekerasan seksual.

Pelecehan seksual tidak hanya terbatas pada pemerkosaan atau kontak fisik secara langsung, akan tetapi bisa jauh dari itu. Konsep pelecehan seksual juga mencakup permintaan tindakan seksual dengan janji imbalan, baik dalam bentuk material maupun non-material.

Jikalau kita tarik pada aspek hukum dan sosiologi, hal ini dikenal sebagai "quid pro quo harassment", yakni kondisi di mana seseorang menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh keuntungan seksual dari pihak lain dengan imbalan tertentu. Bentuk pelecehan ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak selalu terjadi secara eksplisit, tetapi juga bisa terselubung dalam bentuk manipulasi psikologis dan eksploitasi relasi kuasa.

Salah satu kasus pelecehan seksual yang belakangan menjadi sorotan publik di Indonesia adalah kasus I Wayan Agus Suartama, atau yang dikenal sebagai Agus Buntung. Kasus ini menarik perhatian karena pelaku memiliki disabilitas fisik, sehingga banyak masyarakat awalnya sulit mempercayai bahwa ia dapat melakukan pelecehan seksual.

Modus yang digunakan Agus adalah berpura-pura memberikan motivasi kepada korban yang sedang mengalami krisis emosional, lalu secara perlahan membangun ketergantungan emosional yang kemudian dimanfaatkan untuk tindakan pelecehan.

Kasus ini mengungkap fakta bahwa pelaku pelecehan bisa berasal dari berbagai latar belakang, termasuk kelompok yang dianggap lemah, seperti penyandang disabilitas. Pandangan yang menyatakan bahwa seseorang dengan keterbatasan fisik tidak mungkin melakukan pelecehan merupakan bentuk bias kognitif yang disebut "halo effect", yakni kecenderungan untuk menilai seseorang hanya berdasarkan satu aspek tertentu, dalam hal ini disabilitas fisik, tanpa mempertimbangkan perilaku mereka secara keseluruhan.

Sebelum kasus ini terungkap, banyak pihak meragukan kesaksian korban karena stereotip masyarakat yang menganggap mustahil bagi penyandang disabilitas untuk menjadi pelaku pelecehan. Akibatnya, korban menjadi enggan untuk berbicara dan melaporkan kejadian yang dialaminya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sosial kita masih mempersulit korban dalam mencari keadilan.

Rini Handayani dari (KemenPPPA) menegaskan bahwa anggapan masyarakat yang meragukan kemampuan pelaku disabilitas dalam melakukan pelecehan mencerminkan adanya celah dalam pemahaman tentang kesetaraan gender dan keadilan sosial.

Di samping itu, selain faktor sosial, kelemahan sistem hukum juga menjadi hambatan utama dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Proses hukum yang panjang dan sering kali tidak berpihak pada korban menyebabkan banyak kasus baru mendapat perhatian setelah viral di media sosial.

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), telah diatur mekanisme perlindungan bagi korban, termasuk akses terhadap pendampingan hukum dan pemulihan psikososial. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak korban yang masih kesulitan mengakses hak-hak tersebut karena berbagai hambatan struktural dan budaya.

Salah satu tantangan terbesar dalam menangani pelecehan seksual adalah stigma yang menyalahkan korban "victim blaming". Jikalau kita bicara pada kasus Agus Buntung, banyak masyarakat berkomentar, "Kenapa mau?" atau "Pasti ada unsur suka sama suka." Pernyataan semacam ini tidak hanya meremehkan pengalaman korban, tetapi juga menghambat upaya korban untuk mencari keadilan.

Harusnya kita menyadari betul bahwa pelecehan seksual bukan sekadar tindakan individu, melainkan manifestasi dari sistem patriarki yang menormalisasi dominasi laki-laki atas perempuan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengubah pola pikir dan memberikan ruang aman bagi korban agar mereka berani bersuara, bukan malah dapat penghakiman.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan fisiknya. Stigma yang menyatakan bahwa pelaku pelecehan seksual harus memiliki ciri tertentu sering kali menyesatkan.

Dilansir dari Komnas Perempuan, mayoritas pelaku kekerasan seksual justru berasal dari lingkungan terdekat korban, seperti pasangan, mantan pasangan, atau anggota keluarga. Fakta ini memberitahu kita bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, atau fisik mereka.

Selanjutnya kita harus berpikir untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan kondusif, kita perlu meningkatkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga keamanan dan mendukung korban pelecehan seksual.

Organisasi masyarakat sipil memiliki peran strategis dalam mendorong edukasi publik, mendampingi korban, serta memastikan bahwa sistem hukum berjalan dengan adil. Selain itu, kampanye kesadaran seperti #MeToo dan lain-lainnya, telah membuktikan bahwa kekuatan kolektif dapat mendorong perubahan sosial yang lebih besar dalam penanganan kekerasan seksual.

Berikutnya kita perlu menyadari kembali bahwa kita juga memiliki peran dalam membangun lingkungan yang lebih aman. Jangan pernah mengabaikan atau meremehkan cerita korban. Berikan dukungan moral dan bantu mereka mengakses bantuan hukum jika diperlukan. Jika kita terus membiarkan stigma dan sistem yang tidak adil ini bertahan, maka pelecehan seksual akan terus terjadi tanpa ada keadilan bagi korban.

Untuk para penyintas, ketahuilah bahwa anda tidak sendiri. Setiap pengalaman pahit adalah bagian dari perjalanan hidup yang dapat menguatkan diri. Jangan pernah menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang bukan kesalahan anda. Jika Anda mengalami pelecehan, jangan ragu untuk mencari bantuan dan berbicara tentang perasaan anda. Bersama, kita bisa membangun lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua orang.

Penulis: Rani Ardila (Mahasiswa program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi
Integrasi Nilai Kepemimpinan dalam Islam dan Dinamika Medsos Hari Ini
Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan
Resistensi Perpajakan: Relevansi Sejarah dan Implikasinya pada Kebijakan Pajak Modern
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal dengan singkatan H.O.S Tjokroaminoto merupakan seorang tokoh yang lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882.
Warisan Intelektual H.O.S. Tjokroaminoto: Guru Para Tokoh Bangsa
Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada
Dekonstruksi Islam Identitas: Refleksi atas Praktik Keagamaan Kontemporer
Kesadaran diri (an-nafs) merupakan fondasi utama yang menopang sebagian besar elemen kecerdasan spiritual manusia. Kesadaran ini menjadi
Integrasi Kesadaran Diri dan Spiritualitas dalam Mengatasi Emosi Negatif