Oleh: Fernando Wirawan (Praktisi Hukum di Green Law Firm) dan Holy Adib (Pengamat Bahasa Media Massa)
Bekas Ketua KPK, Firli Bahuri, kaget mendengar berita yang menyebut permohonan praperadilannya ditolak. Dikutip dari “Firli: Praperadilan Saya Bukan Ditolak, tapi Tidak Diterima” (Detik.com, 19 Desember 2023), ia terkejut karena putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berbunyi begitu.
Hakim Tunggal, Imelda Herawati, menyebut “Permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima” saat membacakan putusan pada 19 Desember 2023. Putusan tersebut merupakan putusan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka pada kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Firli terhadap bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Namun, sejumlah media massa salah menafsirkan istilah tidak dapat diterima sebagai ‘ditolak’. Media-media berikut ini merupakan contoh dari banyak media yang keliru menafsirkan istilah tersebut:
- “Permohonan Praperadilan Ditolak, Status Tersangka Firli Bahuri Sah” (Detik.com, 19 Desember 2023).
- “Praperadilan Firli Bahuri Ditolak, Penetapan Tersangka Dinyatakan Sah” (Kompas.com, 19 Desember 2023).
- “Firli Bahuri Ajukan Gugatan Praperadilan Lagi usai Ditolak, Ini Kata Polda Metro Jaya” (Kompas.TV, 23 Januari 2024).
- “Praperadilan Ditolak Hakim, Simak Sepuluh Permohonan Firli Bahuri” (RRI.co.id, 19 Desember 2023).
- “Permohonan Praperadilan Firli Bahuri Ditolak, Penetapan Tersangka Dinyatakan Sah” (Tribunnews.com, 20 Desember 2023).
- “3 Fakta Hakim PN Jaksel Tolak Gugatan Praperadilan Firli Bahuri” (Liputan6.com, 19 Desember 2023).
- “Praperadilan Firli Bahuri Ditolak, Polisi Diminta Segera Menahannya” (Tempo.co, 19 Desember 2023).
Istilah praperadilan ditolak yang dipakai oleh beberapa media tersebut tidak tepat berdasarkan isi putusan dan terminologi hukum. Sebelum penggunaan istilah praperadilan ditolak itu dibahas, harus dijelaskan terlebih dahulu apa itu praperadilan.
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang: 1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Kewenangan praperadilan yang diberikan oleh undang-undang hanya terbatas pada objek praperadilan, yaitu hal-hal yang disebutkan tadi. Objek praperadilan kemudian dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Pasal dan putusan tersebut menyatakan bahwa pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus: 1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; 2. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Bagaimana dengan putusan hakim terhadap praperadilan yang diajukan Firli Bahuri? Permohonan praperadilan dalam praktiknya mengenal putusan dikabulkan, tidak dapat diterima, dan ditolak. Menurut Yahya Harahap dalam Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (2002), praperadilan adalah tugas tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri selain tugas pokoknya mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik. Berdasarkan definisi itu, permohonan praperadilan yang diajukan Firli ke pengadilan negeri menggunakan aspek hukum acara perdata walaupun praperadilan merupakan ranah hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP.
Dalam materi gugatan yang diajukan Firli tertera dua hal yang dimohonkan, yakni sah atau tidaknya penetapan tersangka dan sah atau tidaknya penyidikan dugaan tindak pidana kepada termohon. Dikutip dari “Pertimbangan Hakim Tolak Gugatan Praperadilan Firli: Permohonan Tidak Jelas” (Detik.com, 19 Desember 2023), hakim juga menyatakan dalil dalam petitum (tuntutan) telah mencampuradukkan materi formil dengan materi di luar aspek formil. Maka, hakim berpendapat bahwa dasar permohonan praperadilan pemohon kabur atau tidak jelas
Dari segi ilmu hukum, pernyataan hakim tersebut, bahwa praperadilan tidak dapat diterima berdasarkan dalil dalam tuntutan yang telah mencampuradukkan materi formil dengan materi di luar aspek formil, berarti bahwa permohonan praperadilan menjadi kabur (obscuur libel). Putusan hakim yang menyatakan tidak dapat diterima berlandaskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1996 ialah gugatan tidak memiliki dasar hukum; gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium; gugatan mengandung cacat atau obscuur libel; atau gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya.
Media Massa Perlu Tahu Istilah Hukum
Sementara itu, banyak media massa yang mengatakan praperadilan Firli ditolak. Ditolak dalam terminologi hukum berarti gugatan tidak memenuhi syarat materiil, yaitu tidak memiliki dasar fakta atau dasar hukum yang kuat, tidak memiliki hubungan hukum yang jelas, atau tidak memiliki tuntutan gugatan yang wajar. Menurut M. Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata (2017), apabila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalannya membuktikan dalil gugatannya ialah gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Dengan kata lain, jika suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, gugatannya akan ditolak.
Berdasarkan penjelasan tersebut, media massa yang menulis “praperadilan Firli Bahuri ditolak” sudah melakukan kesalahan fatal karena faktanya praperadilan Firli tidak dapat diterima, bukan ditolak. Akibat kesalahan tersebut, publik mendapatkan informasi yang keliru.
Dalam hal itu media-media tersebut salah dalam hal akurasi, khususnya akurasi menggunakan istilah teknis. Praperadilan ditolak dan praperadilan tidak dapat diterima merupakan istilah teknis hukum. Media massa wajib menghormati istilah teknis pada bidang ilmu tertentu karena istilah tersebut memiliki definisi tersendiri yang tidak sama dengan ungkapan yang serupa di luar bidang tersebut. Jika medi-media massa menafsirkan istilah teknis sesuai dengan keinginan mereka tanpa mempertimbangkan pembaca yang berada di ranah istilah tersebut, betapa herannya ahli hukum seperti Yusril Ihza Mahendra sewaktu membaca berita yang menyebut bahwa praperadilan Firli ditolak.
“Sebenarnya kasus ini sebaiknya dihentikan. Bisa dihentikan lewat praperadilan, bisa juga dikeluarkan SP3. Dan kita tahu kan kemarin praperadilannya bukan ditolak walaupun banyak wartawan salah nulis nih. Permohonan praperadilan ditolak. Tidak. Permohonan peradilan itu tidak dapat diterima. Tidak diterima itu bukan ditolak,” kata Yusril di Lobi Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin 15 Januari 2024, sebagaimana dikutip dari “Yusril Ihza Sarankan SP3 Kasus Firli Bahuri” (RMOL.id, 15 Januari 2024).
Memang dalam bahasa Indonesia ditolak berarti ‘tidak diterima’. Barangkali karena itu pula, media-media massa tersebut menafsirkan istilah tidak dapat diterima sebagai ditolak. Namun, jika jeli, media-media itu akan dapat membedakan tidak diterima dengan tidak dapat diterima. Istilah hukumnya bukan tidak diterima, melainkan tidak dapat diterima sebagaimana yang terdapat dalam KUHAP Pasal 99 ayat (2), Pasal 156 ayat (1), Pasal 263 ayat (2) a, dan Pasal 266 ayat (1).
Yang paling penting ialah bahwa praperadilan tidak dapat diterima dan praperdilan ditolak punya dasar hukum yang berbeda dan akibat hukum yang berbeda pula. Akibat hukum dari gugatan ditolak ialah bahwa penggugat tidak dapat mengajukan gugatan baru dengan objek, pihak, dan materi pokok perkara yang sama. Sementara itu, akibat hukum dari gugatan tidak dapat diterima ialah bahwa penggugat masih dapat mengajukan gugatan baru dengan objek, pihak, dan materi pokok perkara yang sama, dengan syarat memperbaiki format gugatannya.
Sebenarnya penggunaan istilah teknis bidang tertentu dalam jurnalistik sebaiknya dihindari karena bahasa jurnalistik merupakan bahasa umum yang seharusnya dipahami oleh pembaca dari berbagai kalangan dan tingkat pendidikan. Misalnya, istilah petitum dalam bidang hukum dapat diganti dengan kata tuntutan. Kata petitum familiar bagi orang yang bekerja di bidang hukum, tetapi begitu asing di telinga pembaca umum. Sementara itu, kata tuntutan dipahami semua kalangan tanpa mengurangi substansi dalam istilah petitum.
Namun, jika istilah tersebut harus digunakan lantaran tidak ada penggantinya, seperti istilah praperadilan ditolak dan praperadilan tidak dapat diterima, media massa harus menjelaskan definisinya dalam tubuh berita sebab tidak semua orang memahami arti istilah tersebut. Jika pembaca tidak mengetahui istilah itu dan media massa tidak pula menjelaskannya, penggunaannya tidak ada gunanya sebab pesan dan informasi yang disampaikan melalui istilah tersebut tidak sampai kepada publik. Padahal, media massa merupakan jembatan penghubung informasi dari narasumber kepada pembaca.
Selain itu, dari segi jurnalistik, menyebut praperadilan ditolak, padahal praperadilan tidak dapat diterima merupakan pelanggaran asas praduga tak bersalah, yang membuat media melakukan tindak peradilan oleh pers (trial by press). Media massa bukanlah hakim yang menentukan putusan pengadilan atau memutuskan status hukum seseorang, tetapi hanya memberitakan putusan hakim. Apa yang dikatakan hakim dalam putusannya, hal itu pula yang harus disampaikan oleh media melalui berita dengan bahasa yang sederhana tanpa mengubah substansinya.