Masyarakat Minang di Singapura

Masyarakat Minang di Singapura

Donny Syofyan, S.S., Dippl. PA., M.HRM., M.A. (Foto: Dok. Pribadi)

Sebagai sebuah negara kecil, Singapura bisa dibilang sebuah permadani bahasa yang memiliki sintaks dan sejarahnya sendiri yang unik. Beberapa sudah terancam punah dan yang lainnya terus berkembang, tak terkecuali adalah orang-orang Minang yang sudah berada di sana jauh sebelum Singapura merdeka.

Anggota Dewan Legislatif Melayu pertama di Singapura dalam pemerintahan kolonial dan juga wartawan Eunos Abdullah adalah orang Minang. Begitu juga presiden pertama Singapura, Tuan Yusof Ishak dan komposer lagu kebangsaan Zubir Said juga berasal dari Minangkabau.

Salah satu alasan di balik keberhasilan masyarakat Minang yang relatif kecil di sina karena jiwa merantau, ketika laki-laki Minang meninggalkan ranah Minang untuk mengadu nasib di rantau, negeri seberang. Secara harfiah, kata marantau sebenarnya berarti melakukan perjalanan dari pantai ke pantai.

Agaknya ini terkait dengan langkah awal dengan bepergian lewat kapal. Tapi kini konsep ini tak sebatas perjalanan maritim. Tak dipungkiri juga, tradisi merantau ini juga  berjalan seiring dengan karakteristik masyarakat Minangkabau yang matrilineal, di mana tanah dimiliki dan diwariskan kepada pihak perempuan.

Masyarakat Minangkabau berpusat pada suku dan orang-orang harus menikah di luar suku-suku masing-masing. Secara adat, tidak dibolehkan kawin sesama suku. Karenanya, diaspora Minang nyaris ditemukan di banyak wilayah. Baru-baru ini dalam acara yang diadakan Diaspora Minang, saya sempat bertemu dengan sejumlah warga Minang di Singapura.

Marina Rahim, seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Singapura, mengatakan: “Akar saya berasal dari Sumatra Barat, Penang dan Kedah. Dan ayah saya kebetulan lahir di Singapura.” Marina adalah keturunan generasi keenam dari Datuk Jenaton Raja Labu, seorang bangsawan Minangkabau yang meninggalkan ranah Minang menuju Penang pada 1749 dan seorang putri dari Menteri Senior Negara dan Diplomat Abdul Rahim Ishak, saudara laki-laki almarhum Yusof Ishak.

Pekerjaannya di industri perhotelan membawanya ke Jakarta. Ia kerap mendendangkan tembang-tembang lagu Minang seperti Ayam Den Lapeh yang sudah melegenda. “Semua orang Minang bisa merasakannya dan setiap orang Minang bisa menyanyikannya,” ucap Marina. Almarhum Pak Abdul Rahim juga mewariskan cita rasa masakan Minang dengan cita rasa dataran tinggi, seperti pakis. “Rendang sangat juga ada di Melayu, tapi rendang Minang adalah yang asli, begitu juga sate Padang,” ujarnya.

“Alih-alih dicelupkan ke dalam bumbu kacang, sate Padang dicirikan dengan kuah kental yang dituang di atasnya.” Ia bekerja penuh semangat ketika menghidangkan nasi Padang yang otentik dan kerap protes menyaksikan kedai-kedai lain yang menjual nasi Padang dengan harga obral. “Kedai makanan di Singapura menyebutnya nasi Padang, tapi isinya nugget dan sosis saus tomat,” ungkapnya dengan nada berang.

Kawasan Kampong Glam adalah pusat masakan Padang di Singapura. Orang-orang tua dan juga tokoh-tokoh masyarakat sering datang ke sana sekalian untuk menjaga silaturahim. Di antara rumah makan Padang yang ada di sana adalah Warong Nasi Pariaman di North Bridge Road, sebuah usaha keluarga yang didirikan pada 1948 dan Rumah Makan Minang di Jalan Kandahar.

Karena keluarganya sudah lama meninggalkan Sumatera Barat, Marina tidak tumbuh dengan berbicara bahasa Minang. Orang tuanya menggunakan bahasa Inggris di rumah. “Saya lebih suka belajar bahasa Jepang!” serunya. “Mengapa saya belajar bahasa Minang? Siapa yang akan saya ajak bicara? Komunitasnya sangat kecil.”

Sebuah fakta miris, seperti yang diungkapkan oleh Irianto Safari (54 tahun) bahwa warga Minang Singapura adalah minoritas di dalam minoritas. Ia adalah generasi ketiga, insinyur dan selama 15 tahun, menjabat sebagai presiden Singapore Minangkabau Association (SMA) yang didirikannya bersama teman-teman lain pada 1994. Banyak anak Minang belajar bahasa Melayu standar di sekolah.

Kedua bahasa ini mirip, misalnya, kata yang diakhiri dengan “a” dalam bahasa Melayu biasanya diakhiri dengan “o” dalam bahasa Minang. Ada pengecualian. “Kelapa” dalam bahasa Melayu, kata Pak Irianto, bukanlah “kelapo” dalam bahasa Minangkabau – melainkan “karambia”. Kehalusan bahasa, seperti aksen, berbeda di kalangan diaspora Minang.

Direktur galeri seni Masturah Sha’ari (48 tahun), mencoba melacak asal-usulnya ke negara bagian Negeri Sembilan Malaysia, yang merupakan rumah bagi para perantau atau imigran Minang selama berabad-abad.

“Ibu saya dan almarhum ayah saya ketika berbicara satu sama lain seperti berpantun. Ini tidak mengherankan mengingat penekanan bahwa budaya Minangkabau memegang teguh adat atau kebiasaan. Menurut salah satu pendiri SMA, Marah Hoessein Salim (60 tahun) yang juga seorang manajer senior perusahaan konsultan bahwa budaya Minang itu berdasarkan “adat basandi syarak , syarak basandi kitabullah” – yang berarti tradisi berdasarkan syariah dan syariah berdasarkan Al-Quran.” Untuk meringkas etos Minangkabau, ia memisalkan perkwaninan praktik-praktik matrilineal peralihan harta pusako dengan hukum waris Islam.

Aspek adat lainnya termasuk penggunaan gelar untuk menunjukkan rasa hormat. Marah Hoessein memiliki banyak nama – untuk teman-temannya, misalnya, dia dipanggil Uda Bob. “Uda” berarti “kakak laki-laki”, sedangkan “uni” adalah padanan femininnya. Seorang wanita yang lebih tua dapat disebut "etek", atau "bibi", - berlawanan dengan kata Bahasa Indonesia "tante". Namun ketika Marah Hoessein kembali ke kampung asalnya di Sumatera Barat, gelar sukunya adalah Sutan Rangkayo Basa, seorang yang berkarakter tinggi.

*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Peduli Bencana Tanah Datar, BM 3 Sumut Salurkan Bantuan dan Santunan
Peduli Bencana Tanah Datar, BM 3 Sumut Salurkan Bantuan dan Santunan
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah
Kadisnakertrans Sumbar, Nizam Ul Muluk mengatakan bahwa saat ini perantau Minang tidak lagi didominasi oleh laki-laki, namun perempuan.
Kadisnakertrans Sumbar: 94 Persen Pekerja Migran Minang Adalah Perempuan
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh