Langgam.id - Masjid Siti Manggopoh berusia lebih satu setengah abad, masih kokoh berdiri sandaran ibadah di Jorong Manggopoh, Nagari Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam. Masjid ini juga bergelimang sejarah, saksi bisu perlawanan 17 orang masyarakat Manggopoh terhadap kebijakan perpajakan (belasting) zaman penjajahan Belanda.
Awal dibangun sekitar tahun 1842, Masjid Siti Manggopoh masih beratap ijuk dan berdinding bambu. Sebelum bernama Masjid Siti Manggopoh, masyarakat setempat menyebut masjid itu dengan sebutan Masjid Gadang.
“Boleh dibilang ini masjid satu-satunya dan tertua saat itu yang ada di Manggopoh, dibangun sekitar tahun 1842, masyarakat menyebutnya Masjid Gadang,” ujar HAmiruddin, salah seorang cucu pasukan 17, Dullah Pakiah Sulaiman, kemarin, sebagaimana dicuplik dari AMC.
Dahulunya, selain beribadah dan tempat bermusyawarah bagi niniak mamak 7 suku di Manggopoh, masjid ini juga digunakan sebagai tempat latihan bela diri yang dipimpin oleh Hasik Bagindo Magek, Suami Siti Manggopoh.
Selain itu, masjid juga dijadikan tempat penyusunan strategi perang ketika melawan Belanda di bawah pimpinan Angku Padang.
Amiruddin menjelaskan, Masjid Siti Manggopoh menjadi masjid tempat berkumpulnya pasukan 17 sebelum melangsungkan serangan ke Markas Belanda. Di masjid tersebut pasukan 17 menyusun strategi dan siasat sebelum penyerangan Jumat malam, 15 Juni 1908.
“Masjid tersebut menjadi tempat berkumpul terakhir. Di masjid pasukan 17 beritikaf, mengenal diri, menguji kemampuan masing-masing,” ungkapnya.
Baca Juga: Haji Abdul Manan, Kepala Perang Kamang (1908)
Diceritakan Amiruddin, 17 orang yang berkumpul di masjid tersebut memang orang-orang yang terpilih. Pasalnya selain tangguh dari segi bela diri, mereka juga diceritakan memiliki ilmu kebatinan yang mumpuni.
Sebelum menyergap Markas Belanda, di dalam masjid terjadi peristiwa kebatinan, di mana orang-orang yang akan pergi berperang ditentukan dengan prosesi mencabut pedang.
“Bagi yang bisa mencabut pedang, maka dia dilarang pergi berperang, karena itu pertanda akan gugur di medan perang. Dari 17 pasukan tersebut tidak ada satupun yang bisa mencabut pedang yang ditusuk ke tanah di dalam masjid,” tuturnya lagi.
Saat ini, halaman depan masjid menjadi kompleks makam 17 tokoh pejuang yang gugur dalam perang Blasting 1908 yang dikenal dengan perang Manggopoh.
Masjid ini beratap tumpang tiga yang terbuat dari seng dengan bentuk banguna bujur sangkar.
Ruang utama masjid ini ditopang oleh 9 buah tiang dengan tiang utama berdiameter 64 cm, sedangkan tiang lainnya berdiameter 30 cm.
Langit-langit terbuat dari bahan triplek sisi dalam dan sisi luar teras terbuat dari seng. Pintu terletak di sisi Timur dan satu lagi di sisi Utara yang terbuat dari kayu. Mihrab terbuat dari kayu dan mempunyai ukiran bermotif sulur-suluran yang terletak di sisi barat. (Osh)