Razia yang dilakukan oleh Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC) terhadap rumah makan yang menawarkan paket makanan murah dengan harga serba 10 ribu hingga 12 ribu rupiah, dan meminta mereka menghapus kata "Padang" dari papan nama atau etalase mereka, menuai kontroversi. Bahkan, dalam video yang beredar, PRMPC menekankan bahwa rumah makan tersebut bukan milik orang Minang. Banyak netizen merespons aksi ini secara negatif, meskipun ada pula yang mendukung tindakan PRMPC dengan alasan bahwa harga murah dapat “merusak marwah” masakan Padang.
Masakan Padang, seperti halnya makanan khas lain di Indonesia, telah menjadi bagian dari domain publik. Artinya, setiap orang dapat memanfaatkan label "Masakan Padang" tanpa perlu mendapat izin khusus atau menghadapi larangan. Begitu pula, tidak ada aturan hukum yang melarang siapapun untuk menuliskan kata "Padang" di papan nama mereka, meskipun mereka mungkin menjual makanan lain seperti bakso atau soto. Label ini lebih pada upaya untuk menarik konsumen dengan brand yang sudah familiar, dan tidak ada larangan untuk hal tersebut.
Ketika ada rumah makan yang menuliskan kata “Padang” dan ternyata tidak menyajikan masakan Padang asli, mungkin calon pelanggan akan kecewa atau bahkan protes di media sosial. Reaksi alami ini sudah cukup untuk memberi mereka pelajaran. Tak ada organisasi manapun, termasuk PRMPC, yang memiliki hak untuk melakukan sweeping atau “razia” dan meminta penghapusan kata “Padang” pada papan nama tanpa otoritas hukum. Tindakan seperti ini bisa berpotensi melanggar hak usaha pemilik rumah makan lain dan menimbulkan konflik yang tidak perlu.
Kebanggaan terhadap masakan khas adalah hal yang wajar, tetapi kebanggaan yang berlebihan dan eksklusif bisa menjadi bumerang. Tindakan sweeping dan razia seperti ini bisa dianggap sebagai perilaku arogan yang tidak mencerminkan sikap terbuka terhadap keberagaman yang berkembang di masyarakat. Masyarakat Minang dikenal dengan filosofi yang kaya dan sikap adaptif yang terbuka pada perubahan, terutama dalam bisnis kuliner yang sudah lama menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Namun, dalam kasus ini, sebagian dari mereka tampaknya lupa bahwa kemajuan dalam dunia kuliner membawa kompetisi dan perkembangan. Dengan begitu, justru introspeksi diri perlu dilakukan untuk menyadari bahwa masyarakat Minang bukanlah etnis yang “paling” unggul dalam segala hal. Kita semua berada dalam dunia yang berubah dan terbuka bagi siapa saja untuk berinovasi. Bangga terhadap masakan khas adalah keharusan, tetapi kebanggaan yang terlalu besar dan eksklusif bisa membuat masyarakat Minang dianggap tidak toleran terhadap dinamika perkembangan kuliner yang ada.
Di masa lalu, masakan Padang mungkin dikuasai dan dijaga oleh sebagian kecil orang yang memiliki keterampilan tertentu, tetapi kini setiap orang bisa belajar dan mengakses resep masakan Padang. Berkat kemajuan teknologi dan media sosial, siapa pun yang tertarik bisa belajar memasak masakan Padang, bahkan membuat variasi yang berbeda untuk menyesuaikan dengan segmen pasar yang beragam. Dunia kuliner kini sangat luas, tidak terbatas hanya pada satu kelompok etnis atau budaya.
Berkembangnya strategi marketing juga membuat segmen pasar masakan Padang semakin luas dan variatif. Kini, ada rumah makan Padang murah yang menyediakan paket lengkap dengan harga 10-12 ribu rupiah, dan ada pula rumah makan Padang premium yang bisa menghabiskan 100 ribu rupiah untuk satu porsi. Ini mencerminkan strategi dagang yang berbeda, di mana sebagian pengusaha fokus pada volume penjualan dengan harga terjangkau, sementara yang lain menekankan margin keuntungan dengan menawarkan suasana premium. Hal ini mencerminkan preferensi dan pilihan konsumen yang berbeda-beda, dan di sinilah kebebasan pasar dalam menentukan harga dan strategi harus dihormati.
Dalam melihat fenomena ini, konsep rasionalitas dari sosiolog ternama Max Weber bisa dijadikan pijakan. Menurut Weber, para pelaku bisnis biasanya bertindak berdasarkan pertimbangan yang rasional, ketika harga dan strategi ditentukan oleh kebutuhan untuk memenuhi permintaan pasar. Jadi, jika ada rumah makan Padang yang menawarkan harga murah, bukan berarti mereka sedang “merusak marwah” masakan Padang. Mereka hanya merespons permintaan pasar sesuai daya beli konsumen.
Baca Juga: Guru Besar Ilmu Gizi Unand Ungkap Rahasia Sehat Masakan Minang
Teori Weber juga membantu kita memahami bahwa dunia bisnis adalah arena terbuka, tempat pelaku usaha memilih strategi yang terbaik bagi mereka, termasuk dalam penetapan harga dan diferensiasi produk. Kehadiran variasi harga adalah wujud adaptasi terhadap pasar yang heterogen, yang tentu sah-sah saja dalam dunia usaha.
Menggunakan teori segmentasi pasar dari pakar pemasaran Philip Kotler, kita bisa melihat bahwa keberadaan masakan Padang dalam berbagai segmen harga adalah hal yang wajar. Kotler menjelaskan bahwa segmentasi pasar adalah proses membagi pasar menjadi beberapa segmen berdasarkan preferensi atau daya beli, agar pelaku usaha bisa menargetkan pelanggan secara lebih spesifik.
Dengan adanya segmentasi ini, rumah makan Padang murah bisa menyasar konsumen yang lebih mementingkan harga, sementara rumah makan Padang premium dapat menargetkan mereka yang mencari suasana eksklusif. Setiap segmen punya pangsa pasar yang unik. Dengan memahami segmentasi, pelaku usaha bisa memposisikan diri mereka tanpa harus merasa tersaingi oleh usaha serupa lainnya. Dalam dunia pemasaran, konsep “marwah” atau harga mahal bukanlah satu-satunya penentu kesuksesan usaha.
Dalam menghadapi berbagai pilihan harga dan strategi dagang, cara terbaik untuk tetap relevan adalah bersaing secara sehat. Daripada melakukan sweeping yang bisa menciptakan konflik, lebih baik jika kita berfokus pada meningkatkan kualitas dan keunikan masakan Padang. Pengusaha yang ingin menjaga citra atau “marwah” masakan Padang bisa melakukannya dengan menyajikan pengalaman bersantap yang khas atau bahan-bahan berkualitas.
Jadi, mungkin alih-alih meributkan siapa yang boleh menjual masakan Padang, PRMPC sebaiknya bersyukur kepada mereka yang membuat versi murahnya. Bukankah lebih baik jika lebih banyak orang, terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah, bisa menikmati masakan kita? Ini bisa jadi amal baik kita, di mana kita membagikan kelezatan masakan Padang tanpa harus membuat orang merogoh kocek terlalu dalam. Selamat datang di dunia kuliner yang lebih inklusif, di mana cita rasa tidak perlu mahal! (*)
Yoss Fitrayadi, Praktisi Digital Marketing