Dengan pelangkahan ‘khas’ seorang pandeka, Jeff menenteng satu asoi sampah di tangannya kirinya. Ia bersama tiga rekannya, anak nagari Maek, baru saja membersihkan beberapa sampah di situs Menhir Balai Batu. Sore itu Jorong Koto Tangah, Maek, memang lagi ramai-ramainya. Ramai orang yang menanti-nanti malam penutupan Festival Maek, di mana anak kemenakan mereka akan tampil bersama 3 koreografer dalam suatu pertunjukan kolaboratif. Situs Balai Batu yang jadi arena pertunjukan, cukup banyak dikunjungi orang.
“Tempat ini sakral, tempat sakral harusnya bersih dan suci,” kata Jeff merujuk pada situs menhir Balai Batu yang berisi tidak hanya menhir namun juga beberapa artefak lain. Jika situsnya kotor, tidak suci, kita bakal sulit untuk terkoneksi dengannya, untuk menyatu dengan situs itu sebagai bagian dari alam. Apabila itu terjadi, maka ia dan rekan-rekannya akan kesulitan mengekspresikan koneksi tersebut lewat gerak tubuh.
Demikian kira-kira pandangan koreografer yang berbasis di Jakarta itu atas hubungan lingkungan dan kualitas gerak tubuh alias koreografi. Dengan kata lain, baginya, koreografi atau tari adalah laku hidup dimana manusia dan alam mesti membangun hubungan yang erat, sehat, dan suci.
Dan laku hidup itu “harus dimulai dari hal-hal kecil dan mendasar seperti ini: membuang sampah di tempatnya.”
Tim kebersihan yang tak lama kemudian datang, jadi ringan sekali pekerjaannya. Mereka jadi lebih berkonsentrasi untuk menyiapkan lapangan bola, venue utama malam penutupan Festival Maek, Sabtu 20 Juli 2024, yang berjarak sekira 200-an meter dari Situs Menhir Balai Batu.
Setelah ikut bantu-bantu sedikit, saya pamit kepada Jeff yang tak hanya mengajarkan dasar-dasar gerak tari pada para rekan penampilnya, namun juga memberi teladan langsung betapa tari, koreografi, adalah suatu laku hidup, bukan sekedar kesenian yang dijadikan tontonan sambutan buat para pembesar.
***
Sendi Oryzal menggesek biolanya di tengah area Situs Menhir Balai Batu. Musik yang ia kompos untuk pertunjukan tersebut, menyambut 13 penari yang berjalan berarakan dari luar situs ke area situs; alunan biola yang bikin bulu kuduk merinding itu juga barangkali paimbau (pemanggil bernuansa magis) para penari, para manusia untuk masuk ke tempat sati (bertuah) itu.
Bianca Sere Pulungan, koreografer dari Jerman itu, juga tampak telah menunggu di dalam area situs. Jika Sendi memanggil para penari dengan biolanya, Bianca maimbau mereka dengan gerak tubuhnya. Memakai kostum serba putih, ia mengibar-ngibarkan selendang merah pekat seperti merayu-rayu para penari agar segera masuk ke Situs Balai Batu.
Para penari pun masuk ke area situs. Sebagian membawa obor, sebagian hanya melenggang dengan selendang disampirkan di bahunya, selendang merah, biru, jingga, dan oranye. Sebagian berkostum serba putih, lainnya berkostum warna merah dan hitam.
***
“Masyarakat Maek adalah salah satu masyarakat paling beruntung di dunia. Mereka hidup bersama, berdampingan, dengan cagar-cagar budaya warisan leluhur.” Janette Hoe, koreografer dari Australia itu memberi pandangan soal masyarakat dan menhir Maek di diskusi karya kolaborasinya dengan anak nagari Maek.
“Mereka bisa terhubung dengan leluhurnya setiap saat, di setiap sudut kampung dan rumah-rumah,” lanjutnya.
Dalam diskusi itu, Janette Hoe, Bianca Sere Pulungan Jeffriandi Usma, dan Sendi Oryzal, berbagi banyak hal soal proses serta konsep pertunjukan kolaborasi bertajuk “MASA” di sebuah MTSN yang dua ruang kelasnya disulap menjadi ruang seminar dan diskusi. Di samping membahas segi koreografi, mereka juga berkali-kali menekankan pentingnya ‘menghidupkan’ cagar-cagar budaya seperti menhir dengan seni pertunjukan.
Amanat Janette memang jeli. Di samping rumah, di samping dapur, di pekarangan, di halaman sekolah, menhir-menhir berdiri dengan agung. Pemandangan ini terhampar di seantero Maek. Masyarakat banyak yang bercerita, dulunya jumlah menhir di Maek sangat amat banyak. Namun sebagiannya diambil untuk digunakan sebagai batu pondasi sekolah-sekolah dan bangunan umum. Bahkan satu kompleks menhir yang dirobohkan lalu ditimbun untuk dijadikan lapangan sepakbola. Dan proses desakralisasi itu bukanlah sepenuhnya kesalahan masyarakat. Mari campakkan bersama-sama asumsi orientalis yang tak berdasar itu bahwa masyarakat itu bodoh!
Fenomena desakralisasi ini terhenti di tahun 2010-an karena adanya undang-undang perlindungan cagar budaya. Dan desakralisasi itu, tentu berhubungan erat dengan terputusnya koneksi atau hubungan masyarakat pada masa itu dengan leluhur yang mendirikan dan mengukir menhir-menhir itu. Serangkaian penelitian arkeologi yang telah berlangsung sejak pertengahan 1980-an di kawasan itu, seperti gagal menyebarkan hasil penelitiannya secara komprehensif ke masyarakat pemilik cagar budaya itu sendiri.
Padahal, menimpali amatan Janette, masyarakat Maek memang beruntung. Menhir-menhir Maek, betul-betul menjadi bagian dari keseharian masyarakat—ia bukan semacam cagar budaya mahasuci yang terkonsentrasi di satu titik; ia juga bukan suatu area eksklusif di mana hanya lapisan sosial tertentu yang berhak membangun koneksi dengannya.
Meski begitu, ada situs-situs tertentu yang masih dianggap sakral hingga kini, meski kadarnya sudah jauh menurun. Situs Menhir Balai Batu adalah salah satunya. Konon situs ini dulu digunakan sebagai ruang musyawarah para tetua untuk memutuskan hal-hal penting, sekaligus tempat dilakukannya berbagai ritual. Sampai tahun 1980-an, masyarakat masih menggelar upacara tolak bala di situs tersebut dengan menyembelih seekor bantiang itam (sapi berwarna hitam).
***
nan bonamo saribu menhir
kaluak paku nan ta surek di ateh nyo
bukik posuak nan jo paoruso
bukik tungkua sarato jo batang maek
Lantunan dendang dari Zahrati Salsabilah memenuhi area pertunjukan, ditingkahi pukulan ritmis talempong Febi Juliko dan ketukan sayup-sayup sampai dua bilah kentongan bambu dari tangan Fito Septriawan dan Muhammad Danel. ‘Lolongan’ saluang Pandu Winata dan gesekan biola Sendi Oryzal. Suara-suara ambien dari sequencer yang diampu Andre Dwi Wibowo melapisi semua bebunyian itu.
Sesaat sebelumnya, para penari baru saja masuk berarakan ke situs Balai Batu di mana terdapat sekitar 18-an menhir, sebagiannya masih berdiri, sebagiannya terbaring rebah di tanah. Masing-masing penari dengan kostum yang sengaja dirancang tidak seragam, segera memilih menhir-menhir masing. Menyentuhnya dengan penuh perasaan, mengelus-ngelusnya, mengelilinginya dengan khidmat, seperti ingin menyambungkan dirinya, tubuhnya, dengan energi menhir-menhir itu.
Koreografinya terlihat tidak kompak. Setiap penari ‘tersambung’ dengan menhir-menhir itu, lewat gerak tubuh masing-masing pula. Tapi ini adalah konsep yang mereka rancang bersama. Setiap tubuh merespon ketersambungan itu dengan cara tubuh itu masing-masing. Beberapa penari terlihat nyaris mencapai kondisi trance. Sepertinya paimbauan Sendi dan Bianca di awal pertunjukan berhasil.
***
“Setiap penari, kami beri mereka kebebasan untuk berinteraksi dengan menhir-menhir itu. Lahirlah berbagai macam ekspresi gerak,” jelas Jeff masih dalam diskusi yang sama. “Tubuh mereka merespon menhir dengan cara yang berbeda dengan tubuh kami. Tubuh Maek lebih peka ketika merespon menhir,” tambah Bianca menjelaskan pengamatannya sepanjang proses latihan bersama yang makin mempertegas fakta bahwa sifat ketersebaran menhir-menhir Maek memungkinkan anak nagari Maek terkoneksi secara intens disadari atau tidak.
Proses penciptaan karya kolaborasi ini sudah berlangsung sejak Mei 2024 lalu. Ketika itu, anak nagari Maek diajak menciptakan karya bersama merespon menhir-menhir Maek dalam suatu workshop kekaryaan. Workshop itu sendiri adalah bagian dari program pra-Festival Maek.
Tidak hanya lewat koreografi tapi juga musik. Sebagian peserta telah menguasai dasar-dasar musik, mereka mengambil peran sebagai pemusik dengan Sendi Oryzal sebagai fasilitator. Sebagian besarnya, yang tertarik untuk menjadi penari, sama sekali belum pernah bersentuhan dengan tari. Merekalah yang dimentori oleh Jeff, Bianca, dan Janette.
Para penari belajar gerak-gerak dasar, ketubuhan, dan seterusnya, sementara para mentor belajar kepada mereka secara langsung atau tidak langsung tentang budaya Maek dan akhirnya tubuh Maek itu sendiri.
Para pemusik menyebar ke penjuru nagari. Mereka mengumpulkan cerita-cerita rakyat tentang asal mula Maek dari para tetua. Hasilnya mereka padatkan menjadi lirik di atas tadi, didiskusikan bersama Sendi guna diolah dan dijadikan ‘roh’ karya musik yang akan mereka garap bersama.
Setelah berproses selama kurang lebih dua bulan (secara online dan offline), jadilah karya pertunjukan bertajuk “MASA”. Jeff, Janette, dan Bianca, akan menari bersama Inggid Yeli Algi, Aisyah Nurmala, Anggin Yetriska, Virdani, Widuri Febrika Sari, Azzahra Salshabilla, M. Aidin Ardinal, Cherly Yulia Ghafar, Dela Sevana, Peza Pramana Putra, dan Nizia Marnila Sari.
Lahirlah karya kolaborasi bertajuk “MASA”.
Sendi juga menamai komposisi musiknya dengan nama yang sama dibantu Andre Dwi Wibowo. Mereka berdua berkolaborasi dengan Febi Juliko, yang menggubah lirik, dan memainkan talempong; Pandu Winata yang memainkan rabab dan gendang; M Danel dan Fito Septriawan membuat alat musik pukul serupa kentongan dari bambu; serta Zahrati Saslabilah yang akan mendendangkan lirik gubahan Febi sembari ikut memainkan telempong.
***
Sejak rangkaian penelitian di pertengahan 1980-an yang hasilnya tidak tersampaikan ke masyarakat itu, berbagai asumsi berkembang di masyarakat. Siapa para pendahulu yang mendirikan menhir-menhir itu? Bagaimana mereka hidup? Adat apa yang mereka pakai? Begitu banyak cerita tentang umur peradaban dan asal-usul manusia Maek. Begitu banyak asumsi soal kaitan Maek dengan sistem adat Minangkabau dan bahkan asal-usul masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Begitu banyak misteri dan teka-teki yang belum terjawab. Banyak yang mesti terus ditelusuri dan dicari.
Ini adalah situasi yang tak menentu, yang sampai batas tertentu menimbulkan semacam kegelisahan yang dipicu rasa kehilangan dan keterputusan dengan masa lalu. Mengutip catatan kuratorial, peradaban Maek itu sendiri adalah suatu terra incognita.
“MASA” bisa juga dilihat sebagai respon atas situasi tersebut. Di sepanjang pertunjukan, masing-masing tubuh penari yang bergerak merespon menhir-menhir di Situs Balai Batu dengan caranya sendiri-sendiri, juga bisa diposisikan sebagai cerminan respon umum masyarakat Maek atas situasi yang serba belum jelas tersebut.
Seperti potongan sinopsis pertunjukan “MASA” yang dikutip dari Buku Saku Festival Maek:
“Dari batu, ada sejarah yang terseret-seret dengan jejak yang panjang. Memeluk menhir akan dirasakan resonansinya. Simbol yang terukir justru akan menyentak-nyentak arteri dalam melepaskan guruh sampai melewati Bukit Posuak.
MASA merupakan pencarian identitas dengan melakukan bolak-balik gerak, timbul-tenggelam bunyi dari hilir-mudik panggung.
MASA ingin menemukan simbol yang hilang pengertian oleh arus sungai. Mengklasifikasi bentuk batu yang meloncat-lenyap ke dalam hutan. Sekaligus, menyingkap narasi yang terkubur begitu dalam.”
***
Purnama menerangi Situs Menhir Balai Batu malam itu, memperkuat tata cahaya yang tampaknya berusaha menghadirkan suasana remang-remang senja. Setelah ‘puas’ berinteraksi dan menyambungkan diri dengan dengan menhir-menhir, para penari menyudahi pertunjukannya. Alunan musik berhenti. Sebagian penonton tampak terpana sesaat, sebelum memberi applaus. Para kerabat, orang tua, para penari anak nagari Maek, terpancar kebanggan di matanya.
Festival Maek yang dimulai sejak tiga hari sebelumnya Rabu 17 Juli 2024, resmi berakhir malam itu. Tapi bagi para penari dan pemusik, ini adalah awal baru.
“Kami akan buat karya sendiri nanti.” Demikian kata Dela Sevana, salah satu penari, ketika ditanya tim media sesaat sebelum pertunjukan dimulai. Begitu pula dengan Febi dan tim pemusik. Mereka punya rencana membuat komposisi musik lagi, dengan Maek bersama segala misteri dan kekayaan budayanya sebagai bahan baku. Ilmu yang mereka dapat dari para fasilitator bakal mereka kembangkan kedepannya, menjadi media bagi Maek untuk bicara pada dunia.
Jeff, Bianca, dan Janette, berpelukan dengan penari dan pemusik. Sinar purnama membuat wajah haru bercampur bahagia mereka tampak cukup jelas. Mereka baru saja terlibat dalam suatu peristiwa budaya bersejarah: site-specific performance kolaboratif yang jarang-jarang dipraktekkan di Indonesia. (*/Fs)