Saat ini tengah ramai di jagat maya tentang tren “Marriage is Scary”. Tren ini berisi konten yang umumnya berisi pandangan perempuan tentang hal-hal yang membuatnya takut untuk menikah. Namun, pandangan ini tidak hanya datang dari perempuan, tapi juga laki-laki dengan beragam ketakutan akan pernikahan yang mereka rasakan sebagai laki-laki.
Tren ini juga merupakan buntut dari tren pernikahan yang semakin rendah di Indonesia sedangkan aktivitas seksnya terus saja meningkat. Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN dalam artikel di CNN Indonesia pada 8 Agustus 2024 mengatakan, “"Tren pernikahan dini itu menurun, kalau 10 tahun yang lalu angkanya masih lebih dari 40. Jadi makin tahun makin menurun,"
Menurut Hasto, tren pernikahan ini kian turun dari tahun ke tahun. Kalau perempuan rata-rata menikah di bawah umur 20 tahun, sekarang rata-rata di umur 23 tahun. Menurutnya, sebenarnya ini tidak terlalu menjadi masalah, yang jadi masalah itu adalah aktivitas seks bebas yang terus melaju naik. Ini berarti orang-orang lebih memilih seks bebas yang memiliki banyak risiko mulai dari moral hingga kesehatan jangka panjang daripada pernikahan.
Maka, berdasarkan hal ini perlu bagi kita memahami kembali ketakutan yang sebenarnya menjadi masalah dari sebuah pernikahan untuk kemudian mencari solusi yang tepat untuk menghadapi hal tersebut. Agar kita tidak memiliki pemahaman yang “terbalik”. Hanya dikarenakan ketakutan-ketakutan akan pernikahan (yang belum tentu juga akan menimpa kehidupan pernikahan kita di masa depan) kita malah menormalisasi seks bebas yang jelas-jelas sudah dilarang karena ini adalah tindakan amoral dan juga memiliki risiko yang tinggi untuk jangka panjang.
Ketakutan-ketakutan utama tentang pernikahan yang disampaikan dalam tren ini jika coba disimpulkan terdiri dari dua hal utama. Pertama, dari sisi perempuan kebanyakan ketakutan pernikahan muncul dikarenakan banyaknya kasus selingkuh, KDRT, suami patriarki (tidak mau terlibat dalam urusan domestik di rumah tangga), dan seterusnya. Mereka kebanyakan menyatakan takut bertemu laki-laki yang tidak tepat. Kedua, dari sisi laki-laki kebanyakan ketakutan muncul dari sisi kemampuan finansial. Dimana, laki-laki dituntut bekerja seumur hidup mereka, harus memenuhi standar sosial tertentu agar bisa dikatakan mapan dan siap untuk menikah. Ketakutan ini juga semakin diperburuk dengan konten-konten di sosial media yang mereka konsumsi. Ditambah dengan pengalaman pribadi mereka sendiri, yang hidup di tengah keluarga yang tidak harmonis atau berada di lingkungan yang berisi orang-orang seperti ini.
Maka, bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi ketakutan ini?
Pertama, persiapan edukasi. Ini merupakan hal yang sangat penting. Seringkali ketakutan hadir dikarenakan ketidaktahuan, terkhusus pula mengenai pernikahan ini. Banyak orang yang menikah tanpa pengetahuan tentang apa yang sebenarnya akan mereka hadapi di dalam pernikahan itu sendiri. Misal, bagaimana cara berkomunikasi ketika menghadapi konflik? bagaimana untuk mengatur finansial di awal-awal pernikahan? (masalah finansial ini termasuk “keniscayaan” di awal-awal pernikahan), atau bagaimana mengetahui indikasi red flags dari calon pasangan sejak sebelum menikah? (agar potensi-potensi selingkuh, KDRT, dan permasalahan yang lain itu tidak menimpa rumah tangga kita). Ini baru beberapa contoh permisalan. Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal lain yang harus dipahami terkait persiapan edukasi. Kemudian, hal yang harus diingat adalah, edukasi ini tidak hanya sampai di masa pra-pernikahan, tapi seumur hidup. Seiring berubahnya fase kehidupan dalam rumah tangga, maka diperlukan pula ilmu yang tepat dan sesuai untuk menghadapinya.
Kedua, mengatur ekspektasi. Hal ini juga penting karena nyatanya banyak yang menikah itu karena “terprovokasi” bukan “teredukasi”. Provokasi bisa muncul dari konten-konten di sosial media yang mereka konsumsi, yang lebih banyak menampilkan sisi bahagia seakan-akan rumah tangga itu hanya berisi kebahagiaan dan keindahan saja tanpa masalah. hal ini sangat mungkin membuat wanita menjadi tidak siap jika sewaktu-waktu masalah menerpa rumah tangganya. Akan semakin buruk jika ternyata dia tidak pula memiliki persiapan edukasi khusus untuk menghadapi masalah tersebut.
Ketiga, jangan gegabah. Provokasi juga bisa timbul dikarenakan lingkungan di isi oleh teman-teman yang sudah menikah atau desakan umur dan juga keluarga. Hal ini membuat wanita menjadi gegabah sehingga tidak terlalu selektif dalam memilih pasangan. Sederhananya, menurunkan standar asal segera menikah. Tanpa mempertimbangkan bagaimana karakter pasangan yang sebenarnya. Adakah ia manipulatif, kasar, suka berkata-kata kotor, bagaimana lingkungan pertemanannya, bagaimana cara ia berkomunikasi ketika menghadapi masalah, dan masih banyak lagi. Semua hal ini perlu dicari tahu dengan detil agar ketakutan salah pilih pasangan tidak terjadi.
Setelah mengetahui cara mengatasi ketakutan diatas, juga penting bagi kita untuk memperbaharui pola pikir diri kita sendiri. meyakinkan kepada diri sendiri, bahwa pernikahan bahagia itu masih ada. Ia bisa dibentuk dan diusahakan mulai dari diri kita sendiri. Selain itu, juga penting bagi kita untuk tidak sembarangan menggeneralisasi bahwa “semua laki-laki atau semua perempuan sama aja” dan tidak mudah terbawa suasana bahwa apa yang menimpa rumah tangga orang lain juga akan menimpa rumah tangga kita sendiri. Padahal jika kita memiliki bekal yang cukup untuk menikah terutama dari sisi edukasi dan memilih pasangan yang tepat, pernikahan itu bisa menjadi jalan untuk sama-sama bertumbuh, serta mencapai cita-cita pribadi dan keluarga bersama-sama.
Dalam artikel ini kita sudah membahas fenomena “Marriage is Scary” dan mengidentifikasi berbagai ketakutan yang dialami baik oleh perempuan maupun laki-laki terkait pernikahan. Berdasarkan hal ini kita bisa mengetahui bahwa ketakutan akan pernikahan tidak muncul dari satu sisi gender saja, tapi keduanya. Hal ini, melibatkan faktor yang kompleks mulai dari kekhawatiran akan ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga tekanan finansial.
Kita juga telah mengeksplorasi berbagai penyebab utama ketakutan itu muncul mulai dari kurangnya edukasi tentang pernikahan, ekspektasi yang tidak realistis yang dipicu oleh media sosial, serta keputusan terburu-buru dalam memilih pasangan. Dimana, hal ini dapat berdampak besar pada komunikasi dalam keluarga dan keberhasilan dari pernikahan itu sendiri. Solusi untuk mengatasi ketakutan ini meliputi pentingnya persiapan edukasi yang menyeluruh, pengaturan ekspektasi yang realistis, dan pendekatan yang hati-hati dalam memilih pasangan.
Pernikahan merupakan perjalanan panjang yang tentu juga membutuhkan persiapan yang matang dan pemahaman yang mendalam. Dengan mengatasi ketakutan melalui komunikasi yang terbuka di dalam keluarga bahwa mendapatkan edukasi yang tepat, mengatur ekspektasi yang realistis, serta selektif dalam memilih pasangan, dapat menjadi modal awal dalam membangun fondasi rumah tangga yang harmonis dengan hubungan yang sehat dan bahagia. Ingatlah, bahwa pernikahan itu sejatinya bukan sebuah perlombaan untuk memenuhi standar sosial, namun sebuah perjalanan menemukan seseorang yang setara dan mau bertumbuh bersama. Mari mengubah sudut pandang. Bahwa, menikah itu bukan hanya berdasarkan rasa, namun yang lebih utama adalah tentang komitmen yang kuat yang melibatkan Tuhan untuk membangun keluarga yang harmonis dan tangguh, berdasarkan pengetahuan, komunikasi yang baik, serta adanya kesamaan visi dan misi kedepan.
Jangan biarkan ketakutanmu atau tekanan sosial yang ada mengaburkan pandanganmu akan pernikahan. Dengan pendekatan yang tepat serta kesiapan yang cukup dari diri kita akan membuat kita mampu menciptakan pernikahan yang bahagia dalam versi diri kita masing-masing. Jangan biarkan ketakutan menghalangi kita dari kesempatan tumbuh bersama orang yang tepat yang melahirkan cinta dan kebahagiaan.
*Penulis: Amelya Asti Pratiwi (Mahasiswi Fepartemen Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas)