Oleh: Habibur Rahman
Logical fallacies, atau kesalahan dalam penalaran logis, sering muncul tanpa disadari oleh banyak orang di perguruan tinggi, atau lebih tepatnya kita menyebut orang-orang itu sebagai civitas academica yang mana tempat itu harusnya menjadi tempat berkembangnya pikiran kritis dan objektif.
Jikalau berbicara pada konteks mahasiswa atau mereka yang dituntut untuk memahami, menganalisis, dan menyampaikan argumen secara logis, tentu perlu menyadari betapa pentingnya menghindari jebakan logika ini. Terutama dalam soal perkuliahan, logical fallacies dapat menjadi penghambat serius bagi pencapaian pemahaman ilmiah.
Kesalahan ini tidak hanya mengaburkan fakta, tetapi juga dapat merusak kredibilitas argumen dan, lebih dalam lagi, mereduksi tujuan utama pendidikan: pencarian kebenaran yang obyektif.
Salah satu kesalahan logika yang paling umum ditemui dalam dunia akademik adalah ad hominem atau serangan pribadi. Logical fallacy ini terjadi ketika seseorang menolak argumen dengan menyerang karakter atau pribadi si pembuat argumen, alih - alih menanggapi substansi dari argumen itu sendiri.
Dalam perkuliahan, ad hominem dapat muncul saat mahasiswa menghadapi pendapat yang berbeda atau merasa terancam oleh kritik. Misalnya, ketimbang menanggapi argumen berdasarkan isi, mahasiswa mungkin melontarkan kritik pribadi terhadap penyampai gagasan tersebut.
Teori informal logic menjelaskan bahwa serangan semacam ini menyesatkan karena mengalihkan perhatian dari logika dan bukti yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Dalam lingkungan akademis yang sehat, argumen harus dinilai atas dasar kekuatan logisnya, bukan berdasarkan siapa yang menyampaikannya.
Kesalahan logis lain yang juga harus dihindari adalah appeal to authority atau argumentum ad verecundiam. Kesalahan ini terjadi ketika seseorang menganggap suatu pernyataan benar hanya karena datang dari figur yang dianggap berwenang atau memiliki otoritas, tanpa mempertimbangkan keabsahan pernyataan tersebut secara mandiri.
Misalnya, seorang mahasiswa mungkin menerima mentah-mentah pendapat seorang profesor tanpa mempertanyakan bukti atau argumen di baliknya, karena yakin bahwa otoritas akademis tersebut "tidak mungkin salah."
Dalam teori pengetahuan kritis critical epistemology, Walter Benjamin yang merupakan seorang filsuf asal Jerman yang dianggap sebagai salah satu pemikir terpenting Mazhab Frankfurt , mengemukakan pentingnya mempertanyakan setiap otoritas demi mendekati kebenaran.
Nah, dalam hal ini jika seorang mahasiswa terlalu bergantung pada otoritas tanpa melakukan pemikiran mandiri, ia berisiko mengabaikan proses belajar kritis yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan tinggi.
Kemudian, kita memiliki straw man fallacy yang tak kalah merusaknya dalam diskusi akademis. Straw man terjadi ketika seseorang mendistorsi atau menyederhanakan argumen lawan agar lebih mudah diserang.
Dalam perkuliahan, hal ini sering terlihat saat mahasiswa, dalam rangka memperkuat argumen pribadi, mendistorsi gagasan lawan diskusi agar tampak lemah atau konyol. Misalnya, ketika seorang mahasiswa menyatakan, “Anda berpendapat bahwa teknologi mengancam keberadaan manusia, berarti Anda ingin kita hidup tanpa teknologi sama sekali!” Padahal, mungkin argumen lawan hanya ingin menekankan pentingnya etika dalam penggunaan teknologi, bukan menolak teknologi secara total.
Distorsi ini melahirkan kesalahpahaman dan menghalangi proses dialektika yang sehat. Teori argumentasi kritis menyebutkan bahwa straw man berbahaya karena mempersempit ruang dialog dan mencegah pengetahuan berkembang.
Di samping itu yang tidak kalah penting untuk dihindari adalah false dilemma atau black-and-white thinking. Logical fallacy ini sering kali muncul dalam bentuk argumen yang mengesankan bahwa hanya ada dua pilihan ekstrem yang bisa diambil, padahal kenyataannya terdapat opsi atau alternatif lain.
Di kelas, false dilemma mungkin muncul ketika mahasiswa menyederhanakan persoalan yang kompleks ke dalam dua kubu yang berlawanan, seperti "Jika tidak setuju dengan pendapat ini, berarti Anda mendukung kebalikannya."
Menurut teori logika deduktif, fallacy ini mengaburkan kebenaran dengan menyembunyikan berbagai nuansa yang sebenarnya ada dalam setiap perdebatan. Untuk memahami isu yang kompleks, mahasiswa harus diajak berpikir dalam spektrum yang lebih luas, melihat kemungkinan-kemungkinan antara dua kutub ekstrem.
Lebih lanjut, dalam diskusi yang melibatkan bukti atau data, mahasiswa sering kali terjebak dalam hasty generalization atau generalisasi yang terburu-buru. Ini terjadi ketika kesimpulan diambil berdasarkan data yang tidak memadai atau terbatas.
Misalnya, jika dalam diskusi seorang mahasiswa menyimpulkan bahwa “Seluruh mahasiswa di kampus ini tidak peduli dengan masalah lingkungan,” hanya karena beberapa temannya bersikap demikian, maka ia telah membuat generalisasi yang terlalu cepat.
Menurut teori statistical reasoning, hasty generalization melanggar prinsip representasi sampel yang valid. Dalam konteks akademis, mahasiswa perlu dilatih untuk menghindari klaim absolut berdasarkan bukti yang minim dan lebih berfokus pada pengumpulan data yang lebih representatif sebelum menarik kesimpulan.
Selain itu, post hoc ergo propter hoc kesalahan yang berarti “setelah ini, maka karena ini” juga sering muncul dalam argumen akademis. Post hoc terjadi ketika seseorang menganggap suatu kejadian sebagai penyebab dari kejadian lain hanya karena terjadi berurutan.
Dalam diskusi kelas, misalnya, mahasiswa mungkin menyatakan bahwa “Penurunan hasil belajar di kelas ini disebabkan oleh perubahan dosen,” padahal banyak faktor lain yang mungkin berkontribusi, seperti beban tugas yang meningkat atau faktor eksternal lainnya.
Teori kausalitas dalam logika mengajarkan bahwa korelasi tidak selalu berarti kausalitas. Menyadari hal ini adalah kunci dalam melatih mahasiswa untuk berpikir lebih kritis dalam menganalisis hubungan sebab-akibat.
Dalam dunia akademis, logical fallacies menjadi jebakan yang menggoda, karena sering kali tampak logis di permukaan. Namun, bagi mahasiswa yang serius mengejar kebenaran, penting untuk senantiasa mengasah kemampuan berpikir kritis dan menghindari pola-pola berpikir yang menyesatkan ini.
Dalam pandangan ilmuwan kognitif seperti Daniel Kahneman, manusia cenderung jatuh ke dalam bias kognitif yang menyebabkan logical fallacies, terutama ketika mereka merasa terdesak atau tidak memiliki cukup waktu untuk memproses informasi secara mendalam. Inilah sebabnya mengapa universitas perlu terus mendorong praktik refleksi kritis agar mahasiswa dapat menyadari bias-bias yang mungkin mereka bawa dalam pemikiran mereka.
Maka, di dalam ruang perkuliahan yang ideal, mahasiswa tidak hanya belajar menerima informasi tetapi juga belajar menilai informasi itu dengan pikiran yang tajam dan penuh kesadaran akan jebakan logika yang tersembunyi. Caranya, tentu dengan menjauhkan diri dari ad hominem, false dilemma, straw man, dan kesalahan logis lainnya, mahasiswa dapat berkontribusi pada diskusi yang produktif dan berbobot.
Dan perlu diketahui bahwa kampus bukan sekadar tempat menampung fakta; ia adalah arena di mana setiap pemikiran diuji, diperdebatkan, dan diperkuat dengan alasan yang kokoh. Meminjam kata-kata seorang filsuf, "Pendidikan bukanlah hanya tentang mengajarkan apa yang harus dipikirkan, melainkan bagaimana caranya berpikir."
Dengan demikian, ketika mahasiswa belajar menghindari logical fallacies, mereka tidak hanya memperkuat argumen mereka tetapi juga memperkuat pondasi intelektual dan integritas ilmiah mereka. (*)
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.