Diskursus tentang pembangunan jalan Tol Sumbar- Riau atau yang kini disebut jalan Tol Padang - Pekanbaru akhir akhir ini terus meningkat. Perdebatan tentang perlu atau tidaknya jalan bebas hambatan yang menghubungkan Kota Padang di Sumatra Barat dengan Kota Pekanbaru di Provinsi Riau ini kini semakin memperkaya dan mewarnai ruang diskusi bagi sebagian masyarakat Minang.
Adalah senior saya, Ajo Miko Kamal yang pertama kali memantik diskusi melalui akun Twitternya @kamalmiko yang mengatakan bahwa program pemerintah yang membangun jalan tol adalah cara negara melepaskan tanggung jawab kepada rakyatnya. Ajo Miko Kamal menyitir UUD 1945 Pasal 34 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut. "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak"
Akibat cuitannya itu, Ajo Miko akhir-akhir ini marasai dicikaraui akun akun di media sosial Twitter. Saya tertawa saja membaca ulah akun-akun itu. Sebagian dari mereka saya kenal baik dan sebagian lain adalah akun anonin yang memang dikenal sebagai tukang ba uru uru di Twitterland.
Mari kita tinggalkan sejenak kicau umpatan kepada Ajo Miko Kamal di Twitter, saya juga akhirnya terpancing untuk ikut serta mengomentari apa yang dituliskan senior saya tersebut. Kutipan pasal 34 ayat 3 pada UUD yang diquote oleh Ajo Miko Kamal itu dalam pandangan pribadi saya menunjukkan bahwa Ajo Miko Kamal gagap dalam menerjemahkan keberadaan jalan tol dan jalan non tol.
Saya ingin memberikan sedikit kutipan kepada Ajo Miko tentang apa itu jalan tol dan apa itu jalan biasa. Dikutip dari Wikipedia, jalan tol adalah suatu jalan yang dikhususkan untuk kendaraan bersumbu dua atau lebih (mobil, bus, truk) dan bertujuan untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain dan bagi yang menggunakan fasilitas ini, para pengguna jalan tol harus membayar sesuai tarif yang berlaku.
Sementara jalan biasa adalah umum yang sebagaimana sering di manfaatkan masyarakat saat ini dan bagi siapa saja yang memanfaatkannya tidak dipungut biaya apapun. Adapun biaya yang timbul akibat pemanfaatan jalan umum itu selama ini disebabkan ulah oknum masyarakat yang meminta sumbangan suka rela dan ala kadarnya.
Saya ingin sekali mempertanyakan kepada Ajo Miko Kamal, apakah dia memahami apa itu jalan tol dan kenapa jalan itu dibangun. Jalan tol (jalan bebas hambatan) dibangun oleh pemerintah atau pihak swasta atas izin pemerintah untuk memperlancar distribusi barang dan jasa dari satu titik ke titik lain.
Khusus jalan Tol Padang-Pekanbaru yang terbengkalai saat ini, pembangunan jalan bebas hambatan dari Padang ke Riau itu dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dan pengusaha mendistribusikan barang dan jasa mereka dari Sumbar ke Riau karena selama ini sebagaimana Ajo Miko juga sangat tahu bahwa waktu tempuh Padang ke Pekanbaru memakan waktu selama 8 hingga 10 jam dalam kondisi normal.
Waktu yang jauh lebih lama akan terjadi jika di beberapa titik terjadi kemacetan akibat jalan longsor, terban atau banjir seperti selam ini kerap terjadi di sepanjang jalan dari Payakumbuh ke Bangkinang. Saya bahkan belum menghitung kemacetan yang timbul akibat pasar tumpah di beberapa titik di Sumbar dan Riau seperti di Lubuk Alung, Sicincin, Koto Baru hingga di Kuok Kabupaten Kampar Riau.
Saya tertawa membaca Ajo Miko Kamal menarik kesimpulan yang dangkal dan menganalogikan serta membandingkan jalan tol sebagai Nasi Kapau yang banyak lauk pauknya enak dengan jalan umum sebagai Nasi Ampera sepuluh ribuan.
Saya bahkan mempertanyakan maksud Ajo Miko Kamal yang terkesan merendahkan kemampuan pekerja kelas tiga. Ajo Miko Kamal menyebutkan bahwa pembangunan jalan tol itu seperti memaksa rakyat khususnya warga pekerja kelas tiga untuk mengganti makan siangnya dari Nasi Ampera (Memanfaatkan jalan umum) dengan Nasi Kapau (Memanfaatkan jalan tol). Ini sangat menghina sekali.
Apakah Ajo Miko Kamal tidak tahu bahwa tidak ada paksaan bagi siapapun pengguna jalan untuk masuk ke jalan tol dan membayar. Bahasa sederhananya begini, Jika ingin cepat sampai dan lancar selama perjalanan tanpa ada gangguan kemacetan akibat pasar tumpah, lampu merah dan pedagang asongan silahkan manfaatkan jalan tol, namun bersiaplah untuk membayar sesuai tarif yang ditentukan. Akan tetapi, jika ingin bersantai santai sambil sesekali berhenti membeli sala lauak di Sicincin, silahkan melewati jalan biasa dan tidak perlu membayar.
Jalan tol sifatnya opsional dan tergantung selera. Lagipula, sebagai pengguna kendaraan roda empat selama ini, pengguna jalan non tol tidak diizinkan untuk memacu kendaraan melebihi kecepatan diatas 60 km/jam. Sementara di jalan tol, seorang pengendaraan roda empat atau lebih diberi kesempatan untuk memacu kendarannya diatas 80 km/jam. Bahkan jika kendaraan sehat serta memungkinkan, pengendara bisa saja memacu mobilnya hingga 100 km/jam. Kecepatan yang tidak diizinkan atau bahkan beresiko jika diterapkan di jalan biasa.
Baca juga: Jalan Lintas Layak Dulu, Baru Tol
Di sinilah letak kerancuan Ajo Miko Kamal dalam menerjemahkan pasal 34 ayat 3 UUD 45 tersebut. Ajo Miko terkesan memaksakan nalar dan alur berpikirnya bahwa dan menyebutkan bahwa pembangunan jalan tol adalah bentuk lepas tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya.
Soal jalan tol Sumbar - Riau ini, dalam berbagai kesempatan diskusi offline maupun webinar berMinang Minang yang pernah saya hadiri dan ikuti beberapa kali saya menyampaikan bahwa Sumatra Barat saat ini sangat membutuhkan keberadaan jalan tol tersebut.
Kenapa ? karena Sumbar tidak masuk dalam koridor utama pembangunan Trans Sumatera Highway di dokumen MP3EI yang telah ditetapkan. Karena itu, Sumbar sangat membutuhkan jalur ke daerah tetangga seperti Riau dan Jambi atau Sumatera Utara yang lancar dan cepat. Jika tidak, Sumbar akan terisolasi sendiri dari pertumbuhan ekonomi Sumatera.
Dalam bahasa yang sering saya sampaikan kepada kolega bahwa Sumbar saat ini sudah mati gaya dan akan semakin mati gaya jika keberadaan jalan Tol Padang - Pakanbaru itu tidak segera direalisasikan. Orang akan malas ke Sumbar untuk berwisata misalnya karena waktu tempuh yang berjam-jam dan melelahkan. Begitu juga sebaliknya, distribusi produk dari Sumbar akan menghadapi kendala untuk dikirim ke Riau, Jambi dan Sumut.
Saya tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa opini Ajo Miko Kamal adalah pendapat pribadi atau sebagai Wakil Ketua Tim Percepatan Pembangunan Sumbar Madani (TPPSM) dimana ia dan beberapa orang lainnya menjadi Think Tank Gubernur Mahyeldi untuk menyusun rencana pembangunan Sumbar untuk tiga tahun kedepan.
Namun pernyataan Ajo Miko Kamal ini akan membawa dampak yang kurang baik bagi citra Gubernur Mahyeldi dan Wagub Audy Joinaldy. Sebab meski ia membantah kalimatnya adalah opini pribadi, namun ia adalah orang dekat Buya Mahyeldi dan menjadi bagian dari Tim Khusus Gubernur dan Wagub. Suka atau tidak suka, terima atau tidak sekalipun, orang akan membaca pernyataan ini sebagai semi official statement.
Lagipula, jikapun pernyataan itu sifatnya pribadi, maka hal itu berpotensi merusak irama pergerakan Mahyeldi yang sudah ka ingin ka mai (ke sana kemari) menemui tokoh tokoh nasional dan melobi agar memberi perhatian pada Sumatra Barat khususnya dalam hal percepatan pembangunan infrastruktur.
Jadi, hemat saya, lebih baik Ajo Miko Kamal turun tangan membantu menyelesaikan persoalan penyediaan lahan tol yang saat ndak berkejelasan ujung pangkalnya itu. Sebab jika ia berhasil dan sukses, itu akan menjadi credit point baginya sebagai tokoh masyarakat Pariaman dan akan menjadi modal seandainya tahun 2024 nanti ia berlaga di Pilkada Piaman menjadi Bupati.
Salam hormat