Oleh: Habibur Rahman
Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam "Mafâhîm Yajibu an Tushahhah", menyatakan, “Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.”
Kutipan ini merefleksikan sifat mendasar kebodohan: tidak hanya menutup pelakunya dari kebenaran tetapi juga menjadi ancaman yang dapat melumpuhkan intelektualitas. Ya, kita tahu bahwa kebodohan adalah akar kerusakan yang sering kali sulit dihadapi dengan logika karena tidak memiliki aturan main yang jelas.
Di samping itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memberikan pandangan, dengan mengatakan bahwa memiliki musuh yang cerdas lebih baik daripada memiliki satu kawan bodoh. Musuh yang cerdas mendorong peningkatan kapasitas intelektual melalui strategi, sementara kawan yang bodoh justru membawa risiko kerugian yang sulit diantisipasi.
Jikalau kita tarik pada aspek sosial, kebodohan tidak hanya merusak individu tetapi juga merapuhkan tatanan masyarakat. Sebab kebodohan sering kali menjadi katalis bagi keputusan irasional yang berujung pada konflik.
Kita tahu, bahwa salah satu misi utama Nabi Muhammad SAW adalah menghapus kebodohan (jahiliah) di kalangan masyarakat Arab. Dalam Islam, akal disebut sebagai salah satu anugerah tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an.
Dalam Q.S Ar-Rum [30]: 30, Allah menyebutkan fitrah manusia sebagai kecenderungan pada kebaikan. Tugas Nabi, dan para ulama sebagai pewarisnya, adalah mengarahkan manusia kembali kepada fitrah tersebut dengan memaksimalkan potensi akal.
Dalam 49 ayat yang tersebar di berbagai surah, Al-Qur'an secara eksplisit menyerukan penggunaan akal dan mengkritik mereka yang tidak berpikir. Sebagai contoh, QS Al-Baqarah [2]: 164, menjelaskan bagaimana tanda-tanda kebesaran Allah ada di alam semesta, yang dapat dikenali melalui pengamatan dan pemikiran.
Dengan demikian, Islam tidak hanya mendorong umatnya untuk berpikir, tetapi juga menjadikan logika sebagai fondasi dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Berikutnya, dalam kajian filsafat, logika adalah ilmu tentang cara berpikir yang benar, sebagaimana dirumuskan oleh Aristoteles dalam karyanya yang cukup monumental "Organon". Pemikiran Aristoteles ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Sedangkan, Ushul fiqh menggunakan prinsip logika deduktif dan induktif untuk menggali hukum dari Al-Qur'an dan hadis. Misalnya, kaidah “al-ashlu fil asy-ya’ al-ibahah” (hukum asal sesuatu adalah boleh) merupakan hasil dari analisis logis terhadap ayat-ayat Al-Qur'an.
Dan, ya, kita harus tahu bahwa logika hanya dapat bekerja jika didukung oleh data yang valid. Hal ini senada dengan teori epistemologi modern yang dibahas oleh Karl Popper, seorang filsuf sains. Dalam karyanya "The Logic of Scientific Discovery", Popper menjelaskan bahwa pengetahuan ilmiah harus berbasis pada falsifiabilitas, yakni kemampuan suatu argumen untuk diuji kebenarannya.
Jika diterapkan dalam pada Islam, hal ini menunjukkan bahwa pemahaman agama pun harus didasarkan pada dalil-dalil yang kuat, bukan asumsi yang dangkal, dan juga layak bahkan untuk teori skeptisisme dipakai dalam diskursus mengenai keislaman, bahkan di ruang perkuliahan, hanya saja dapatkah ini diterima oleh mereka yang awam?
Ironisnya, sebagian kelompok Muslim justru mengabaikan logika, catat ini sebagian ya, jangan membaca kalimat ini dengan kapasitas sumbu pendek, tolong jangan. Kita dapat melihat beberapa bahkan menganggapnya bertentangan dengan syariat.
Pandangan sempit ini berujung pada pemahaman yang salah, seperti menafsirkan jihad semata-mata sebagai peperangan, atau memahami zuhud sebagai penolakan total terhadap dunia. Padahal, menurut Imam Ghazali dalam, zuhud adalah sikap hati yang tidak terikat pada dunia, bukan meninggalkannya secara fisik, dan harusnya ini menjadi catatan penting bagi mereka.
Berbicara soal jihad dalam Islam memiliki banyak dimensi, salah satunya adalah jihad argumentatif. Syekh Mutawalli Al-Sya'rawi dalam "Al-Jihad fi al-Islam" menjelaskan bahwa jihad ini adalah upaya menjelaskan kebenaran Islam melalui logika dan argumentasi yang rasional. Ini selaras dengan QS An-Nahl [16]: 125, yang memerintahkan umat Islam untuk berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik.
Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan utama dalam hal ini. Dalam kisah Perjanjian Hudaibiyah, Nabi memilih jalan damai meskipun isi perjanjian tersebut tampak merugikan umat Islam. Keputusan ini mencerminkan prinsip rahmatan lil 'alamin: Islam sebagai agama yang mengupayakan kedamaian dan maslahat bagi semua pihak. Langkah Nabi menunjukkan bahwa logika dan kesabaran adalah senjata utama dalam menghadapi konflik.
Bergeser pada era modern saat ini, kebodohan sering kali muncul dalam bentuk "misinformation" dan "disinformation". Fenomena ini diperparah oleh budaya media sosial yang mendorong debat emosional daripada diskusi rasional.
Marshall McLuhan dalam bukunya "Understanding Media" menjelaskan bagaimana media teknologi menciptakan “desa global,” di mana informasi menyebar dengan cepat tetapi sering kali tanpa penyaringan yang memadai. Nah, dengan itu kebodohan dapat menyebar lebih luas dan lebih cepat dibandingkan sebelumnya.
Sikap emosional dalam berdebat, yang sering kali ditemui di media sosial, hanya memperburuk masalah. Alih-alih menjadi wadah untuk saling berbagi pengetahuan, media sosial sering kali menjadi arena "perang kata-kata" yang merendahkan pihak lain. Ini berlawanan dengan prinsip Q.S Al-'Ashr [103]: 3, yang menggandeng kebenaran dengan kesabaran.
Kita harus menanamkan dalam diri kita bahwa jahiliah bukan sekadar istilah untuk sebuah zaman, melainkan sifat yang dapat muncul kapan saja. Oleh karena itu, jihad melawan kebodohan adalah tugas abadi yang harus dilakukan oleh umat Islam. Tugas ini tidak hanya mencakup penghapusan kebodohan individu, tetapi juga transformasi masyarakat menuju peradaban yang lebih maju.
Islam sebagai rahmatan lil 'alamin adalah agama yang menciptakan kemaslahatan bagi semua. Dengan menjunjung tinggi akal, logika, dan ilmu pengetahuan, umat Islam dapat menghadirkan wajah Islam yang tidak hanya relevan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah [2]: 269, “Barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak.”
Mari kita berupaya bersama-sama, bahwa melawan kebodohan harus dilandasi oleh hikmah, kesabaran, dan ilmu pengetahuan. Inilah jihad sejati yang akan membawa umat Islam kembali kepada kejayaan intelektual sebagaimana yang pernah dicapai di era keemasan peradaban Islam.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.