Langgam.id - Kemajuan teknologi kian menggerus kebiasaan bertatap muka. Sadar atau tidak, menjamurnya media sosial (medsos) mulai menyekat kehangatan bersama keluarga, kawan sejawat dan orang-orang di lingkungan tempat tinggal.
Kehadiran telepon pintar telah membawa peradaban baru. Hari ini, kiasan 'dunia dalam genggaman' betul-betul terasa. Nyaris, tak ada kabar yang luput dari informasi medsos. Apakah itu berbentuk narasi berita media online, pun cerita netizen di akun Facebook, Twitter dan Instagram. Semua disajikan 'telanjang'. Benar atau tidaknya informasi, urusan belakangan.
Berita bohong (hoaks) menyeruak ke ruang-ruang publik dengan cepat dan tanpa kendali. Penggiringan opini masif dilakukan berbagai pihak. Banyak masyarakat yang ‘menyantap’ informasi mentah, tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu. Tidak sedikit juga yang berurusan dengan pihak berwajib akibat memposting dan membagikan kabar yang sumbernya tidak kredibel.
Gerombolan hoaks kian menjadi-jadi menjelang berlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres) April 2019 lalu. Berbagai tuduhan disematkan kepada Capres dan Cawapres. Paling fenomenal di Ranah Minang adalah berita hoaks tentang sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dituduh keturunan PKI dan pro China hingga anti Islam. Ada juga soal Capres Prabowo Subianto yang dituduh pelanggar.
Banyak lagi hoaks-hoaks lain disemai di medsos. Tujuannya tak lain untuk mempengaruhi pandangan publik agar membenci salah satu kandidat yang jelas-jelas putra terbaik bangsa Indonesia. Kondisi nyaris terjadi di sudut-sudut negeri di 34 provinsi Indonesia, termasuk di Sumatra Barat (Sumbar).
Di Ranah Minang, ingar-bingar politik hingga isu yang sedang berkembang luas di tengah khalayak, selalu dibentangkan di tengah Lapau (kedai). Mulai dari politik lokal hinggal Pilpres pun dibedah dengan beragam sudut pandang. Apalagi yang duduk di lapau berasal dari berbagai latar.
Lapau adalah bangunan sederhana yang dipergunakan untuk berjualan makanan, kopi, teh dan sebagainya. Di Minangkabau, lapau biasanya dilengkapi meja dan kursi. Tabu sekali di era 80-an, jika ada anak-anak muda tidak duduk di lapau.
Suatu malam, di sebuah lapau sudut kampung Kabupaten Solok, Bujang (45) dan Wandri (38) bersitegang soal pemindahahan Ibu Kota Indonesia dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang telah diumumkan Presiden Joko Widodo pada Senin (26/8/2019) lalu.
Keduanya memang berbeda pilihan politik sejak menjelang Pilpres 2019. Bujang yang bekerja sebagai kuli bangunan, salah satu pendukung militan Prabowo Subianto. Sedangkan Wandri yang sehari-hari berjualan makanan keliling adalah pecinta Jokowi. Mereka berdebat sambil saling menyindir di lapau milik Defi (35).
“Pemindahan ibu kota ini pasti ada kaitannya dengan asing. Negara kita sudah diobok-obok. Ini tandanya Presiden tidak tegas,” katanya di hadapan sekitar 10 orang yang sedang duduk di dalam lapau.
Menurut Bujang, klaiman tersebut bukan lantaran karena dia tidak mendukung Jokowi yang kembali terpilih menjadi Presiden. Namun, karena kabar yang beredar di medsos yang didapatinya dari pesan Whatshapp. Informasi yang sempat viral di jagat dunia maya itu, menyebutkan jika ibu kota dipindahkan atas usulan PKI.
Narasi di unggahan itu juga menyebutkan PKI telah melakukan studi kelayakan hingga aksi sepihak. Bahkan, diaspora China juga disebut memiliki jutaan hektare tanah di kawasan ibu kota baru. Dengan begitu, nilai harga tanah mereka akan naik hingga 1.000 kali lipat.
“Ini informasinya detail dan jelas. Tidak mungkin hujan tanpa adanya angin,” tegasnya.
“Anda tidak bisa menuduh seperti itu. Sumber bacaan anda tidak jelas. Itu hoaks. Cerdas dong dengan berita medsos. Lihat sumbernya dari mana. Jangan main klaim serampangan begitu,” sanggah Wandri meluruskan.
Perdebatan malam itu betul-betul hangat dan sesekali melenceng kemana-mana. Seisi lapau turut menimpali kisruh yang tak jelas akarnya dari mana. Padahal, sejumlah media terpercaya jelas-jelas telah menyatakan informasi yang didapati Bujang adalah berita bohong.
“Sudahlah Jang. Jangan terlalu percaya berita-berita seperti itu. Tidak mungkin Pak Presiden mengambil keputusan besar tanpa pertimbangan dan kajian matang,” kata Ketua Pemuda setempat, Jawari (35) menimpali.
Meski diserang berbagai pendapat, Bujang tidak pernah terpancing emosi. Apalagi sampai membawa persoalan tersebut berlarut-larut. Dengan kata lain, perbedaan pandangan di dalam lapau, lenyap setelah membayar kopi dan pulang ke kediaman masing-masing.
Menurut Defi, perdebatan soal politik dan beragam informasi kerap dibedah di lapaunya. Namun, semua perseteruan tidak sampai mengundang aksi anarkis. Semua akan menerima, jika lahir pandangan yang betul-betul dianggap paling benar dan mencerahkan.
“Lapau sudah jadi tempat diskusi setiap hari. Apa pun urusannya, pasti dibedah di lapau. Soal politik, sampai menyusun agenda kegiatan pemuda, masjid di mulai juga dari lapau,” katanya.
Tiga pekan lamanya langgam.id menyusuri sejumlah lapau di Kabupaten Solok. Mayoritas, tradisi duduk di lapau masih terjaga. Hiruk pikuk perdebatan berbagai persoalan masih tetap membumi di dalam lapau. Kehangatan diskusi pun tidak menghambat mereka untuk terus beraktivitas. Ada yang sibuk bermain domino, bermain catur, kertas remi hingga menonton siaran televisi.
Diskusi tak melulu membahas politik. Ada juga yang gemar bercerita seputar kegiatan berburu babi yang rutin berlangsung sekali dalam sepekan. Membahas buru babi bahkan sampai ayam berkokok. Tak habis-habis cerita soal anjing dan babi ini di lapau Ican (47) yang berjarak sekitar 3 kilometer dari lapau Defi.
Menariknya, tak satu pun dari mereka yang mau mengakui kelemahan anjingnya saat berburu. Semua mengklaim anjing mereka paling baik dan pintar mencari babi. “Harus diakui, anjing hitam saya ini, pantang pulang kalau belum berdarah (dapat mangsa). Setiap berburu, selalu dapat menangkap babi,” kata Ayi (33) sembari mengunyak cemilan kacang tanah.
“Anjing itu tergantung harganya. Kalau mahal, wajarlah bagus. Malangnya, sudahlah belinya mahal, tidak pula pandai mengejar babi,” timpal Dayat (23) sambil terkekeh menyeruput kopi yang sudah dingin.
Panjang lebar membahas buru babi, topik pun berganti ke isu maling ternak sedang marak terjadi di kampung itu. Semua pun saling menimpali. Sementara, malam kian larut. Udara mulai dingin karena embun menjalari kaki. Perbincangan terus saja bergelora, meski pangkal dan ujungnya tidak jelas.
Kehangatan lapau tidak saja tumbuh di perkampungan yang masyarakatnya masih seirama. Namun, juga menyasar daerah berpenduduk heterogen. Misalnya di Kota Padang. Meski kedai-kedai kopi modern tumbuh subur, eksistensi lapau tradisional tetap tak terbantahkan.
Seperti di kompleks Perumahan Ranah Minang yang berada di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang. Mayoritas, penghuni kompleks ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), wiraswata dan jarang sekali yang berprofesi sebagai petani. Di kompleks ini, lebih dari 5 lapau yang tetap buka hingga menjelang pagi.
Seperti lapau milik Abak yang sudah wafat sekitar tiga tahun lampau. Namun, lapaunya tetap ramai dikunjungi sampai hari ini. Sebagian beranggapan, duduk lapau salah satu cara mengusir jenuh.
“Hati senang, informasi baru juga bertebaran di tengah lapau. Saya ke lapau setiap hari. Sakit-sakit sedikit pun, saya duduk di lapau,” kata Panji (28), salah seorang warga kompleks Ranah Minang.
Di lapau kawasan ibu kota Sumbar ini, ota (cerita) lapau agak sedikit intelektual. Mayoritas mereka berpendapat dengan referensi bacaan media koran, online dan televisi. Nyaris tak ada orang-orang yang duduk di lapau kompleks Ranah Minang ini, tidak menyandang gelar sarjana. Meski demikian, suasana lapau tetap cair dan penuh nyiyiran yang tidak berbeda dengan aktivitas di lapau-lapau sudut kampung.
Begitulah lapau di Minangkabau. Seribu kasus dan informasi lokal hingga mancanegara, dibentang sembari menyeruput kopi, teh telor dan makanan ringan. Tua, muda dan remaja berbaur dalam diskusi yang kadang tak menentu. Diskusi berantai di dalam lapau biasa hingga larut malam, bahkan sampai dini hari.
Selain tempat berdiskusi, lapau juga wadah berkelakar mengusir semua kegundahan dan kepenatan usai bekerja seharian. Gelak-tawa buncah di lapau saat bermain domino atau pun bermain koa. Kondisi ini hanya dinikmati kaum lekali. Pantang bagi perempuan Minang, ikut-ikutan duduk di dalam lapau, terlebih malam hari.
Lapau wadah diskusi paling hangat di setiap sudut-sudut nagari (desa). Semua boleh mengusul, menimpali. Tidak ada standar yang boleh bicara dan yang hanya mangut di dalam lapau. Semua bisa berdialektika, jika memang mengetahui apa yang dibahas bersama-sama. Konon, tradisi bercerita, membentang kabar di ruang lapau sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Bahkan, sebelum Belanda masuk ke daratan Sumbar.
Guru besar sejarah dari Universitas Andalas (Unand) Gusti Asnan mengatakan, sejak dulunya, lapau memang tempat membentang berbagai kabar dan keruwetan yang sedang membuncah publik. Tidak hanya wadah diskusi untuk menyaring informasi, keberadaan lapau juga bisa disebut sebagai diseminasi hingga memproduksi informasi.
Profesor ilmu sejarah itu mengaku, tidak tau persis darimana alur sejarah lapau hingga akhirnya menjadi wadah diskusi. Ia melihat, keberadaan lapau di Ranah Minang, berkaitan erat dengan kemunculan pasar di akhir abad ke-18. Saat itu, lapau hadir di pinggir-pinggir jalan setapak atau yang banyak dilalui para saudagar dan musafir, kala itu. Lantas, mereka memanfaatkan lapau sebagai tempat beristiharat hingga bercerita dengan pribumi.
“Lapau sudah hadir sejak dulu. Mungkin sebelum Belanda masuk ke daerah darek (daratan) Minangkabau,” kata Gusti kepada langgam.id, pekan lalu.
Sejak saat itu, lapau mulai menjadi bagian dari sistem sosial (politik dan ekonomi). Lapau menjadi lembaga yang tidak resmi untuk membangun jaringan niaga daerah pantai dan pedalaman Minangkabau atau wilayah darek. Hingga akhirnya, lapau tumbuh di setiap sudut pinggiran nagari (desa).
“Siapa saja boleh mendirikan lapau. Ya, tujuan utama awalnya untuk tempat berdagang. Awal-awalnya hanya fungsi lapau juga tempat saudagar singgah dan bermalam,” sebut pengajar di Fakultas Sejarah dan Ilmu Budaya Unand itu.
Membunuh Bibit Hoaks
Lambat laun, keberadaan lapau sebagai tempat singgah atau menginap para saudagar pun berubah. Sejak tahun 70-an, selain sebagai tepat jual-beli, lapau menjelma sebagai tempat berkumpul para lelaki.
Mereka cenderung menghabiskan waktu di dalam lapau untuk membincangkan beragam persoalan. Isu terhangat hingga simpul-simpul politik pun dibangun dari lapau-lapau kecil yang berada di setiap sudut kampung. “Tim sukses setiap Pemilu, pastinya berawalnya dari lapau. Itu sudah jadi kebiasaan dan mengakar sampai hari ini,” kata Gusti Asnan.
Lapau memang bukan lembaga sosial-politik tradisional Minangkabau. Lapau hanya sebagai wadah penyalur energi yang tidak tersalurkan pada forum sosial-politik resmi. Namun, isu-isu yang berkembang dari lapau bisa menjadi sebuah kebenaran atau justru melahirkan ‘bola liar’. Hal ini tidak terlepas dari siapa menggulirkan dan menjernihkan informasi yang menggelinding.
Kemajuan zaman di era digital hingga menjamurnya mall dan mini market, tidak serta-merta meredupkan eksistensi lapau. Sampai detik ini, lapau masih tumbuh subur di setiap sudut nagari (desa) di Ranah Minang.
Diskusi lapau tidak mengenal pangkat dan jabatan. Pengangguran, tukang becak, guru mengaji, pegawai, anggota DPRD hingga Bupati pun ‘setara’ di dalam lapau. Cilotehnya bebas. Mayoritas, isu yang terbentang di tengah lapau lahirnya spontanitas. Temanya tidak terjadwal seperti panggung talk show media televisi. Namun, setiap informasi yang dikupas, dipastikan update dan terbaru.
“Ciri lapau itu begitu. Topiknya spontan. Bisa berubah-rubah. Tergantung siapa yang menggiring paling vokal,” kata Gusti Asnan.
Tersebab itu juga, lapau menjadi media yang begitu penting dalam penyebarluasan informasi. Bahkan, keberadaan lapau juga dianggap sebagai wadah ‘kekuatan’ politik. “Filosofi ota lapau itu bebas, cair dan dinamis. Tidak ada intimidasi dalam diskusi lapau. Semua boleh berpendapat tentang apa yang dipahaminya terhadap topik yang dibahas,” katanya.
Lantas, di era informasi secepat cahaya, mampukah lapau menjadi salah satu wadah penetralisir berita bohong atau hoaks yang disebar pihak tak bertanggung jawab? Jawabannya, tentu sangat bisa. Sebab, sebelum hoaks muncul ke permukaan kalangan millenial, lapau jauh-jauh hari telah memagari dari kabar tersebut. Cerita lapau sangat selektif. Sebab, semua dibentangkan lurus dengan semua sudut pandang.
Lapau menjadi wadah penyaring informasi bagi masyarakat Sumbar. Kondisi ini telah berlangsung lama. Bahkan, sebelum sinyal telepon, apalagi internet menyeruak ke daerah-daerah terisolir. Dengan begitu, lapau termasuk sentra informasi di Minangkabau untuk menangkis dan bahkan membunuh bibit-bibit berita bohong.
“Tidak hanya hoaks, ota lapau dijadikan cikal bakal untuk melakukan sebuah agenda besar. Meski diskusinya cair, tetap ada seleksi dalam setiap bahasan ota lapau,” terangnya.
Budayawan Sumbar, Musra Dahlizar Katik Rajo Mangkuto juga tak meragukan keberadaan lapau sebagai salah satu yang bisa menyaring informasi liar. Bahkan, dulunya, semua yang akan dibangun di dalam nagari, dibedah terlebih dahulu di dalam lapau.
“Informasi dari Surau misalnya, dibedah dulu di lapau. Setelah itu dibawa lagi ke Surau. Ini sudah dilakukan tetua Minangkabau sejak dulu-dulunya,” kata lelaki yang akrab disapa Mak Katik itu.
Lapau bisa dikatakan tempat untuk merancang sebuah peristiwa atau agenda yang akan disebar luaskan di tengah masyarakat. Lapau telah memainkan perannya sebagai wadah yang mampu memfilter informasi sejak zaman Belanda.
“Tempo dulu, lapau itu ibaratnya android generasi millenial hari ini. Semua informasi ada di lapau. Begitu hebatnya lapau, bisa menggiring pandangan dan pendapat seseorang terhadap sebuah kabar yang masih samar-samar. Merugilah lelaki yang tidak ke lapau, karena tidak dapat informasi terbaru,” kata lelaki yang pernah menjadi dosen tamu di Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia itu.
Hanya saja, ada beberapa pergeseran di dalam lapau. Dulu, jika mamak (kakak/adik lelaki ibu) duduk di lapau A, maka kemenakannya tidak mau duduk di situ dan mencari lapau lainnya. Begitu juga antara sumando (suami adik/kakak) dan mamak rumah (adik/kakak istri), tidak pernah duduk semeja di dalam lapau.
“Kalau esensinya tetap sama. Membincangkan informasi terbaru. Cuman soal kebiasaan duduk itu saja yang berubah hari ini,” katanya.
Menurut Mak Katik, jauh hari Minangkabau telah memiliki lembaga tak resmi sebagai penyaring informasi yang bernama lapau. Intensitas informasi di lapau mendahului televisi, radio, apalagi internet. Ia berharap, eksistensi lapau tetap terjaga. Serta fungsinya untuk menetralisir kebenaran informasi tetap berjalan dengan baik di tengah kehidupan masyarakat modern. (RC)