Tiga belas hari berlalu sejak banjir bandang dan longsor meluluhlantakkan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Air mungkin mulai surut di beberapa titik, tetapi kehidupan warga jauh dari kata pulih. Ada desa yang masih terisolasi, kampung yang hilang dari peta, dan rumah yang terkubur lumpur hingga atap. Dalam kondisi seperti ini, pengungsian darurat dan tenda seadanya tidak lagi memadai. Korban bencana Sumatra sangat membutuhkan hunian sementara (huntara) yang layak, terencana, dan dibangun segera.
Di banyak lokasi, warga hidup dalam ketidakpastian. Mereka tinggal di rumah yang retak, di lereng yang rawan longsor, atau di bantaran sungai yang sudah terbukti membawa malapetaka. Posko pengungsian berdiri di lapangan, halaman kantor, atau bangunan publik yang sesak. Kondisi ini tidak cocok untuk kehidupan dalam jangka waktu panjang. Anak-anak sulit belajar, lansia rentan sakit, perempuan dan kelompok rentan menghadapi risiko keamanan dan kesehatan yang meningkat. Tanpa huntara yang tertata, korban bencana terpaksa bertahan dalam situasi darurat berkepanjangan yang menggerus martabat dan harapan.
Instruksi Presiden pada 7 Desember 2025 untuk mempercepat pembangunan huntara memberi arah yang jelas. Pemerintah perlu menindaklanjuti perintah tersebut dengan segera menetapkan lokasi aman yang tidak terlalu jauh dari kampung asal. Kedekatan dengan ladang, kebun, dan jaringan sosial penting agar warga tetap memiliki akses terhadap sumber penghidupan. BNPB, PUPR, BMKG, ahli geologi, pemerintah daerah, TNI, dan tokoh lokal perlu bekerja bersama memetakan zona aman. Keputusan lokasi tidak boleh didasarkan hanya pada ketersediaan lahan, tetapi harus berangkat dari kajian risiko banjir bandang, potensi longsor, dan stabilitas tanah.
Setelah lokasi ditetapkan, proses pemindahan warga ke huntara harus berlangsung cepat dan terorganisir. Pemerintah perlu mengerahkan helikopter, perahu karet, truk, dan kendaraan taktis untuk mengevakuasi warga dari desa yang masih terancam. Komunikasi intensif dengan pemimpin adat, ulama, dan tokoh masyarakat penting agar warga memahami bahwa relokasi ini merupakan langkah perlindungan, bukan pengusiran. Negara perlu hadir dengan sikap tegas sekaligus empatik: menyelamatkan nyawa lebih utama daripada mempertahankan rumah lama di lokasi yang sudah tidak aman.
Desain huntara tidak boleh berhenti pada deretan tenda darurat. Hunian sementara perlu menyediakan ruang keluarga yang manusiawi, sanitasi layak, akses air bersih, dan listrik darurat. Pemerintah dapat memanfaatkan model rumah modular, panel bongkar pasang, atau struktur kayu dan baja ringan yang cepat dipasang tetapi cukup kokoh. Kompleks huntara perlu dilengkapi dapur umum, posko kesehatan, ruang ibadah, dan ruang belajar darurat. Penataan yang baik akan menurunkan risiko penyakit menular, mengurangi potensi konflik sosial, dan membantu memulihkan kondisi psikologis korban.
Pada saat yang sama, pembangunan huntara perlu terhubung dengan agenda rekonstruksi jangka menengah. Pemerintah harus mengaudit rumah dan permukiman di lokasi terdampak: mana yang masih bisa diperbaiki, mana yang wajib ditinggalkan. Kajian alur sungai, peta kerawanan longsor, dan karakter tanah harus menjadi dasar keputusan. Rekonstruksi tidak boleh mengulang pola sebelumnya dengan membangun kembali rumah di jalur banjir bandang atau di lereng rapuh. Huntara dapat menjadi ruang transisi dan forum dialog dengan warga tentang masa depan permukiman yang lebih aman dan lebih tertata.
Bencana di Sumatra sudah menelan korban jiwa lebih dari seribu orang, ratusan masih hilang, dan wilayah terdampak terbentang luas hampir menyamai gabungan Jawa dan Bali. Beberapa negara telah menawarkan bantuan, sementara di dalam negeri solidaritas publik mengalir dari berbagai penjuru. Pembangunan huntara dalam skala besar dapat menjadi simpul yang menyalurkan seluruh potensi ini ke bentuk yang nyata dan terukur. Korban bencana tidak boleh dibiarkan menggantung tanpa kepastian.
Korban bencana Sumatra sangat membutuhkan huntara, bukan sekadar sebagai atap sementara, tetapi sebagai pijakan pertama menuju pemulihan yang bermartabat. Keputusan politik yang berani untuk mempercepat huntara, memperjelas status bencana, dan memulai rekonstruksi sekarang juga akan menentukan apakah Sumatra bangkit lebih kuat atau terperosok dalam krisis berkepanjangan. Negara memiliki kesempatan untuk membuktikan keberpihakan, dan waktu untuk menundanya sudah habis.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)



