Oleh: Habibur Rahman
Ada 21 Judul naskah kaba tulis tangan, tapi tidak berada di Minangkabau, dan tersimpan dengan autentik yang keberadaannya di Universiteitsbibliotheek, Belanda. Karena yang menulisnya peneliti berkebangsaan Belanda. Salah satu karya itu berjudul 'Sutan Manangkerang', oleh J.L. Van Der Toorn BKI Deel 34, Leiden 1885, dan banyak karya lainnya.
Dan dari banyaknya rumor yang beredar bahkan ada 62 judul sastra minang dalam bentuk Kaba. Buku favorit masyarakat Minang dan Malaysia 'Kaba Cindur Mato' mempunyai tujuh (7) versi cetakan, dan cerita 'kaba' itu ditulis oleh peneliti Belanda, yakni J.L. Van Der Toorn, yang mana memberikan gambaran jelas kepada kita semua bahwa Belanda juga excited dalam merawat dan mengoleksi hasil-hasil kinerja ilmiah mereka tentang Budaya Minangkabau di masa lalu, jadi siapa itu J.L. Van Der Toorn?
Bagi para peneliti yang mendalami sejarah Minangkabau, khususnya dalam bidang bahasa, pendidikan, dan antropologi, nama J.L. Van Der Toorn memiliki posisi yang signifikan. Namun, saat ini, tidak banyak yang mengenalnya, apalagi memahami kontribusi ilmiahnya yang bernilai tinggi terhadap kajian budaya Minangkabau.
J.L. Van Der Toorn pernah menjabat sebagai kepala Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi tempat dimana Tan Malaka bersekolah dahulunya, yang mana kala itu Kweekschool merupakan salah satu lembaga pendidikan bergengsi pada era kolonial Sumatra yang mulai berdiri pada 1872.
Sebelumnya, sekolah ini dikenal sebagai (Noormaalschool) sejak pendiriannya pada 1856. J.L. Van Der Toorn memimpin sekolah tersebut dari 1877 hingga 1888 dan sempat kembali menjabat untuk beberapa bulan di awal tahun 1895.
Selama masa pengabdiannya, ia bekerja bersama sejumlah guru Eropa seperti D. Grivel, J. Ennen, W. Voorthuijsen, dan J.G. Dammerboer, serta beberapa guru Melayu-Minangkabau seperti Engku Nawawi Sutan Makmur (guru bahasa Melayu Tan Malaka, yang sekaligus merupakan ayah dari Syarifah Nawawi sosok cinta pertama Tan Malaka yang bertepuk sebelah tangan di Kweekschool, Bukittinggi ), Si Daoed Radja Medan, Datuk Pada Besar, dan Soetan Oloan. Kerjasama dengan tenaga pengajar lokal ini menunjukkan kedekatan J.L. Van Der Toorn dengan komunitas setempat.
Selain berperan sebagai pendidik, J.L. Van Der Toorn juga terlibat dalam penelitian mendalam tentang budaya Minangkabau selama tinggal di Sumatra Barat dari 1877 hingga 1895. Ia menulis lebih dari selusin artikel ilmiah dan sejumlah buku yang membahas bahasa, tradisi, serta kepercayaan masyarakat Minangkabau.
Salah satu kontribusinya yang paling menonjol adalah pengembangan sistem tulisan Latin untuk Bahasa Minangkabau. Ia dianggap sebagai sarjana Eropa pertama yang secara serius mengembangkan bahasa Minangkabau dalam bentuk tertulis. Pada tahun 1891, J.L. Van Der Toorn menyusun kamus Minangkabau-Belanda dan menciptakan ejaan Latin pertama untuk Bahasa Minangkabau. Kemudian, pada tahun 1899, ia menerbitkan buku Minangkabau Spraakkunst tatabahasa pertama untuk bahasa Minangkabau.
J.L. Van Der Toorn juga menulis beberapa artikel yang berupaya menunjukkan bahwa Bahasa Minangkabau merupakan bahasa yang berdiri sendiri, bukan sekadar dialek Bahasa Melayu Riau. Ia mengungkapkan kekayaan Bahasa Minangkabau, terutama dalam tradisi Pasambahan, yang ia dokumentasikan secara mendalam.
Selain itu, ia berkontribusi pada pelestarian tradisi sastra Minangkabau dengan menerbitkan dan menerjemahkan 'kaba' cerita rakyat Minangkabau ke dalam Bahasa Belanda. Beberapa karya tersebut antara lain 'Kaba Mandjau Ari' (1885) dan 'Kaba Cindoer Mato' (1886).
Penelitiannya juga mencakup aspek kepercayaan tradisional masyarakat Minangkabau, termasuk unsur magis seperti konsep 'sumangaik', kepercayaan bahwa semangat atau jiwa dapat dipindahkan atau dimanipulasi melalui praktik tertentu. Ia mencatat berbagai mantra yang terkait dengan konsep ini dan mendokumentasikan tradisi seperti 'manggasiang', 'manggayuang', serta praktik ilmu hitam dan putih lainnya.
Dalam artikelnya yang membahas animisme di Minangkabau, J.L. Van Der Toorn juga mencatat cerita rakyat seperti 'Carito Palasik', 'Carito Urang Bunian', dan tradisi lainnya yang mencerminkan pandangan dunia masyarakat setempat.
Namun, ada sisi lain dari perjalanan hidup J.L. Van Der Toorn yang masih diliputi misteri, termasuk tanggal lahir dan kematiannya. Namun beberapa indikasi mengatakan atau mengarah, bahwa beliau lahir di Scheveningen, Belanda, dan meninggalkan jabatan sebagai kepala Sekolah Raja pada tahun 1895.
Pengunduran dirinya menjadi tanda tanya, apakah disebabkan oleh faktor usia, ketidakcocokan dengan kebijakan pemerintah kolonial, atau alasan lainnya. Dalam salah satu artikelnya, ia bahkan menggunakan pseudonim 'Een Wachtgelder' (pegawai yang dibebastugaskan), yang mengindikasikan kemungkinan adanya konflik dengan otoritas kolonial.
Tidak seperti banyak pegawai kolonial lainnya, J.L. Van Der Toorn menunjukkan simpati yang mendalam terhadap masyarakat lokal. Hal ini mengingatkan pada beberapa tokoh kolonial lainnya, seperti Multatuli dan S.E.W. Roorda van Eysinga, yang juga dikenal kritis terhadap kebijakan kolonial. Di Sumatra Barat, tokoh seperti Residen Le Febre dikenal karena empatinya terhadap penderitaan masyarakat Minangkabau akibat kebijakan 'Cultuurstelsel'. Sikap empatik seperti ini sering kali tidak disukai oleh penguasa kolonial yang lebih mengutamakan jarak sosial antara penjajah dan masyarakat setempat.
J.L. Van Der Toorn dikenal sebagai seorang kepala sekolah yang dekat dengan murid-murid pribuminya. Kedekatan ini sangat kontras dengan norma kolonial pada masa itu yang umumnya menjaga jarak sosial dengan masyarakat jajahan. Ketika ia meninggalkan Sumatra Barat pada tahun 1895, murid-muridnya memberikan syair sebagai tanda penghormatan dan perpisahan. Syair tersebut, yang masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, mencerminkan kedekatan emosional yang mendalam antara Van Fer Toorn dan murid-muridnya.
Kontribusi J.L. Van Der Toorn, serta sejumlah sarjana Belanda lainnya, menjadi bukti penting bahwa penelitian kolonial turut memberikan sumbangsih besar terhadap pengembangan pengetahuan tentang Minangkabau. Meski dilakukan dalam konteks kolonial, karya-karya ini telah membantu mendokumentasikan dan melestarikan aspek-aspek budaya yang mungkin hilang seiring waktu.
Para peneliti seperti J.L. Van Der Toorn tidak hanya menghasilkan karya ilmiah, tetapi juga membuka jalan bagi generasi berikutnya untuk memahami kekayaan budaya Minangkabau dari sudut pandang yang lebih mendalam. Dalam konteks modern, karya-karya mereka dapat menjadi pijakan untuk memperkaya kajian budaya Nusantara, baik dalam perspektif lokal maupun global.
Pengetahuan sejatinya tidak mengenal batas bangsa, latar belakang, atau sekat geografis. Layaknya yang berusaha dicontohkan oleh cerita J.L. Van Der Toorn di atas, menunjukkan kepada kita semua bahwa ilmu dan pemahaman bisa datang dari siapa saja, bahkan dari seorang yang berlatar Belanda sekalipun yang kala itu negerinya menjajah negeri kita.
Ia hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Meskipun berasal dari latar belakang seorang Belanda, kontribusi J.L. Van Der Toorn dalam mendokumentasikan bahasa, budaya, dan tradisi Minangkabau menjadi warisan berharga yang patut kita baca kembali.
Hal ini mengajarkan kita bahwa belajar tidak selalu harus bersumber dari orang dalam komunitas sendiri, tetapi bisa juga dari pihak luar yang memiliki kinerja ilmiah dan dedikasi untuk memahami dan melestarikan keunikan budaya lain, dan J.L Van Der Toorn merupakan salah satu contoh nyata dari itu semua. (*)
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.