Langgam.id - Suasana dalam ketidakpastian. Secara resmi, Belanda sudah menyerah kepada Jepang sejak 8 Maret 1942 di Linggarjati, Jawa Barat. Kekuatan serdadu negeri matahari terbit pun sudah menyebar hampir di seluruh Pulau Jawa.
Namun, selama sembilan hari setelah menerima penyerahan diri Belanda, Jepang belum sampai ke Sumatra Barat. Sejumlah pemuda dan aktivis perjuangan pergerakan kemerdekaan pun merencanakan aksi.
Dalam situasi semacam itu, Chatib Sulaiman, Leon Salim dan para aktivis perjuangan merasa, inilah saatnya 'mengambil podium'.
"Mereka meminta Belanda menyerahkan kekuasaan kepada pihak Indonesia sebelum tentara Jepang memasuki Sumatra Barat. Sehingga, merekalah yang akan berunding dengan Jepang," tulis Audrey Kahin dalam Buku 'Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998' (2005).
Untuk melancarkan hal tersebut, Chatib Sulaiman dan kawan-kawan merencanakan demonstrasi di Padang Panjang pada 12 Maret 1942. Bahkan, rencananya akan dikibarkan Bendera Merah Putih.
Rifai Abu dan Abdullah Suhardi dalam Buku 'Chatib Suleman' (1976) menyebutkan, selain Chatib Sulaiman, para pemuda tersebut yakni Leon Salim, A Murat Saat, M. Husni Rajo Bujang, D. Mandah Kayo dan Khairi Gazali.
Sebelum aksi terjadi, Chatib Sulaiman dan lima orang ini pun ditangkap polisi Hindia Belanda pada 11 Maret 1942. Kejadian itu, tepat 77 tahun yang lalu dari hari ini, Senin (11/3/2019).
Hal yang agaknya tidak diduga oleh para aktivis. Karena, semua tahu jajaran militer dan sipil Pemerintah Hindia Belanda sedang panik dan sebagian besar sibuk 'mengepak koper' untuk melarikan diri dari Jepang.
Namun, mereka memang harus menyatakan sikap. Perintah terakhir Gubernur Sumatra AI Spits dinilai berbahaya dan akan sangat merugikan.
Usai para bosnya dari Batavia menyerah dan ditawan Jepang, Gubenur AI Spits memang sempat 'bergaya'.
"Ia mendeklarasikan, tentara Belanda di Sumatra akan berjuang 'hingga tetes darah terakhir'. Dia menerapkan kebijakan bumi hangus di Sumatra untuk menghambat laju pasukan Jepang," tulis Audrey.
Hal inilah yang ditentang oleh para aktivis dan pemuda. Kebijakan ini akan mengakibatkan kerugian besar, negeri hancur dan rakyat sengsara.
Mereka yang kalah perang, kok malah mau membakar kampung orang. Maka, rencana itupun ditentang. Tapi rupanya, yang menentang kemudian mereka tangkap.
Bambang Suwondo dalam Buku 'Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat' (1982) menulis, kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada orang yang tidak senang dan memberitahukannya kepada Belanda.
"Sebelum Bendera Merah Putih dikibarkan, Belanda sudah menangkapi pelopor-pelopornya, termasuk Chatib Sulaiman dan empat orang lainnya," tulisnya.
Menurut Bambang, setelah ditangkap, para pemuda dibawa ke Bukittinggi. Usai itu, mereka diboyong ke Kutacane, Aceh Tenggara. Saat melarikan diri tersebut, Pemerintah Hindia Belanda masih sempat berpikir akan mengadili mereka dengan tuduhan subversi.
Bisa dibayangkan betapa repotnya melarikan diri sambil membawa tawanan, dan malah mau membuat peradilan dan berpikir berat merancang dakwaan subversi.
Semula, menurut Audrey, Belanda berencana menjadikan daerah pegunungan di pedalaman Sumatra Barat sebagai basis pertahanan terakhir. Namun, tekanan pasukan Jepang memaksa mereka mengubah rencana.
Maka, Belanda memaksa enam tawanan itu menemani pasukan Belanda yang bergerak mundur ke utara. Mereka menuju sebuah kawasan yang dikenal sebagai basis pertahanan terakhir Belanda di Gunung Setan di Aceh.
Rifai Abu dan Abdullah Suhardi menulis, setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan maka sampailah Chatib Sulaiman dan kawan-kawan di Kutacane, Aceh Tenggara, pada 13 Maret 1942. Berbeda dengan itu, menurut Audrey, mereka baru sampai pada 18 Maret 1942.
Di Kutacane, enam pemuda tersebut dipenjarakan dan mulai diinterogasi. Namun, selepas itu, kondisi di luar berkembang pada hal yang tak diinginkan Belanda. Hujan bom yang dijatuhkan angkatan udara Jepang di Kutacane, rupanya mengganggu konsentrasi para penyidik.
Para tentara Belanda tersebut, menurut Audrey, terpaksa melarikan diri ke Gunung Setan. Enam tawanan baru itu tertinggal di tahanan.
"Tanpa perlawanan sedikitpun dari pihak Belanda, tentara Jepang memasuki dan menduduki Kota Cane serta melepaskan semua tahanan dari penjara," tulis Audrey mengutip buku Leon Salim 'Prisoners at Kota Cane' (1986).
Enam sekawan itu diperbolehkan kembali ke Sumbar. Maka pulanglah mereka menuju Ranah Minang. Rifai Abu dan Abdullah Suhardi menulis, pada tanggal 31 Maret 1942 rombongan tersebut bertemu dengan tim pencari dari Padang yang diutus mencari mereka di Kaban Jahe.
Maka, tim pencari keenam tawanan yang telah bebas itupun kembali melanjutkan perjalanan ke Ranah Minang. Mereka semua sampai di Padang Panjang pada 2 April 1942.
"Chatib kembali ke tengah-tengah rakyat Sumbar dan kebanggaan karena telah bebas dan berhasil menggagalkan taktik dan bumi hangus Belanda. Penjajahan Belanda telah berakhir," tulis Rifai Abu dan Abdullah Suhardi. (HM)