Tak ada yang lebih politis dari pilihan seorang anak terhadap partai yang berseberangan dengan ayahnya.
Kalimat itu terasa hidup betul di Sumatera Barat hari-hari ini. Taufiqur Rahman, putra Gubernur Buya Mahyeldi, tokoh PKS yang dikenal santun dan religius, kini tampil sebagai Ketua DPW PSI Sumbar. Sebuah langkah yang bagi banyak orang di ranah Minang terdengar tak biasa. Ada yang mengernyit, ada yang tersenyum miring, ada pula yang berusaha memahami.
Begitu kabar itu menyebar, lini masa langsung riuh. Di Facebook, X, sampai grup WhatsApp keluarga, komentar bermunculan. Ada yang marah, ada yang kecewa, dan tidak sedikit yang meledek.
“Lah, anak Buya kok malah ke PSI?” tulis seorang warganet.
“Tambah tabanam,” sahut yang lain.
Tapi di antara semua itu, ada juga suara yang lebih tenang, “Namanya anak muda, punya pikiran sendiri.”
Campur aduk. Begitulah kira-kira perasaan orang Sumbar menatap kabar ini. Antara heran, cemas, tapi juga diam-diam bangga, karena ada anak muda yang berani berpikir berbeda.
Dan bagi saya pribadi, kabar ini terasa makin dekat, sebab Taufiq ini sumando saya, berbini ke Tanjung Gadang, Sijunjung. Maka kabar tentangnya tak sekadar berita politik di media, tapi juga cerita keluarga di warung kopi.
Kita tahu, dalam tradisi politik Indonesia, garis keluarga sering jadi petunjuk arah. Anak ikut ayah, murid ikut guru, kemenakan ikut mamak. Maka ketika anak seorang Buya justru memilih partai yang berjarak secara ideologis dengan ayahnya, publik seperti kehilangan kompas. Tapi siapa tahu, justru di situlah menariknya, bahwa politik tidak lagi ditentukan oleh darah, tapi oleh pikiran.
Buya Mahyeldi adalah sosok yang dihormati luas. Gaya bicaranya lembut, langkahnya terukur. Ia lebih sering menenangkan daripada menggebu. Tapi kini, dari keluarga yang demikian tenang, muncul seorang anak yang memilih jalur lain, PSI, partai yang kerap menantang kemapanan, bahkan sering bersilang dengan konservatisme yang Buya wakili.
Sebagian orang melihat ini sebagai bentuk penolakan. Sebagian lain justru menilainya sebagai pembaruan, bahwa nilai-nilai yang diwariskan tidak harus diterima bulat-bulat, melainkan ditafsir ulang sesuai zaman. Dalam pandangan seperti itu, langkah sang anak bukan pemberontakan, tapi kelanjutan dengan cara yang berbeda.
PSI memang punya sejarah yang agak kikuk di Sumatera Barat. Partai ini lahir dengan semangat kota besar, egaliter, rasional, dan penuh jargon kebebasan. Sementara di ranah ini, politik lebih banyak dibungkus dalam bahasa adat, dalam sopan santun, dalam perimbangan antara moral dan kenyataan hidup.
Jadi ketika PSI mencoba masuk, kadang terasa seperti berbicara dengan nada bicara yang tak nyambung.
Padahal, Ketua Dewan Pembina PSI, Jeffrie Geovanie, itu urang awak juga. Orangtuanya tulen dari 50 Kota. Tapi entah mengapa, partainya terasa jauh dari denyut hati masyarakat Sumbar. Barangkali karena PSI belum menemukan cara bicara yang pas, belum belajar menyampaikan gagasan dengan nada yang akrab di telinga orang Minang.
Kini, muncul anak Buya Mahyeldi di sana. Orang mungkin sinis, tapi bisa jadi ini adalah jembatan baru, seorang anak yang lahir dari keluarga ulama, mencoba membawa semangat keterbukaan dalam bingkai lokal. Bukan untuk menantang, tapi untuk mempertemukan dua kutub, iman dan progresivisme.
Generasi muda hari ini tumbuh dalam dunia yang cair. Batas antara kanan dan kiri, antara agama dan modernitas, sudah tidak lagi setegas dulu. Ideologi tidak diwariskan, tapi dicari sendiri. Anak muda belajar dari banyak sumber, dari TikTok sampai podcast, dari pengalaman hidup sampai percakapan di warung kopi.
Mungkin, inilah konteks anak Buya sekarang. Ia tidak sedang menolak ajaran ayahnya, tapi sedang menafsirkan ulang nilai-nilai itu di zaman yang berbeda. Bahwa beriman tak berarti tertutup. Bahwa menjaga moral tak berarti mematikan nalar.
Kita sering lupa, orang Minang sejak lama hidup dengan keberanian berpikir. Falsafahnya jelas, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Tapi syarak itu sendiri selalu dibaca ulang sesuai keadaan. Orang Minang pandai berdebat tanpa merusak silaturahmi. Di lapau, orang bisa saling beda pendapat, tapi besok paginya tetap minum kopi bersama.
Sebagian orang mungkin tidak siap melihat perbedaan ini di dalam satu keluarga. Tapi mungkin justru di situlah nilai pendidikan seorang Buya diuji. Karena mendidik anak bukan hanya menurunkan ajaran, tapi juga membiarkan mereka berjalan dengan keyakinan sendiri.
Dan siapa tahu, dalam diamnya, Buya pun memahami itu.
Politik Sumbar kini punya bab baru. Bukan lagi hanya tentang siapa paling religius atau paling modern, tapi tentang siapa yang bisa menjalankan keduanya dengan bersamaan. Langkah sang anak mungkin akan diuji, bahkan tak mudah diterima. Tapi setidaknya, Taufiq membuka ruang percakapan yang baru. Bahwa berbeda bukan berarti melawan, dan bahwa politik pun bisa menjadi ruang tafsir kasih antara ayah dan anak.
Ketika seorang anak memilih partai yang berseberangan dengan ayahnya, itu bukan sekadar berita politik. Itu adalah pernyataan kemerdekaan pikiran, yang barangkali justru lahir dari cara ayahnya mendidik, lembut, terbuka, dan penuh kasih. Tapi satu yang pasti: seorang ayah, siapapun itu, pasti akan menginginkan yang terbaik untuk anaknya.