Utusan Tiga Luhak Tanjung Tanah, Negeri Sakti Alam Kerinci menyambangi Sutan Riska Tuanku Kerajaan, bupati Dharmasraya yang juga adalah Raja Koto Besar, Sabtu, 5 Februari 2022 kemarin.
“Kami ini diutus, permintaan dari anak jantan anak betino Tiga Luhak Tanjung Tanah. Luhak Depati Talam, Luhak Depati Bumi, Luhak Depati Sekumbang. Mengundang kehadiran Tuanku Kerajaan di acara Kenduri Sko Tanjung Tanah, pertengahan Mei 2022 ini,” kata Zakaria Abdullah al-Kurinci, selaku juru bicara. Zakaria, datang dari Kerinci, Jambi ke Dharmasraya, Sumatra Barat bersama Sulaiman Jalil dan Afrizal Marbawi.
Utusan sekaligus panitia Kenduri Sko Tanjung Tanah disambut Sutan Riska Tuanku Kerajaan di Rumah Dinas Bupati Dharmasraya. Pertemuan tadi malam itu laksana kekasih yang sudah lama tak jumpa. Jalinan persaudaraan tua antara Kerinci dan Dharmasraya tersua dalam Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, yang digadang-gadang sebagai naskah Melayu tertua di dunia.
Sakian ta bunyinya atnya titah maharaja daremmaseraya. Yatna-yatna sidang mahatmya saisi bumi kurinci, silunju[r] kurinci. Samasta likitang kuja ali dipati, di wasèban di bumi palimbang, di hadapan paduka seri maharaja daremmaseraya.
Bari salah sili[h]nya, suasta ulih sidang mahatmya samapta. Persembahan kepada Sang Raja… Pranemya diwang sirsa [a]maléswarang.
Aum. Pranemya serisa diwam, terilukyadipati stutim, nana-seteru deretang wak[eti] nitri satra-samuksayam.
Pranemya nama, tunduk manyambah, siresa na[ma] kapala, diwa nama diwata, teri nama surega madya paretala, dipati nama labih deri peda sakelian, nana nama banyak, deretang nama yang dikatakan, satra nama yang satra, samuksayam nama sarba sakelian. Ini saluka dipati.
Dua kali kata Dharmasraya tercatat dalam naskah beraksara kawi yang sejatinya bernama Niti Sastra Samukcaya itu. Dan keduanya diawali kata “maharaja”. Inilah bukti tertulis bahwa Dharmasraya bukanlah kerajaan. Lebih dari itu, ia kemaharajaan.
Membentang yang Terlipat
Orang pertama yang punya teori bahwa Dharmasraya berada di huluan Batang Hari, bernama Dr. Rouffaer, pada awal abad 20. Sebelumnya nama Dharmasraya hanyalah kisah di atas prasasti, tak pasti di mana rimbanya.
Mengulang-ulang kaji, lebih kurang begini senarai kisahnya…
Pada 1894, ketika tentara Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) merebut Lombok, mereka mendapati lontar-lontar naskah lama di perpustakaan Istana Cakranegara.
Naskah-naskah dari Pulau Lombok itu kemudian menjadi koleksi perpustakaan Leiden, Belanda dengan kode L Or 5.023. Pada kolofon terbitannya, J.L.A. Brandes, memberi tajuk Iti Nagarakretagama Samapta. Itulah lontar Kakawin Negarakretagama karya Empu Prapanca, yang 1973 dikembalikan Ratu Juliana kepada pemerintah Republik Indonesia. Sekarang lontar itu disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode NB 9.
Terdiri dari 98 pupuh, pada pupuh 13 Nagarakretagama tersua kata “dharmasraya”.
“lwir nin nusa pranusa pramukha sakahawat ksoni ri malayu nan jambi mwan palemban karitan i teba len darmmacraya tumut kandis kahwas manankabwa ri siyak i rkan Kampar mwan i pane kampe harw athawe mandahilin i tumihan parllak mwan i barat hi lwas lawan samudra mwan i lamuri batan lampun mwan i barus yekadinyan watek bhumi malayu satanah kapwamateh anut Len tekan nusa tanjun nagara ri kapuhas lawan ri katinan sampit mwan kutalinga mwan I kutawaringin sambas mwan i lawai”
Nama “dharmasraya” muncul dalam catatan lawas. Tapi, saat itu tak diketahui di mana negerinya.
Pada 1905, giliran wilayah huluan Batang Hari, pedalaman Pulau Sumatera yang jatuh ke pangkuan Belanda. “Waktu itu Belanda menyodorkan surat perjanjian untuk ditandatangani para raja,” tulis Rusli Amran dalam buku Sumatra Barat hingga Plakat Panjang, terbitan Sinar Harapan, 1981.
Isinya pendek saja, dan sama untuk semua daerah, yang waktu itu masih merdeka. Yakni, mengakui bahwa: 1. Daerah mereka adalah bagian dari Hindia Belanda dan dengan demikian di bawah kekuasaan Belanda; 2. Akan setia pada Raja Belanda dan Gubernur Jenderal sebagai wakilnya; 3. Akan menaati segala peraturan dan seterusnya.
Yang meneken; Datuk Khatib Besar atas nama V Kota dan Padang Tarab. Sultan Sri Maharaja Diraja untuk Koto Besar, Tuanku Bagindo Majolelo untuk Padang Laweh, Tuanku Bagindo Ratu untuk Siguntur dan beberapa raja lainnya.
Di huluan Batang Hari, para ilmuwan Belanda langsung saja menyilau batu bersurat yang sekian abad tergolek di daerah Padang Roco, Sungai Lansek, tepian Batang Hari, yang setelah dibaca berbunyi…
Swasti sakawarsatita 1208 bhadrawada masa tithi pratipada suklapksa mawulu wage wrhaspati wara madangkungan grahacara nairitistha waisaka naksasatra cakra (dewata ma)ndala subha yoga kuwera parbesa kinstughna muhurtta kanyarasi i nan tatkala paduka bharala aryyamoghapasa lokeswara caturdasatmika saptaratnasahita diantuk dari bhumi jawa ka swarnnabhumi diprasatistha di dharmmasraya akan punya sri wiswarupa kumara prakaranang dititah paduka sri maharajadhiraja sri krtanagara wikrama dharmmotunggadewa mangiringkan paduka bharala rakryan mahamantri dyah adwayabhahma rakryan sri kan dyah sugutabrahma muan samgat payangan hang dipangkaradasa rakryan damung pu wira kunang punyeni yogja dianumodananjaleh saka praja di bhumi malayu Brahmana ksatrya waisya sudra aryyammadhyat sri maharaja sri mat tribhuwanaraja mauliwarmma dewa pramukha[1].
Artinya:
Bahagia! Pada tahun Saka 1208, bulan Badrawada, hari pertama bulan naik, hari Mawulu wage, Wuku Madaṇkungan, letak raja bintang di baratdaya…Tatkala itulah arca paduka Amoghapasa lokeswara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna permata di bawa dari Bhumi Jawa ke Swarnnabhumi, supaya ditegakkan di Dharmmasraya. Sebagai hadiah Sri Wiswarupa Kumara. Untuk tujuan tersebut paduka Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa memerintahkan rakryan maha-mantri Dyah Adwayabrahma, rakryan sirikan Dyah Sugatabrahma dan samagat payanan han Dipankaradasa, rakryan damun Pu Wira untuk menghantarkan pāduka Amoghapasa. Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmaṇa, ksatrya, waisa, sudra dan terutama pusat segenap para aryya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa.
Demi membaca itu, Dr. Rouffaer (dikenal sebagai pendiri KITLV), yang sedang berada di atas kapal dalam pelayaran dari Belanda menuju Hindia Belanda, langsung mengangkat penanya, “Inilah daerah Buddhis yang makmur pada tahun 1350 itu. Di bagian hulu Batang Hari, disebut Dharmasraya,” tulis Dr. Rouffaer.
Baca Juga: Festival Pamalayu Diluncurkan di Museum Nasional, Sejarah Dharmasraya Dibentangkan
Angka tahun 1350 yang diketengahkan Rouffaer, lantaran pada masa itu para ilmuwan kolonial baru saja ternganga-nganga dengan penemuan naskah Negarakretagama dari perpustakaan Istana Cakra Negara, Lombok. Dalam naskah yang belakangan diajukan sebagai bukti untuk menggadang-gadang Majapahit tersebut, tersua diksi Dharmasraya.
Menurut Rouffaer, Dharmasraya harusnya berada di daerah pusat agama Buddha, atau paling tidak di daerah yang ajaran Buddha berkembang pesat.
Dan sejak para ilmuwan kolonial mulai menemukan satu demi satu reruntuhan negeri tua di Sungai Lansek, Rambahan, Pulau Punjung, Siguntur, maka bagi Rouffaer letak Kerajaan Dharmasraya bukan misteri lagi. Menyusul terbacanya aksara di lapik Baralo Amoghapasa yang ditemukan di Sungai Lansek, dia semakin yakin bahwa Dharmasraya pasti di daerah hulu Batang Hari.
Pada 19 Juli 1909, teori Rauffaer dirundingkan oleh para ilmuwan di kantor Bataviaasch Genooschap, yang kini jadi Museum Nasional, Jakarta. Hasilnya, confirm! Tak satu pun ilmuwan membantah, bahwa Dharmasraya berada di Sungai Lansek, Rambahan, Pulau Punjung, Siguntur dan sekitarnya.
Berpedoman pada kisah inilah, pada 7 Januari 2004 nama Dharmasraya dihidupkan lagi jadi nama kabupaten baru—pemekaran Sawahlunto Sijunjung—di Propinsi Sumatera Barat.
“Mambalia’an siriah ka gagangnyo, pinang ka tampuaknyo. Kok lai bungo ka jadi putiak, putiak ka jadi buah. Buah untuak ka basamo,” kata Sutan Riska Tuanku Kerajaan.
Mengumpulkan yang Terserak
Pertemuan dan perundingan tadi malam, antara utusan Tigo Luhak Tanjung Tanah, Sakti Alam Kerinci dengan Sutan Riska Tuanku Kerajaan, di rumah dinas Bupati Dharmasraya adalah peristiwa kebudayaan. Peristiwa bersejarah yang dalam bahasa adat disebut “membentang yang terlipat mengumpulkan yang terserak”.
Juru bicara Tiga Luhak Tanjung Tanah, Zakaria Abdullah al-Kurinci mengatakan bahwa kunjungannya ke Dharmasraya kali ini adalah menjalin kembali silaturahim. Menjalin kembali persaudaraan tua yang berabad-abad terlupakan. Itulah kenapa mereka datang dan mengundang sanak saudara di Dharmasraya ke perhelatan Kenduri Sko Tigo Luhak Tanjung Tanah, Kerinci.
Menurut Zakaria, sejak dahulu kala Kenduri Sko Tanjung Tanah dihelat lima tahun sekali. Kemudian pada masa-masa imperialisme, sempat jadi tak menentu. Pernah sampai 40 tahun sekali. Bahkan pernah 40 tahun lebih. Pun demikian, sistem Kedapatian tetap berjalan.
Selain pengukuhan kembali depati ninik mamak serta pugawe (punggawa), satu di antara hal yang paling sakral saat Kenduri Sko adalah menurunkan dan penyucian sko (pusaka), termasuk yang baru-baru ini oleh para ilmuwan dinamai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah--Naskah Melayu Tertua.
Naskah ini pun punya kisah menarik…
Pada 9 April 1941, Petrus Voorhoeve seorang pejabat taalambtenaar t.b.v.d Gouveneu van Sumatra, semacam pegawai Kantor Bahasa untuk wilayah Sumatra, zaman kolonial Hindia Belanda, ke Kerinci, daratan tertinggi di Pulau Sumatra--sisi lain huluan Batang Hari--yang jatuh ke pangkuan Belanda setelah Perang Kerinci 1903.
Ditemani dan diatur oleh Controleur van Kerintji–Indarapoera H. Veldkamp, dua kali Voorhoeve bolak-balik Kerinci pada 1941. Pertama, 7 hingga 11 April. Kedua, tanggal 2 hingga 17 Juli.
“Karena tuan itu sudah mufakat lebih dahulu dengan Depati-Depati yang menyimpan pusaka itu, di dalam waktu yang singkat itu dapatlah kami memperbuat daftar segala pusaka itu,” kenang Voorhoeve, dalam laporan panjang berjudul Kerintji Documents, termuat dalam jurnal ilmiah terkenal Bijdragen Koninklijk Instituut—akrab disingkat BKI—yang diterbitkan Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda, edisi 1970.
Di halaman 384 hingga 389, Voorhoeve mengulas keberadaan Niti Saramuscaya, yang disebutnya, “naskah daluang, kertas yang diperbuat daripada beberapa lapis daun yang dipukul menjadi satu, pusako Tanjung Tanah, Mendapo Seleman dari zaman pra-Islam. Berupa buku kecil yang dijilid dengan benang. Versi Melayu dari buku undang-undang Sarasamucchaya…Saya ingat dengan pasti bahwa nama Dharmasraya disebut dalam teks,” tulisnya.
Dalam tulisannya itu, Voorhoeve juga mengenang, detik-detik saat dia berjumpa dengan pusako Tigo Luhak Tanjung Tanah itu. “Keadaan di Tanjung Tanah, di atas jembatan beratap dikelilingi kerumunan orang enak dipandang, tetapi kurang sesuai untuk mengambil foto.”
Cerita ini dihidupkan lagi oleh Uli Kozok, lelaki kelahiran Hildesheim, Jerman, 26 Mei 1959--seorang peneliti Bahasa yang banyak melakukan riset di Sumatra. Menurut ceritanya, dia pertama kali melihat naskah itu dengan mata kepala sendiri pada 2002. Atas izin dari pemuka adat, naskah dipotret untuk diteliti.
Uli Kozok membawa sepotong kecil naskah itu untuk diteliti. Ini pun atas seizin pemuka adat di Tanjung Tanah, Kemendapoan Seleman, Bumi Sakti Alam Kerinci. Setelah terbit hasil uji karbon dari Rafter Radiocarbon Laboratory, Wellington, New Zealand, pada 18 November 2003, pusako lamo yang idak lapuk dimakan paneh idak lekang dimakan hujan itu dinyatakan sebagai naskah Melayu tertua di dunia.
“…menjadi nyata bahwa naskah sederhana yang disimpan sebagai pusaka oleh penduduk Tanjung Tanah merupakan naskah Melayu yang tertua di dunia,” tulis Kozok, guru besar dari University Hawaii.
Naskah itu pun dialihaksarakan oleh Hassan Djafar, Ninie Susanti Y, Waruno Mahdi. Dan alih bahasa dikerjakan bersama-sama Achadiati Ikram, I Kuntara Wiryamartana, Karl Anderbeck, Thomas Hunter, Uli Kozok serta Waruno Mahdi.
Kerja-kerja tim yang dipandu Uli Kozok tersebut berbuah buku Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. Penerbitan buku itu dibantu Yayasan Naskah Nusantara & The Ambassador’s Fund for Cultural Preservation.
Semenjak itu pesona Niti Saramuscaya kian menarik pukau. Laksana seri balik ke muka, darah balik ke badan. Kini, ia menjadi satu di antara naskah yang cukup banyak diperbincangkan kalangan ilmuwan.
Naskah ini, menurut cerita Zakaria tadi malam, pernah dibawa ke Batavia, lalu dibalikkan setelah diminta lagi oleh Depati Mangkubumi Manggetar Alam, kepala dusun di Tigo Luhak Tanjung Tanah pada zaman Belanda.
Kenduri Sko di Tanjung Tanah, bila tak ada aral melintang, akan digelar pertengahan Mei 2022 mendatang. Dan kali ini, akan dihadiri raja dan sanak saudara dari Dharmasraya.
[1] N. J. Krom. Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovelanden, OV 1912.
Wenri Wanhar, adalah jurnalis cum peneliti sejarah.
—