InfoLanggam - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terus berkomitmen mempercepat proses digitalisasi, salah satunya dengan penerapan Akta Tanah Elektronik.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana dalam Focus Group Discussion (FGD) dan Sharing Knowledge bersama Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Selasa (12/11/2024).
“Penerapan Akta Tanah Elektronik ini adalah upaya nyata untuk memberikan layanan yang lebih cepat, transparan, dan aman kepada masyarakat,” ujar Suyus Windayana saat membuka FGD yang berlangsung di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta.
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN menyebut, dengan penerapan Akta Tanah Elektronik ini proses administrasi pertanahan bisa menjadi lebih efisien. Di samping itu, juga bisa mengurangi potensi konflik dan sengketa tanah serta mampu meminimalisir risiko kehilangan atau kerusakan dokumen fisik.
“Pelayanan lebih baik ke depan, tidak ada lagi kasus-kasus (pertanahan, red) itu. Tidak ada lagi kasus identitas yang dimanipulasi penggunaannya,” ucap Suyus Windayana.
Ia menjelaskan, melalui FGD yang mengusung tema “Aspek Hukum dan Regulasi terkait Penerapan Akta PPAT Elektronik” ini menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa sistem yang diimplementasikan nantinya benar-benar matang, siap pakai, dan memenuhi harapan masyarakat luas.
“Kami berharap dapat menerima masukan konstruktif terkait penerapan Akta Tanah Elektronik, mulai dari aspek teknis, hukum, hingga tantangan yang mungkin dihadapi di lapangan,” terangnya.
Sekretaris Umum IPPAT, Ashoya Ratam mengatakan bahwa IPPAT sebagai organisasi yang menaungi seluruh PPAT di Indonesia akan mendukung program yang telah diusung Kementerian ATR/BPN.
“FGD ini akan kita lanjutkan dalam satu diskusi yang memberikan sumbangan berarti untuk Kementerian ATR/BPN,” tutur Ashoya Ratam.
Turut hadir dalam FGD ini, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Asnaedi dan sejumlah Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kementerian ATR/BPN.
Hadir menjadi narasumber dalam FGD, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim dan dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Efa Laela Fakhriah. (*)