Pertengahan Oktober 2024 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) kembali merilis Laporan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Dengan mengambil sampel di 178 kabupaten/kota, KPPPA menggambarkan secara kuantitatif kondisi perempuan Indonesia dalam upaya mencapai amanat pembangunan nasional untuk kesetaraan gender. Hasilnya cukup mengkhawatirkan. Disebutkan, satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan selama hidupnya.
Kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, seksual, atau keduanya. Kekerasan terjadi di berbagai ruang, mulai dari keluarga, tempat kerja, hingga ruang digital. Ditelisik lebih mendalam, didapatkan prevalensinya lebih mengerikan lagi. Di rumah tangga misalnya, disebutkan, satu dari lima perempuan Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam satu tahun terakhir.
Jika dibandingkan dengan SPHPN sebelumnya, angka tersebut memang mengalami penurunan, meskipun tidak signifikan. Pada kasus KDRT terjadi penurunan prevalensi sebesar 2,5 dari 23 persen pada tahun 2021 lalu. Begitu juga dengan kekerasan berbasis gender online (KBGO), dengan rata-rata penurunan nasional sebesar 2,1 persen. Di satu sisi ini merupakan capaian nasional dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Di sisi lain menunjukkan begitu sulit dan terjalnya usaha tersebut dengan berbagai program yang telah dilakukan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Laporan SPHPN 2024 ini sejatinya menguatkan laporan sinergi database kasus kekerasan terhadap perempuan yang diluncurkan beberapa bulan sebelumnya. Sinergi database adalah upaya untuk menghimpun dan menyelaraskan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di tiga kementerian dan lembaga nasional. Selain KPPPA, himpunan data ini juga menggunakan penghitungan laporan kasus di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL).
Dalam laporan sinergi database terakhir disampaikan, berdasarkan penghitungan kasus tahun 2023 lalu, terdapat total 34.682 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya sejumlah 32.687 kasus. Kita bisa bayangkan daftar laporan tersebut. Secara kasar dan sederhana saja, jika dirata-rata, jumlah tersebut dapat diartikan dengan adanya 94 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap harinya. Jika dirata-rata lagi, setidaknya terdapat 4 kasus dalam satu jam, yang artinya setiap 15 menit ada satu perempuan yang mengalami kekerasan di Indonesia.
Kekerasan Terhadap Perempuan di Sumatera Barat
Sumatera Barat belumlah menjadi wilayah yang aman untuk perempuan dan terbebas dari kekerasan. Data menunjukkan hal tersebut. Dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang diterbitkan pada Maret 2024, provinsi ini berada di urutan kesebelas tertinggi dari 42 wilayah yang diamati. Berangkat dari sumber, seperti di lembaga layanan dan peradilan, sepanjang tahun 2023, setidaknya terdapat 7.366 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di provinsi ini. Sebagian besarnya adalah kasus kekerasan di ranah personal, meliputi kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan yang dilakukan oleh kerabat, dan kekerasan lain yang dilakukan oleh orang yang dikenal secara dekat, seperti kekerasan dalam pacaran.
Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Sumatera Barat bahkan sempat menyita perhatian publik. Dalam dua tahun terakhir, kita dapat sebutkan beberapa di antaranya, seperti penganiayaan dan pelecehan kepada perempuan yang disangka pekerja seks di Pesisir Selatan (2023), Pelecehan Seksual di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (2023), dan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh pejabat legislatif di kabupaten Solok (2024). Ini belum dihitung dengan kasus kekerasan terhadap anak perempuan, yang tentu akan menambah jumlah dan tingginya angka kekerasan.
Tiga kasus yang disebutkan di atas menunjukkan kompleksitas bentuk kekerasan terhadap perempuan. Selain KDRT, yang menjadi contoh umum kekerasan di ranah personal dan juga mendominasi angka kekerasan, ketiga kasus menuntut perhatian kita pada kekerasan di ranah publik, seperti di tempat umum, institusi pendidikan, dan pekerjaan. Mengenali bentuk dan lokusnya ini akan membantu kita dalam upaya penanganan nantinya, dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing.
Selain itu, Sumatera Barat juga kental dengan kekerasan yang berkaitan dengan kebijakan diskriminatif. Formalisasi syariat dalam bentuk peraturan daerah kerap menjadi jalan yang melandasi kekerasan. Perda (yang bernuansa syariat) seperti Perda wajib berbusana muslim dan Perda Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat (Pekat) acapkali salah dimaknai dan digunakan untuk tindakan yang berujung pada diskriminasi terhadap perempuan.
Penganiayaan terhadap perempuan di Pesisir Selatan, yang disebutkan di atas, adalah salah satu contoh. Selain karena adanya stigma buruk terhadap perempuan yang beraktivitas di luar rumah pada malam hari, hal ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan Perda No. 1 tahun 2016 tentang Ketenteraman Masyarakat dan Ketertiban umum. Aturan ini memuat kebijakan yang bias gender. Jika tidak awas, potensi kekerasan serupa juga dapat terjadi di kabupaten dan kota lain Sumatera Barat, yang memiliki setidaknya 15 perda bernuansa diskriminatif (Database Jakarta Feminist, 2024).
Tidak jauh berbeda dengan Perda Wajib Berbusana Muslim. Meskipun diksi dan narasi aturan ini terlihat menawan, aturan-aturan ini telah dimaknai dan dijalankan secara sempit. Secara umum, aturan-aturan tersebut pun telah dikritik banyak pihak. Namun pemerintah daerah tetap keukeuh untuk tidak meninjau kembali. Akibatnya, kekerasan kembali terulang. Sebab itu, tidak menutup kemungkinan korban baru akan jatuh kemudian hari.
Ragam bentuk kekerasan ini telah memberi dampak buruk kepada perempuan korban dan keluarga korban. Dalam banyak kasus disebutkan, perempuan mengalami trauma, kehilangan rasa percaya diri, dan akses untuk hidup lebih layak. Begitu juga untuk keluarga korban. Ini jarang dilirik banyak orang. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya memperburuk kehidupan perempuan yang mengalami kekerasan, namun juga orang-orang di sekitarnya. Trauma perempuan korban, misalnya, niscaya menambah beban baru untuk familinya. Apalagi mekanisme pemulihan adalah hal yang mahal sekali dalam tata masyarakat kita, tak terkecuali di Sumatera Barat.
Kenapa Kekerasan terhadap Perempuan Terus Terjadi?
Berangkat dari laporan dan data yang dipublikasikan tahun demi tahun, pertanyaan ini selalu relevan untuk dijawab. Apalagi jika diteliti lebih mendalam. Selain jumlah kasus yang fluktuatif, bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan juga berkembang. Saat menyimak laporan-laporan yang ada, kita mungkin melihat adanya penurunan jumlah kasus ataupun prevalensinya, namun pada saat yang bersamaan, kita mencermati adanya peningkatan dalam kasus tertentu. Belum lagi pada aspek intensitas, dan kekejamannya.
Banyak sekali temuan dan teori yang mencoba untuk mengurai persoalan ini. Namun pada artikel ini, saya akan coba kutip dan ketengahkan dua faktor saja. Pertama, perihal peningkatan kesadaran kritis perempuan itu sendiri. Kedua, perihal bertanggung jawab pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan dan perlindungan. Keduanya, akan coba diuraikan dengan melihat informasi dan keterangan dari kondisi di Sumatera Barat itu sendiri.
Faktor pertama dapat ditemukan korelasinya dengan catatan SPHPN 2024 yang disampaikan di awal tadi. Survei ini, lagi-lagi, menguatkan argumentasi yang jamak digaungkan sebelumnya bahwa penurunan prevalensi kekerasan sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan pengetahuan perempuan terhadap kekerasan. Dengan pengetahuan yang cukup, perempuan korban akan memiliki keberanian untuk melaporkan kasus mereka. Dengan itu mereka dapat mengakses keadilan dan memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan.
Menimbang hal tersebut, kita dapat cek tingkat pendidikan perempuan Sumatera Barat sebagai salah satu indikator. Kita dapat membuka kembali laporan-laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun terakhir. Dari sana diketahui, meskipun secara umum partisipasi pendidikan perempuan Sumatera Barat terus membaik, kita masih punya pekerjaan besar untuk meningkatkan laju pendidikan perempuan setelah SMA. Sebab dengan itu, mereka dapat mengenali pratana yang dibutuhkan untuk kemandirian hidup kemudian hari.
Pada partisipasi sekolah perempuan dari SMA (dalam rentang usia 16-18 tahun) ke pendidikan tinggi (rentang usia 19-24 tahun) angkanya jatuh jauh sekali. Dalam lima tahun terakhir (2019-2023) diketahui rata-rata terjadi penurunan sebesar 46,62%. Artinya hampir separo perempuan tamatan SMA Sumatera Barat tidak melanjutkan pendidikan mereka. Demikian tentu dipengaruhi oleh banyak hal, seperti ekonomi keluarga, akses, dan lainnya. Kondisi yang tidak ideal ini tentu belum dikaitkan dengan kualitas pendidikan tinggi kita; Apakah kampus berhasil menumbuhkan kesadaran dan kemandirian tersebut.
Sejatinya kekurangan ini dapat ditambal dengan keikutsertaan perempuan dalam komunitas, kelompok, maupun organisasi swadaya masyarakat. Dalam banyak cerita di lapangan, resiliensi perempuan justru timbul lewat keterlibatan aktif mereka dalam paguyuban. Apapun bentuk komunitasnya. Mulai dari kelompok pemudi, majelis taklim, hingga kelompok PKK berpeluang untuk meningkatkan kompetensi perempuan. Di sana, perempuan dapat memperoleh informasi, berlatih menyampaikan pikiran, mendengar dan mengetahui pengalaman orang lain. Namun sayangnya, dengan beban yang ditanggungnya, tidak semua perempuan memiliki waktu dan kesempatan mengakses kesempatan tersebut.
Menagih Komitmen Pemerintah Daerah
Saat artikel ini ditulis di penghujung Oktober, KPPPA mencatat, telah terjadi kekerasan terhadap 241 perempuan di Sumatera Barat sepanjang tahun 2024 (Simfoni database). Berkaca dari tahun sebelumnya, dengan tidak adanya gebrakan besar dalam setahun terakhir, angka ini dapat meningkat dengan bulan tersisa. Dalam skala tersebut, tidak berlebihan agaknya kita menyoroti peran dan kewenangan pemerintah daerah. Bahkan dalam banyak sisi, guna mencegah laju kekerasan, keterlibatan pemerintah daerah mutlak diperlukan. Ini menjadi kelindan lain dari kesadaran kritis yang disinggung sebelumnya.
Pemerintah Daerah Sumatera Barat semestinya tidak heran lagi melihat fakta ini. Jika ditinjau ke belakang, ancang-ancang mitigasi sudah ditemukan dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPJMD) Sumatera Barat 2021-2026, juga RPJMD sebelumnya. Dalam Perda No. 6 Tahun 2021 yang disahkan sebagai RPJMD terkini, pencegahan kekerasan terhadap perempuan tergolong urusan wajib. Demikian pun masuk sebagai bagian yang menentukan dalam tahapan mewujudkan visi Sumatera Barat Madani. Adanya kebijakan pencegahan yang melibatkan pemerintah lintas kabupaten/kota, penyediaan layanan rujukan yang berkelanjutan untuk korban, hingga penguatan lembaga penyedia layanan, disebutkan sebagai rangkaian strategi.
Dengan tingkat kekerasan yang terjadi, kita perlu menagih komitmen tersebut. Terlebih lagi pada banyak kesempatan, pemerintah berulang kali melagukan peran penting perempuan sebagai tonggak kehidupan sosial dan budaya. Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang. Pusek jalo kumpulan tali. Perempuan baik, nagari akan menjadi baik pula. Apakah kalimat-kalimat ini hanya menjadi gema di ruang kosong belaka?
Pertanyaan skeptis ini bukan tanpa alasan. Dalam merefleksikan langkah-langkah yang disusun pemerintah daerah, saya melihat kerancuan basis data yang sangat lebar, yang digunakan pemerintah daerah itu sendiri. Padahal data-data ini dialamatkan sebagai landasan penetapan target dan capaian.
Salah satu contoh, dalam RPJMD, Pemerintah daerah mengasumsikan dapat mencapai target kinerja penurunan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2024 dengan rasio 14 per seratus ribu penduduk perempuan. Jika menggunakan data KPPPA yang disebutkan di atas saja dan membandingkannya dengan jumlah proyeksi penduduk perempuan 2024 sebagaimana dilansir BPS Sumatera Barat, didapatkan rasio kekerasan terhadap perempuan berada di angka 24-23 per seratus ribu penduduk perempuan. Meskipun ingin, sangat sulit membayangkan dalam dua bulan tersisa, rasio tersebut dapat menurun hingga 60 persen. Ini belum dibandingkan dengan data Badilag Mahkamah Agung untuk Sumatera Barat, yang rasionya dapat lebih besar lagi.
Asumsi saya, problem ini dimulai dari penurunan rasio yang disimpulkan pada tahun 2019-2021 lalu. Realisasi yang semula berada di angka 29 di tahun 2018 menjadi 17 pada tahun 2021. Pemerintah Daerah Sumatera Barat mengklaimnya sebagai keberhasilan program mereka. Angka itu pun menjadi landasan target 2022 dan diupayakan terus turun, minimal satu poin, pada tahun berikutnya. Namun tidakkah kita dapat menimbang, tahun 2019-2021 adalah periode pemilu yang diikuti dengan musibah pandemi Covid-19. Sangat mungkin sekali rasio tersebut turun bukan karena dampak keberhasilan program, namun disebabkan penurunan jumlah laporan masyarakat yang menghadapi kendala layanan waktu itu. Kekerasan tetap terjadi namun tidak terlaporkan. Ataukah pemerintah daerah Sumatera Barat punya basis data mandiri? Patut dipertanyakan.
Sebagian orang mungkin bertanya, untuk apa angka-angka ini disampaikan?
Dalam banyak hal, data-data itu telah menjadi tolak ukur kehadiran pemerintah di masyarakat. Pada rezim data, kedudukannya lebih serius lagi. Arah kebijakan, peletakan program prioritas, hingga penyusunan anggaran, dimulai dari angka-angka ini. Demikian cukup menjengkelkan sebenarnya. Sebab di banyak tempat, ketika berhadapan dengan pemerintah daerah, kita acapkali mendengar dalih; “Kami tidak punya anggaran” atau “Dana kita terbatas.” Namun di saat bersamaan kita juga perlu berpikir ulang; Sudahkah kita memiliki komitmen, data dukung yang kredibel, sehingga mampu meletakkan prioritas yang tepat dalam keterbatasan (dana) tersebut?
Pada akhirnya, usaha ini harus menelusuri lorong yang berliku, dengan lapisan tantangannya. SPHPN 2024, dan turunan data lainnya, telah mengingatkan kita akan perlunya kegigihan dalam mengungkap dan memetakan kembali langkah penghapusan kekerasan terhadap perempuan ke depan. Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah tidak dapat bekerja sendirian. Inisiatif masyarakat amat diperlukan. Tanpa itu, tidak ada Sumbar Madani yang dicita-citakan. []
Robby Kurniawan, Anak Nagari Sumpur, Tanah Datar, merantau di Jakarta.