Keputusan Menkeu memindahkan sekitar Rp200 triliun dana pemerintah dari rekening di Bank Indonesia ke bank-bank Himbara mengundang pertanyaan mendasar: mengapa dana itu tidak digerakkan melalui mekanisme APBN? Dana di BI berasal dari pungutan pajak dan pembiayaan utang yang pada hakikatnya masyarakat titipkan untuk membiayai pembangunan, bukan hanya untuk memperindah posisi kas pemerintah dan perbankan.
Ketika Menkeu menggeser dana tersebut ke Himbara, kas pemerintah memang berubah menjadi simpanan di bank komersial. Langkah ini menambah likuiditas, mendorong naiknya base money, dan memberi bank ruang lebih lega untuk menyalurkan kredit. Di tingkat narasi, kebijakan itu terlihat progresif: uang yang “tidur” di BI disebut mulai bekerja melalui sistem perbankan. Padahal esensinya tetap sama, uang itu belum masuk ke proyek riil, belum berubah menjadi jalan, irigasi, puskesmas, atau lapangan kerja di daerah.
Sebagai pemegang kendali kebijakan fiskal, Menkeu seharusnya menempatkan prioritas utama pada perbaikan kualitas belanja melalui APBN. Dana mengendap di BI seharusnya memacu evaluasi program: mana proyek yang perlu dipercepat, regulasi apa yang menghambat pencairan, dan dukungan teknis apa yang dibutuhkan daerah agar belanja produktif benar-benar berjalan sejak awal tahun. Setiap rupiah yang bergerak melalui APBN secara langsung menggerakkan permintaan barang dan jasa, memperkuat pendapatan rumah tangga, dan memacu aktivitas usaha lokal.
Memindahkan dana ke Himbara bergantung pada asumsi bahwa perbankan akan menjadikan likuiditas itu sebagai kredit produktif. Asumsi tersebut terlalu optimistis. Bank tetap menilai risiko, memeriksa kelayakan proyek, dan menjaga rasio NPL. Ketika prospek permintaan lemah, regulasi membingungkan, dan TKD tersendat, bank cenderung menempatkan dana besar itu di instrumen aman jangka pendek. Likuiditas berputar di antara neraca keuangan, sementara sektor riil menunggu peluang yang tidak kunjung datang.
Dari sisi tata kelola, penggunaan kas pemerintah untuk mengerek base money juga mengaburkan batas sehat antara fiskal dan moneter. Fungsi pengendalian jumlah uang beredar seharusnya berada di bank sentral dengan kerangka aturan yang jelas dan akuntabilitas moneter yang kuat. Ketika APBN masuk terlalu jauh ke ruang likuiditas perbankan, risiko muncul dalam bentuk kebijakan yang sulit dibaca pelaku ekonomi: fiskal tampak longgar di neraca bank, padahal belanja riil tidak bertambah signifikan.
Ekonomi Indonesia memerlukan sinyal berbeda. Publik membutuhkan kebijakan fiskal yang berani mengakui masalah penyerapan, memperbaiki desain TKD, menyederhanakan aturan belanja, dan memperkuat kapasitas birokrasi daerah. Dana di BI idealnya bergerak melalui APBN yang transparan dan produktif. Likuiditas perbankan tetap penting, tetapi pembangunan yang terasa di desa, kecamatan, dan kota hanya lahir ketika uang publik benar-benar bekerja di lapangan, bukan sekadar berpindah dari satu rekening ke rekening lain di dalam sistem keuangan.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)


