Kampus, Kritik, dan Ketakutan: Refleksi atas Pencopotan Ubedilah Badrun

Di negeri yang katanya menjunjung kebebasan akademik, seorang dosen bisa dicopot dari jabatannya hanya karena pikirannya terlalu tajam,

Habibur Rahman. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Habibur Rahman

Di negeri yang katanya menjunjung kebebasan akademik, seorang dosen bisa dicopot dari jabatannya hanya karena pikirannya terlalu tajam, kritiknya terlalu menusuk, dan suaranya terlalu nyaring, dan itu terjadi dengan tersistematis.

Ubedilah Badrun, akademisi sekaligus aktivis antikorupsi, mendapati dirinya tak lagi menjabat sebagai Koordinator Program Studi Sosiologi di UNJ, bukan karena gagal menjalankan tugasnya, bukan pula karena melanggar aturan akademik, tetapi karena ia berani berbicara tentang sesuatu yang seharusnya dibahas dalam ruang akademik: korupsi dan nepotisme.

Pencopotannya tidak melalui prosedur resmi, tidak didahului oleh diskusi, bahkan tidak disertai surat keputusan, hanya sebuah pengumuman di media sosial, seakan-akan ini sekadar perubahan jadwal seminar, bukan penghentian seorang akademisi dari jabatan yang ia emban. Cara yang lebih mirip praktik kekuasaan feodal ketimbang tata kelola universitas modern.

Jikalau kita berbicara dulu dan dulu, universitas adalah ruang di mana gagasan diuji, di mana kritik berkembang, dan di mana pemikiran bisa tumbuh bebas dari tekanan politik.

Habermas, dalam teorinya tentang ruang publik, memberitahu bahwa perguruan tinggi seharusnya menjadi arena diskursus rasional, bukan alat propaganda negara. Tapi, tampaknya teori pria yang kini berumur 95 tahun itu tak berlaku di negeri ini, terbukti dalam kasus Ubedilah, kampus justru berubah menjadi instrumen kekuasaan yang tunduk pada kepentingan politik, disini kampus tidak lagi layaknya sebuah perguruan tinggi, tapi semacam dinamika partai politik yang ada.

Jika kita bergeser kepada Michel Foucault, filsuf Prancis itu menjelaskan bahwa kuasa tidak hanya bekerja melalui larangan eksplisit, tetapi juga melalui normalisasi dan regulasi yang membungkam suara-suara kritis. Jikalau kita teropong melalui kasus tersebut, pencopotan Ubedilah adalah bentuk disiplin kekuasaan, strategi halus untuk mengingatkan akademisi lain bahwa berpikir terlalu bebas bisa berujung pada peminggiran.

Jika akademisi yang kritis diberangus, bagaimana mungkin kampus bisa berfungsi sebagai benteng intelektual? Bagaimana bisa universitas melahirkan pemikir yang berani jika ruang akademik sendiri tidak kebal dari tekanan politik? Atau kalau begitu kampus jadi tempat memperpanjang kuasa feodal saja?

Jikalau kita ingin serius dalam bernegara ini, tentu dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah bagian dari sistem checks and balances. Tapi, lagi-lagi di negeri ini, kritik sering kali dianggap sebagai ancaman ketimbang koreksi.

Pencopotan Ubedilah terjadi tak lama setelah ia dan timnya membawa riset OCCRP ke KPK, riset yang menempatkan Presiden ke-7 RI sebagai salah satu tokoh terkorup tahun 2024. Fakta ini tidak bisa diabaikan, dan pencopotan itu begitu dekat dengan hal itu.

Kita tidak perlu berpura-pura terkejut. Di banyak negara dengan demokrasi yang membusuk, kritik terhadap kekuasaan kerap dijawab dengan pembungkaman. Indonesia tampaknya sedang belajar dari buku pedoman otoritarianisme klasik: tidak perlu membungkam kritik secara frontal, cukup buat mereka kehilangan panggungnya, cukup buat orang-orang berpikir dua kali sebelum berbicara.

Jika demokrasi kita masih berfungsi, pencopotan akademisi tidak bisa terjadi tanpa alasan yang jelas dan tanpa prosedur yang sah. Namun, ketika sistem mulai tunduk pada kepentingan tertentu, segala hal bisa diputarbalikkan.

Kita hidup di negara yang katanya menjunjung kebebasan berpikir, tapi ternyata hanya sebatas slogan di brosur kampus yang sudah menguning. Kritik terhadap korupsi bisa berujung pada kehilangan jabatan, sementara mereka yang duduk manis dan memuji penguasa justru mendapat promosi.

Jikalau seperti itu tak jauh beda kampus hanyalah sebuah institusi yang mengajarkan kita untuk patuh, untuk tidak bertanya terlalu banyak, dan untuk menerima bahwa di negeri ini, kejujuran adalah karier yang berbahaya.

Mungkin ini juga saatnya kita mengganti definisi demokrasi. Demokrasi, tampaknya, bukan lagi sistem di mana suara rakyat didengar, tapi sistem di mana penguasa menentukan siapa yang boleh berbicara dan siapa yang harus diam, dan kali ini Ubedilah Badrun dipaksa diam dengan turun jabatan, tapi ingat, sejarah mencatat ini.

Jadi apa yang insight yang kita dapatkan dari pencopotan Ubedilah Badrun? Tentu, ini adalah alarm bagi kebebasan akademik, bagi demokrasi, dan bagi siapa saja yang masih percaya bahwa kebenaran harus diperjuangkan. Jika kampus tidak lagi menjadi ruang aman bagi gagasan kritis, maka kita harus bertanya: ke mana lagi kita bisa mencari pemikiran yang bebas?

Saat ini, bukan hanya Ubedilah yang sedang diuji, tetapi juga kita semua, apakah kita akan diam, atau kita akan bersuara?

"The university is a place where the mind should be free. When you silence scholars, you do not just kill ideas; you kill the future."

Penulis: Habibur Rahman (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau).

Baca Juga

Prabowo Subianto, tokoh yang dulu dianggap abadi dalam oposisi itu, kini duduk di puncak kuasa negeri ini. Ia mewarisi warisan pemerintahan
Panggung Baru, Skrip Lama: Prabowo dan Bayang-Bayang Jokowi
Filsafat sebagai sebuah studi dalam menemukan kebijaksanaan turut juga andil dalam menemukan kebenaran. Kebenaran yang erat dalam kehidupan
Empirisme: Diskursus hingga Dilemanya
Pernahkah anda merasa tidak aman saat berjalan sendirian, baik siang maupun malam? Atau pernah menyaksikan tindakan pelecehan seksual?
Membongkar Stigma dan Kesenjangan Hukum dalam Kasus Pelecehan Seksual
Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi
Integrasi Nilai Kepemimpinan dalam Islam dan Dinamika Medsos Hari Ini
Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan
Resistensi Perpajakan: Relevansi Sejarah dan Implikasinya pada Kebijakan Pajak Modern