Dalam beberapa tahun terakhir, banyak individu dari negara berkembang memilih untuk meninggalkan tanah air mereka demi mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Istilah “kabur aja dulu” menjadi gambaran betapa sebagian masyarakat menganggap migrasi sebagai solusi instan terhadap permasalahan ekonomi dan sosial yang mereka hadapi.
Sementara realitas pekerja migran di negara tujuan sering kali jauh dari ekspektasi. Eksploitasi tenaga kerja, diskriminasi, dan ketidakpastian hukum menjadi tantangan yang sulit dihindari.
Meskipun banyak pekerja migran berhasil meningkatkan taraf hidupnya, sebagian besar lainnya justru harus berhadapan dengan kondisi kerja yang tidak layak, jam kerja berlebihan, serta upah yang jauh dari standar kehidupan yang layak. Lebih jauh, ketergantungan negara terhadap migrasi tenaga kerja sebagai solusi ekonomi mencerminkan lemahnya daya saing ekonomi domestik. Menjadikan migrasi sebagai jalan keluar adalah kontradiktif dengan kepentingan nasional sebuah bangsa. Karena itu, negara harus memperkuat ekonomi nasional agar warganya memiliki kesempatan yang lebih baik di dalam negeri.
Keputusan untuk bekerja di luar negeri seringkali didasarkan pada harapan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Namun, banyak pekerja migran yang menghadapi eksploitasi dalam bentuk jam kerja panjang, kondisi kerja tidak manusiawi, serta perlakuan diskriminatif dari majikan dan masyarakat setempat.
Di banyak negara, pekerja migran menempati posisi terendah dalam hierarki tenaga kerja, sering kali bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai. Mereka juga mengalami pemotongan gaji yang tidak adil, kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, dan minimnya perlindungan sosial. Beberapa bahkan terjebak dalam sistem kontrak yang tidak transparan, membuat mereka rentan terhadap perdagangan manusia dan perbudakan modern.
Selain eksploitasi ekonomi, pekerja migran juga menghadapi tantangan sosial dan budaya. Perbedaan bahasa dan budaya sering kali membuat mereka terisolasi, sementara kebijakan imigrasi yang ketat memperburuk posisi mereka dalam masyarakat. Bahkan di negara yang dikenal terbuka terhadap migrasi seperti Amerika Serikat, pekerja migran tetap mengalami diskriminasi dan sering kali diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Ketergantungan suatu negara terhadap migrasi tenaga kerja menunjukkan lemahnya fondasi ekonomi domestik. Jika perekonomian nasional mampu menyediakan lapangan kerja yang layak dengan upah yang kompetitif, maka warganya tidak akan terpaksa mencari kehidupan di luar negeri dengan risiko tinggi.
Pemerintah harus lebih fokus pada pengembangan industri bernilai tambah yang dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal. Hilirisasi sumber daya alam, misalnya, dapat meningkatkan daya saing tenaga kerja dan mengurangi ketergantungan pada ekspor tenaga kerja murah. Selain itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan keterampilan akan meningkatkan kualitas tenaga kerja domestik sehingga mereka tidak lagi melihat migrasi sebagai satu-satunya pilihan untuk memperbaiki taraf hidup.
Meskipun penguatan ekonomi domestik menjadi prioritas, negara tetap harus memberikan perlindungan bagi mereka yang memilih atau terpaksa bekerja di luar negeri. Pemerintah perlu menjalin kerja sama bilateral dengan negara tujuan untuk memastikan bahwa pekerja migran mendapatkan hak-hak yang layak.
Kedutaan dan perwakilan diplomatik harus lebih aktif dalam menangani kasus eksploitasi serta memberikan pendampingan hukum bagi pekerja migran yang mengalami pelanggaran hak. Selain itu, regulasi yang lebih ketat dalam proses perekrutan tenaga kerja migran harus diterapkan untuk mencegah praktik perdagangan manusia dan penipuan oleh agen perekrutan yang tidak bertanggung jawab.
Di sisi lain, negara tujuan juga harus bertanggung jawab dalam menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil. Pekerja migran harus mendapatkan perlindungan yang sama seperti pekerja lokal, termasuk dalam hal upah, jam kerja, serta akses terhadap layanan kesehatan dan sosial.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pekerja migran adalah diskriminasi yang terjadi di negara tujuan. Mereka sering kali diperlakukan dengan tidak adil dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan hingga akses terhadap layanan publik.
Diskriminasi ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga dapat memicu ketegangan sosial di negara tujuan. Jika tidak ditangani dengan baik, konflik antara penduduk lokal dan komunitas migran dapat meningkat, yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Oleh karena itu, kebijakan imigrasi yang lebih inklusif serta program integrasi sosial perlu diterapkan untuk mengurangi kesenjangan antara pekerja migran dan masyarakat setempat.
Pemerintah juga harus mendorong inovasi dan kewirausahaan sebagai alternatif bagi masyarakat yang ingin meningkatkan taraf hidupnya tanpa harus bekerja di luar negeri. Dengan menciptakan lingkungan ekonomi yang stabil dan berorientasi pada pertumbuhan inklusif, negara dapat memastikan bahwa warganya memiliki peluang yang lebih baik di dalam negeri.
Migrasi tenaga kerja bukanlah solusi yang ideal bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Meskipun bagi sebagian individu bekerja di luar negeri dapat memberikan manfaat ekonomi, risiko yang mereka hadapi jauh lebih besar. Eksploitasi, diskriminasi, serta ketidakpastian hukum menjadi tantangan yang sulit dihindari oleh pekerja migran di negara tujuan.
Untuk mengurangi ketergantungan pada migrasi tenaga kerja, negara harus memperkuat perekonomian domestik dengan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan investasi dalam industri serta pendidikan. Selain itu, kebijakan luar negeri yang lebih proaktif diperlukan untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja migran.
Meninggalkan tanah air dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di luar negeri sering kali terlihat sebagai pilihan yang menarik, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. “Kabur aja dulu” mungkin terdengar seperti solusi cepat, tetapi tanpa perencanaan dan perlindungan yang tepat, keputusan tersebut dapat berubah menjadi bumerang. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dalam negeri harus menjadi prioritas utama agar setiap warga negara memiliki kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik tanpa harus mencari penghidupan di negeri orang dengan risiko tinggi.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Ekonomi FEB Universitas Andalas)