Budaya populer Korea, terutama K-pop dan K-drama, telah menjadi elemen penting dari Hallyu atau Korean Wave, sebuah fenomena global yang dirancang untuk mempromosikan Korea Selatan secara internasional. Di Indonesia, Hallyu tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai alat diplomasi budaya.
Pemerintah Korea secara aktif mendukung industri hiburan melalui kebijakan dan pendanaan. Hal itu dimanfaatkan untuk memperkuat citra positif Korea Selatan di mata dunia, termasuk di Indonesia, sebagai negara modern, kreatif, dan inovatif.
Lewat K-pop dan K-drama, masyarakat Indonesia diperkenalkan pada gaya hidup Korea, termasuk makanan (kimchi, ramyeon), fashion, hingga teknologi (ponsel, kosmetik). Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa di tengah persaingan pengaruh budaya antara negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China, Korea Selatan berhasil menempatkan K-pop dan K-drama sebagai kekuatan yang memengaruhi masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Namun dominasi K-pop serta K-drama juga bisa berdampak negatif pada budaya, ekonomi, dan masyarakat Indonesia, antara lain :
- Pengikisan identitas budaya lokal. Dominasi K-pop dan K-drama dalam kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan generasi muda Indonesia kurang tertarik pada budaya tradisional, seperti seni tari, musik gamelan, atau teater wayang. Masyarakat muda lebih memilih menonton K-drama atau mendengarkan K-pop dari pada mendukung produk seni lokal, sehingga budaya Indonesia kehilangan audiens utamanya.
- Ketergantungan ekonomi pada produk korea. Popularitas K-pop dan K-drama sering mendorong masyarakat Indonesia membeli produk-produk Korea, seperti kosmetik, makanan, dan pakaian. Hal ini menciptakan ketergantungan pada barang impor, yang dapat memperlebar defisit perdagangan Indonesia. Selain itu produk hiburan lokal sulit bersaing dengan konten Korea yang memiliki anggaran besar dan kualitas produksi tinggi. Akibatnya, industri kreatif lokal sering kali kalah saing, baik dari segi popularitas maupun pendapatan.
- Standar kecantikan yang tidak realistis. K-pop dan K-drama sering menampilkan standar kecantikan tertentu, seperti kulit putih, tubuh langsing, dan wajah sempurna, yang bisa membuat masyarakat Indonesia merasa tidak percaya diri terhadap penampilan alami mereka. Karena bisa diketahui mayoritas penduduk Indonesia memiliki warna kulit sawo matang hingga gelap, yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan kondisi geografis di daerah tropis. Ini menyebabkan beberapa orang rela menghabiskan uang untuk operasi plastik demi mencapai standar kecantikan ala Korea, yang sering kali tidak realistis dan berisiko kesehatan.
Di sisi lain Indonesia juga dapat memanfaatkan popularitas Hallyu (K-pop dan K-drama) sebagai jembatan diplomasi budaya dua arah. Di tengah derasnya arus budaya Korea yang masuk, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk memperkenalkan tradisi dan kebudayaannya kepada masyarakat Korea Selatan.
Misalkan, kolaborasi antara musisi lokal dengan artis K-pop seperti yang pernah terjadi adalah kolaborasi Rich Brian (Indonesia) dengan Chung Ha (Korea), atau bekerja sama dengan industri perfilman Korea seperti film Miracle in Cell No. 7 yang merupakan film Indonesia tahun 2022 yang disutradarai Hanung Bramantyo berdasarkan film Korea Selatan tahun 2013, atau pun dengan memanfaatkan platform seperti YouTube atau TikTok, kreator konten Indonesia dapat memperkenalkan budaya lokal melalui format yang menarik. Contohnya, video tari tradisional yang dikemas modern atau resep makanan Indonesia dalam bahasa Korea.
K-pop dan K-drama, memengaruhi gaya hidup, budaya, dan memicu tantangan seperti pengikisan budaya lokal serta ketergantungan ekonomi. Meski begitu, Indonesia dapat memanfaatkan popularitas ini untuk mempromosikan budaya lokal melalui kolaborasi dan inovasi kreatif.
Melalui langkah-langkah tersebut, Indonesia tidak hanya dapat mempertahankan identitas budayanya, tetapi juga menunjukkan bahwa budaya lokal mampu bersaing di tingkat global. Dengan memanfaatkan arus budaya Korea secara bijak, Indonesia dapat mengubah tantangan menjadi peluang untuk memperkuat citra dan pengaruh budayanya di mata dunia.
*Penulis: Lovely Fatma Annisa (Mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)