Langgam.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam keras berbagai tindakan kekerasan dan intervensi terhadap jurnalis saat meliput aksi demonstrasi berdarah yang berlangsung sejak 25 hingga 30 Agustus 2025 di sejumlah daerah.
Gelombang aksi yang dipicu oleh kebijakan pemerintah, DPR, dan aparat penegak hukum berujung pada kericuhan, penjarahan, hingga bentrok dengan aparat. Situasi ini tidak hanya merugikan warga sipil, tetapi juga menempatkan jurnalis pada posisi rentan.
AJI mencatat sepanjang 1 Januari–31 Agustus 2025 sudah terjadi 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk intimidasi, teror, serangan digital, hingga pemukulan saat liputan lapangan. Dalam sepekan terakhir, laporan kekerasan bertambah, menimpa jurnalis di Jakarta, Bali, hingga Jambi.
Jurnalis foto Antara, Bayu Pratama S, misalnya, mengalami pemukulan saat meliput demonstrasi di DPR RI Senayan pada 25 Agustus. Dua jurnalis foto lain dari Tempo dan Antara juga dipukul orang tidak dikenal ketika meliput kericuhan di sekitar Mako Brimob, Kwitang, pada 28 Agustus. Sementara itu, jurnalis Jurnas.com mendapat intimidasi saat merekam aksi ricuh di DPR RI.
Kasus serupa juga terjadi di Denpasar, ketika dua wartawan diintimidasi aparat saat meliput di Polda Bali dan DPRD Bali. Di Jambi, delapan jurnalis terjebak dalam kericuhan massa pada 30 Agustus; bahkan mobil dinas Pemred Tribun Jambi dibakar. Puncaknya, pada 31 Agustus, jurnalis TV One ditangkap dan dipukuli ketika siaran langsung, sementara seorang jurnalis pers mahasiswa disiram air keras di Polda Metro Jaya.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nani Afrida, menegaskan bahwa kekerasan tersebut adalah serangan serius terhadap demokrasi.
“Di tengah situasi politik dan sosial yang memanas, publik justru membutuhkan liputan yang akurat, independen, dan bisa dipercaya. Tapi jurnalis malah dibungkam, dipukul, bahkan diintimidasi. Ini pelanggaran berat terhadap demokrasi dan hak warga untuk tahu,” ujarnya.
Selain kekerasan fisik, AJI juga menyoroti adanya pelarangan live streaming dan desakan agar media hanya menyiarkan berita yang “sejuk” serta “damai”. Padahal, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Menurut Nani, upaya itu adalah bentuk intervensi yang mengingatkan pada praktik represif era Orde Baru.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erik Tanjung, menilai bahwa lemahnya penegakan hukum terhadap aparat pelaku kekerasan membuat praktik ini terus berulang.
“Negara harus bertanggung jawab. Polisi dan aparat yang terbukti melakukan kekerasan harus diadili. Kalau tidak, kekerasan terhadap jurnalis akan terus terjadi dan kebebasan pers hanya jadi jargon,” tegas Erik.
Ia menambahkan, pembatasan terhadap jurnalis justru mendorong masyarakat mencari informasi dari media sosial yang belum tentu terverifikasi, sehingga memperbesar risiko disinformasi.
“Jurnalis itu benteng publik melawan hoaks. Kalau mereka dibungkam, yang berkembang adalah kabar bohong yang bisa memperburuk situasi,” sambungnya.
Melalui pernyataannya, AJI Indonesia menuntut penegak hukum mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis; menangkap dan mengadili pelaku, termasuk aparat, yang terlibat; menghentikan segala bentuk pembungkaman dan intervensi pada kerja jurnalis; dan mengingatkan semua pihak untuk menghormati kerja jurnalistik yang dilindungi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Kebebasan pers bukan barang yang bisa dinegosiasikan. Ia adalah syarat mutlak bagi demokrasi,” tegas Nani. (*/Yh)