Rekrutmen peserta untuk perlombaan seni Alquran yang akan dilaksanakan di Sumatera Barat, November 2020 nanti, ramai dibincang. Sebabnya adalah sang Juara cabang tilawah 2019 di tingkat Sumatera Barat, Yunia Safitri gagal masuk sebagai peserta untuk tingkat nasional.
Bahkan peserta yang dianggap tepat mewakili Sumatera Barat dalam ajang nasional nanti adalah peserta juara dua. Ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin juara dua dianggap lebih layak dibanding juara satu? Keputusan itu benar-benar berlawanan dengan akal sehat.
Baca juga: Digugurkan Jadi Peserta Nasional, Juara MTQ Sumbar Mengadu ke Gubernur
Kasus ini, sepanjang pengetahuan saya, bukan kasus pertama kali. November 2019, sejumlah kafilah MTQ juga mengancam mundur dari kepesertaan karena mencium aroma kehadiran kafilah luar daerah untuk mewakili Sumatera Barat. Padahal sumatera Barat sendiri mempunyai kafilah yang dijaring melalui perlombaan yang absah.
Kasus 2019 diadukan ke DPRD Sumbar dan hasilnya panitia tetap memaksakan kehendaknya mesti ada hak orang lain yang tercerderai. Sementara kasus Yunia Safitri, diadukan ke gubernur Sumbar. Dan sedang ditelusuri dan dikaji.
Baca juga: Deretan Prestasi Yunia Safitri, Juara Sumbar yang Digugurkan dari Peserta MTQ Nasional
Namun begitu, Kabiro Mental Pemprov Sumbar mengatakan, bahwa pernah ada kesepakatan bahwa rekrutmen untuk ikut Training Center (TC) MTQ Sumbar memenuhi 3 kriteria, yaitu juara 1 waktu MTQ di Padang Pariaman, kemudian juara 1 MTQ di Kota Solok.
Dikutip dari Langgam.id, Damri ketua harian LPTQ Sumbar juga menyebut, Yunia digantikan oleh Dani Rahman yang merupakan juara 2 di tingkat provinsi tahun 2019, berdasarkan penilaian, hasil yang ikut MTQ di Padang Pariaman, hasil MTQ di Kota Solok dan diambil dari mereka yang berpotensi baik di luar Sumbar maupun di dalam Sumbar.
Baca juga: LPTQ Akan Uji Ulang Juara MTQ Sumbar yang Gagal Jadi Peserta Nasional
Pernyataan ini, menurut saya pertama, menunjukkan bahwa sistem pengelolaan ajang seni Alquran di Sumatera Barat sangat kacau. Sebab di satu sisi mencari yang terbaik melalui perlombaan di sisi lain mencampakkan para juara yang teruji. Terlebih lagi tercampaknya para juara itu karena alasan yang sangat subjektif, yakni pelatih, seperti dikatakan ketua LPTQ.
Kedua, fakta itu menunjukkan tidak ada adanya standar yang jelas dan pasti bagi peserta yang akan diutus dalam perlombaan selain ‘selera’ panitia TC. Kalau dengan alasan, yang dikemukakan, ketua LPTQ, peserta juara malas berlatih kalau juara dipastikan mewakili Sumbar. Ini alasan konyol. Sebab masalah kemalasan berlatih bisa dikontrol melalui kehadiran. Tapi yang dialami oleh calon peserta, adalah mereka tidak mengerti kenapa nama mereka tiba-tiba hilang sebagai peserta. Tanpa alasan yang jelas dan masuk akal.
Ketiga, besarnya kuasa panitia Traning Centre (TC) dalam menentukan peserta menjadi ajang dominasi dan persaingan tidak sehat diantara para pelatih, dan menyuburkan sistem perkoncoan dan jaringan dalam memilih peserta lomba. Hal ini akan merusak regenerasi para pelaku seni Alquran, dan menghambat potensi yang muncul dari berbagai daerah.
Keempat, tidak adanya aturan baku dalam pengelolaan perlombaan seni Alquran. Semua diatur berdasarkan ‘kesepakatan’. Semua dilakukan tidak berdasarkan hasil yang resmi dari perlombaan.
Kalau mau ingin menjadikan perlombaan sebelumnya sebagai acuan, sebagaimana yang dikatakan sebagai kesepakatan, maka jadikan semua perlombaan yang resmi di bawah LPTQ sebagai standar, berdasar akumulasi jumlah perlombaan yang diikuti dan nilai yang peroleh. Bukan menjadikan satu atau dua perlombaan saja sebagai dasar.
Misalnya, menjelang MTQ nasional ada 10 perlombaan MTQ di tingkat Sumatera Barat. Maka buatlah aturan bahwa yang berhak untuk mengikuti perlombaan di tingkat nasional adalah pemegang juara terbanyak dari 10 perlombaan itu. Jadi penentuan peserta terbuka.
Dengan begitu, para peserta terpacu untuk berlatih dan akan menerima kenapa ia tidak terpilih mewakili sumatera Barat.
Kasus Juara Digagalkan, Memalukan dan Tak Perlu Lagi Terjadi
Harapan saya, pertama, kasus juara tidak mewakili daerah ini mesti menjadi yang terakhir terjadi. Apapun alasannya, ini sangat memalukan. Kedua, LPTQ Sumatera Barat harus segera berbenah dan memastikan adanya sistem perlombaan yang jelas dan baku supaya semua terbuka dan mempunyai peluang yang sama. Sistem itu hendaknya diketahui oleh setiap pelaku seni Alquran di Sumatera Barat.
Sebagai usulan, aturan yang paling mungkin diterapkan adalah adalah konsisten dengan sistem berjenjang dan menentukan ajang perlombaan apa saja dinaungi oleh LPTQ, yang dimulai dari tingkat paling bawah.
Lalu membuat aturan bahwa hanya para juara yang boleh mengikuti ajang satu tingkat atasnya. Dengan begitu setiap orang yang tidak mengikuti perlombaan tidak mestinya mendapat tempat dengan alasan apapun dalam ajang seni Alquran.
Pentingnya sistem baku ini adalah untuk menghindari sistem perkoncoan, kecurangan, kecurigaan, dan ini yang paling penting, keterbukaan dan profesiolisme ajang perlombaan.
Muhammad Yusuf el-Badri: Pengkaji Islam dan Kebudayaan dan Mahasiswa Doktor Islamic Studies UIN Jakarta