Jika Ingin Bernalar Tajam: Pedomani Tiga Kaidah Dasar Berpikir Ini

Nalar (akal) merupakan alat dalam diri manusia yang mencerna berbagai realita, membuat pertimbangan, dan menarik kesimpulan, serta digunakan

Syukri Ramadhan. [foto: Dok.Pribadi]

Oleh: Syukri Ramadhan

Nalar (akal) merupakan alat dalam diri manusia yang mencerna berbagai realita, membuat pertimbangan, dan menarik kesimpulan, serta digunakan untuk mencapai kebenaran. Untuk menggunakan nalar dengan tepat, tentu ada kaidah-kaidah yang harus dipatuhi hingga suatu keputusan dianggap logis dan benar.

Kaidah dasar berpikir yang akan penulis jelaskan ini merupakan kaidah yang menjadi fondasi berpikir yang sangat fundamental (penting) dan aksiomatik (pengetahuan yang bersifat pasti). Seorang yang berakal sehat mau tidak mau harus dipaksa mengamini kaidah ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi kehidupan intelektual, kita sering melakukan atau menyaksikan pernyataan yang keliru atau sulit dipahami. Misalnya, kita sering mendengar argumen dari para intelektual yang menjunjung pluralisme agama, bahwa "semua agama itu sama".

Sepintas, ketika kita tidak menyelami kaidah dasar berpikir, maka kita tidak akan mempermasalahkan klaim tersebut, apalagi jika kita disuguhkan dengan alasan-alasan yang memukau bahwa semua agama menginginkan kedamaian, kebaikan, dan lainnya.

Secara tidak langsung, klaim itu mengatakan "Kristen itu adalah Islam, Buddha itu adalah Hindu". Ketika kita tidak menyelami kaidah berpikir, maka kita akan kesulitan memahaminya, bahkan membenarkan klaim tersebut.

Bagaimana menentukan kelogisan dan kebenaran semacam itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita masuk ke kaidahnya yang mana sebagai berikut:

Pertama: Hukum Identitas (Law of Identity/Qanun al-Huwiyyah)

Di pagi hari, saya berangkat ke kampus dengan mengendarai motor. Di tengah perjalanan, saya melihat jalanan yang begitu lurus yang menjadi area saya berkendara. Tidak jauh dari area saya melintasi jalanan, penglihatan saya juga dihiasi rumah-rumah warga yang bagus.

Menurut akal sehat, saya tidak mungkin menyebut jalanan itu sebagai rumah, sebagaimana saya juga tidak bisa menyebut rumah itu sebagai jalanan. Masing-masing dari jalanan dan rumah itu memiliki identitas atau ciri khas yang menjadi titik pembeda antara satu dengan yang lain.

Inilah yang menjadi kaidah pertama dalam berpikir, yang dalam ilmu logika atau ilmu mantik, disebut oleh para logikawan sebagai hukum identitas (Law of Identity/Qanun al-Huwiyyah).

Kaidah yang pertama ini menegaskan bahwa setiap entitas memiliki hakikat dan ciri khasnya yang bersifat tetap. Dengan ciri khas tersebut, sesuatu itu dapat dibedakan dengan yang lain.

Contoh yang telah saya tuliskan, misalnya klaim yang menyatakan "semua agama itu sama", sampai di situ titik. Jika kita mau berpikir lebih dalam, maka pernyataan itu sama halnya dengan pernyataan "Islam itu adalah Kristen, Buddha itu adalah Hindu".

Pernyataan ini, jika ditinjau dari kaidah berpikir yang disebut hukum identitas, maka klaim tersebut jelas keliru. Bagaimanapun adanya persamaan antara Islam dengan Kristen, Buddha dengan Hindu, tetap saja setiap agama mempunyai diferensiasi (pembeda), yaitu identitas atau ciri khas yang membedakannya dengan yang lain.

Buddha memiliki keyakinan bahwa Siddhartha Gautama adalah seorang yang melahirkan agama Buddha, keyakinan ini tentu berbeda dengan keyakinan agama lain. Itulah yang disebut dengan law of identity.

Banyak contoh yang bisa kita temui; ketidakpahaman akan konsep ini melahirkan kesimpulan yang salah, misal menyamakan antara ideologi liberal dengan sekuler, Marxisme dengan sosialisme, Syiah dan Sunni. Sederhananya, A=A, B=B, bukan A=B atau B=A. Kaidah ini juga menjadi dasar atas perumusan definisi/ta'rif.

Tidak sedikit orang yang menganggap remeh perumusan definisi. Kenapa? Karena tidak mengetahui kaidah ini. Orang semacam ini kerap kali kita temukan. Ketika ditanya apa itu Islam, dia menjawab Islam adalah agama. Jawaban itu jelas tidak bisa menyingkap hakikat atau esensi Islam itu sendiri.

Kristen, Hindu, Buddha, semua ini juga agama. Jika jawabannya hanya agama, berarti Islam adalah Kristen, Hindu adalah Buddha. Karena itulah perlu untuk mengenali kaidah ini, bahwa sesuatu itu punya identitas atau ciri khas yang dengannya satu hal dibedakan dengan yang lain.

Kedua: Hukum Non-Kontradiksi (Law of Non-Contradiction/Qanun 'Adam at-Tanaqut

Setelah saya sampai di kampus, saya berjalan kaki menuju ruang perkuliahan. Ruangan itu terbilang bagus dan nyaman, diisi dengan fasilitas belajar yang baru, cat dindingnya berwarna hijau yang memanjakan mata, dan AC pendingin ruangan yang membuat nyaman.

Ketika saya berkata bahwa ruangan itu bagus, apakah mungkin saya berkesimpulan bahwa ruangan itu tidak bagus? Ketika saya merasakan ruangan itu nyaman, apakah bisa saya mengatakan ruangan itu juga termasuk ruangan yang tidak nyaman? Dengan tegas, semua orang yang berakal sehat akan menjawab tidak. Karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin terhimpun.

Hukum kedua ini disebut hukum non-kontradiksi (Law of Non-Contradiction/Qanun 'Adam at-Tanaqud). Maksudnya, hukum ini hendak menyatakan bahwa dua hal yang saling bertentangan, atau benar dan salah, tidak bisa terhimpun dalam suatu keadaan.

Contoh lain, kita tidak bisa mengatakan bahwa dekan Fakultas Ushuluddin berada di kampus sekaligus tidak ada di kampus. Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa salat bagi seorang muslim yang memenuhi syarat wajib sekaligus tidak wajib.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa zat Tuhan itu esa, tapi sekaligus berbilang. Dua hal yang bertentangan tidak mungkin terhimpun. Sederhananya, hukum ini mengatakan A=A, bukan selain A.

Ketiga: Hukum Kemungkinan Ketiga yang Terangkat (Law of Excluded Middle/Qanun ats-Tsalits al-Marfu')

Melalui hukum kedua, maka lahirlah hukum ketiga, yaitu "hukum kemungkinan ketiga yang terangkat" (Law of Excluded Middle/Qanun ats-Tsalits al-Marfu'). Ketika saya mengatakan cat dinding ruang perkuliahan saya berwarna hijau, maka saya tidak bisa mengatakan bahwa catnya bukan berwarna hijau.

Jika hukum kedua menyatakan bahwa dua hal yang bertentangan tidak mungkin terhimpun atau saling membenarkan, maka kaidah ketiga ini menyatakan bahwa dua hal yang bertentangan tidak bisa saling mendustakan.

Artinya, salah satu dari dua hal yang bertentangan itu harus benar; tidak ada kemungkinan ketiga. Itulah yang dimaksud dengan kemungkinan ketiga yang terangkat. Secara sederhana, kaidah ini hendak menyatakan A=A, B=B, C, D, E tertolak, karena kemungkinan ketiga sudah terangkat dan hanya ada dua pilihan.

Seperti contoh di atas tadi, saya mengatakan dinding ruang perkuliahan saya berwarna hijau, maka saya tidak bisa sekaligus mengatakan catnya tidak berwarna hijau. Pilihannya hanya dua: hijau dan tidak hijau, itu saja, tidak ada kemungkinan ketiga.

Contoh lain, hidup dan tidak hidup. Kita tidak bisa mengatakan bahwa hewan itu hidup, tetapi juga tidak hidup. Mengapa? Karena kemungkinan ketiga sudah dikeluarkan (excluded). Pilihannya hanya dua: hidup dan tidak hidup. Binatang itu ya kalau tidak hidup, ya mati. Itulah tiga kaidah berpikir yang harus kita pahami agar nalar kita berfungsi dengan baik dan tajam dalam menganalisis.

Penulis: Syukri Ramadhan (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Literasi merupakan fondasi penting dalam dunia pendidikan, terutama di tingkat perguruan tinggi. Namun, di banyak kampus di Indonesia, budaya
Kampus Non-Literat: Rusaknya Lumbung Produksi Kaum Intelektual Hari Ini
Dampak Melemahnya Partisipasi Politik Masyarakat Sumatra Barat Terhadap Keberlangsungan Demokrasi
Dampak Melemahnya Partisipasi Politik Masyarakat Sumatra Barat Terhadap Keberlangsungan Demokrasi
Media Sosial: Berkah atau Bencana bagi Gerakan Sosial?
Media Sosial: Berkah atau Bencana bagi Gerakan Sosial?
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasannya, alangkah baiknya kita mengetahui arti dari mitologi terlebih dahulu. Apa itu mitologi? Mitologi
Mitologi Yunani: Dari Khaos hingga Kekuasaan Olympians
Partisipasi politik merupakan bentuk kegiatan atau aktivitas warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan politik pada suatu
Tantangan Partisipasi Politik di Era Digital
Feodalisme yang umumnya dalam diskursus selalu dikaitkan pada struktur sosial abad pertengahan, di mana kekuasaan dan hak istimewa
Parasit di Perguruan Tinggi Itu Bernama Feodalisme