Oleh: Habibur Rahman
Nagari adalah pembagian wilayah administratif, namun secara mendalam dapat diartikan sebagai institusi pemerintahan tradisional yang menjadi bagian integral dari sistem sosial dan politik masyarakat Minangkabau, yang terdiri dari berbagai suku yang dipimpin penghulu.
Sebagai unit pemerintahan terkecil, nagari memiliki struktur yang unik dan otonom, dibangun atas dasar adat dan hukum tradisional. Dalam konsep ini, nagari bukan sekadar wilayah geografis, melainkan sebuah entitas politik, sosial, dan kultural yang mandiri.
Dalam sistem pemerintahan tradisional Minangkabau, nagari dipimpin oleh penghulu-penghulu yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari. Kerapatan ini merupakan otoritas tertinggi yang menjaga keseimbangan masyarakat berdasarkan nilai-nilai adat yang diwariskan secara turun-temurun.
Secara historis, pembentukan sebuah nagari didasarkan pada persyaratan tertentu, baik secara adat maupun fisik. Dari sudut pandang adat, sebuah wilayah baru dapat disebut sebagai nagari jika memenuhi syarat minimal memiliki empat suku adat. Jika sebuah komunitas belum mencapai jumlah tersebut, maka statusnya masih dianggap sebagai dusun atau kampung yang harus terhubung dengan nagari asalnya. Dalam ungkapan adat disebutkan:
Nagari bakaampek suku
Suku berbuah perut
kampung bertua
Rumah gadang bertungganai
Ungkapan ini menegaskan hierarki dan struktur sosial yang menjadi dasar pembentukan nagari. Selain persyaratan adat, terdapat pula syarat fisik yang harus dipenuhi. Sebuah nagari harus memiliki jalan yang memadai sebagai akses keluar masuk, sumber air bersih yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, balai adat untuk musyawarah dan pengambilan keputusan, masjid untuk menjalankan aktivitas keagamaan, serta gelanggang yang berfungsi sebagai ruang publik.
Gelanggang ini memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, menjadi tempat berinteraksi, berbagi cerita, dan melestarikan tradisi permainan serta olahraga tradisional.
Dalam operasionalnya, nagari memiliki perangkat yang berfungsi untuk menjalankan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perangkat ini meliputi penghulu, panglima, hulubalang, manti, alim ulama, serta kaum cerdik pandai.
Para penghulu memegang peran sentral sebagai penentu kebijakan dan penyelesaian sengketa berdasarkan adat. Mereka dikenal sebagai figur yang menjaga keseimbangan dalam masyarakat, sebagaimana tertuang dalam ungkapan adat:
"Kata penghulu kata menyelesaikan, menurut alur dengan patut, menurut garis dengan belebas."
Panglima dan hulubalang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, sementara manti dan pegawai nagari berfungsi sebagai pelaksana keputusan adat. Alim ulama menjadi penjaga kehidupan beragama, sedangkan kaum cerdik pandai berperan sebagai penyampai aspirasi masyarakat dan mediator dalam berbagai urusan kenagarian.
Namun, fungsi otonom nagari sebagai unit pemerintahan tradisional mulai mengalami perubahan signifikan setelah kolonial Belanda memberlakukan sistem pemerintahan baru pada tahun 1873. Pemerintah kolonial mengurangi peran adat dalam tata kelola nagari, menggantinya dengan struktur administrasi yang lebih sentralistik dan sesuai dengan kepentingan kolonial. Perubahan ini menciptakan ketegangan dalam masyarakat Minangkabau, karena nilai-nilai adat yang menjadi landasan justru mulai tergerus oleh sistem baru.
Sebagaimana digambarkan dalam pantun adat:
Dulu rabab nan batangkai
kini lagundi nan babungo
Dulu adat nan bapakai
kini rodi nan baguno.
Pantun ini mencerminkan kritik mendalam terhadap perubahan sosial yang terjadi, di mana adat yang sebelumnya menjadi panduan hidup masyarakat tergantikan oleh sistem kerja paksa dan aturan kolonial yang memprioritaskan keuntungan ekonomi kolonial di atas kesejahteraan lokal.
Dalam kerangka teori sosiologi politik, perubahan ini dapat dianalisis melalui konsep "perubahan struktural" yang diperkenalkan oleh Anthony Giddens dalam teori strukturasi. Giddens menegaskan bahwa struktur sosial selalu dalam proses pembentukan ulang oleh agen-agen sosial.
Dalam kajian kita kali ini yaitu kolonial Belanda bertindak sebagai agen eksternal yang mendistorsi struktur tradisional nagari dengan memperkenalkan struktur pemerintahan yang baru. Akibatnya, hubungan sosial dan kekuasaan dalam nagari menjadi tidak seimbang, menciptakan ketegangan antara otoritas tradisional dan modern.
Selain itu, perubahan yang terjadi juga relevan dengan konsep "cultural lag" yang dikemukakan oleh William Ogburn. Konsep ini menjelaskan bagaimana perubahan teknologi dan struktur sosial sering kali lebih cepat dibandingkan dengan adaptasi nilai-nilai budaya. Jikalau kita bawakan pada kasus kasus sistem nagari, intervensi kolonial menciptakan celah antara nilai-nilai adat yang menjadi inti identitas masyarakat dan sistem administrasi baru yang lebih mekanis dan hierarkis.
Pada akhirnya, transformasi nagari dari unit otonom yang berlandaskan adat menjadi bagian dari struktur pemerintahan kolonial tidak hanya mengubah tatanan politik lokal, tetapi juga mengguncang fondasi sosial dan budaya masyarakat Minangkabau. Transformasi ini menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana masyarakat tradisional dapat mempertahankan identitas budaya mereka di tengah tekanan globalisasi dan modernisasi yang terus berlangsung.
Kini untuk dalam tatanan modern saat ini, pemerintahan nagari dipimpin oleh seorang dengan jabatan Wali Nagari dengan sistem pemilihan melalui pemungutan suara dan di beberapa tempat peran atau sinergitas patut disorot kembali karena ada beberapa yang mengalami kemunduran, jikalau berkaca pada dialek dahulu pimpinan tertinggi di nagari disebut sebagai Datuak Palo.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.