Keberadaan kereta api sebagai sarana transportasi masal sejak zaman Belanda tidak terlepas dari kekayaan alam yang tersimpan dalam bumi Indonesia.
Pembangunan jalur kereta api di nusantara dimulai pada 15 Agustus 1840 oleh seorang militer Belanda Kolonel Jhr. Van Der Wijk di Pulau Jawa dengan tujuan untuk mempermudah pengangkutan hasil bumi serta untuk kepentingan pertahanan.
Selanjutnya, setelah sukses di Jawa, pembangunan jalur kereta api mulai merambah beberapa daerah di nusantara, seperti Sumatra Barat tahun 1891, Aceh tahun 1874, Sumatra Utara tahun 1886, Sumatra Selatan tahun 1914, dan Sulawesi tahun 1922.
Di Sumatra Sumatra Barat, kehadiran kereta api mulai melahirkan kota-kota kolonial, terutama kota-kota yang dilalui oleh jalur kerata, seperti Kota Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan Sawahlunto.
Kereta Api dan Batu Bara
Peneliti kereta api Sumbar, Aulia Rahman dalam buku Menikam Jejak Kereta Api di Sumatera Barat menyebutkan, pada awalnya pembangunan rel kereta api dilakukan untuk membawa hasil pertanian dari pedalaman Minangkabau ke Kota Padang.
Akan tetapi rencana tersebut berubah dengan ditemukannya batu bara di daerah Ombilin. Temuan tersebut berangkat dari laporan seorang geolog berkebangsaaan Belanda, W.H. de Greve pada tahun 1871 dengan judul 'Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra’s Westkust'.
Menimbang besarnya potensi keuntungan yang dihasilkan dari mengeksplorasi batu bara, maka Belanda rela mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menyiapkan berbagai sarana prasarana, mulai dari aktivitas pertambangan hingga alat transportasi.
Hingga tahun 1899, Pemerintah Belanda tercatat telah mengeluarkan biaya hingga 35.034.000 gulden dengan rincian 1.372.000 gulden untuk pembangunan sejumlah fasilitas dan instalasi, 30.238.000 gulden untuk pembangunan jalur kereta api dan pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur atau Emma Haven sejumlah 3.424.000 gulden.
Pembukaan jalur kereta api Teluk Bayur - Sawahlunto pada 1 Juli 1891 oleh pengelola kereta api negara, Sumatra Staats Spoorwegen (SSS), merupakan awal dari era perkeretaapian di Sumatra Barat.
Pembangunan rel kereta api tersebut dimulai dengan jalur kereta dari Pulau Air sampai ke Padang Panjang sepanjang 71 kilometer yang selesai dalam bulan Juli 1891.
Selanjutnya, jalur dari Padang Panjang ke Bukittinggi sepanjang 19 kilometer selesai pada November 1891. Pada 1 Juli 1892, jalur Padang Panjang - Solok selesai, dan pada jalur ini terdapat rel yang memakai gerigi, yaitu antara Stasiun Padang Panjang ke Stasiun Batutabal.
Jalur Solok Muaro Kalaban sepanjang 23 kilometer dan Padang Teluk Bayur sepanjang 7 kilometer selesai pada waktu yang sama, yaitu pada 1 Oktober 1892. Sementara Jalur Muaro Kalaban - Sawahlunto dengan menembus sebuah bukit berbatu yang kemudian bernama Lubang Kalam dengan panjang 835 meter selesai pada 1 Januari 1894
Lebih lanjut Aulia Rahman menjelaskan, pembangunan jalur kereta api di Sumbar merupakan efek domino dari dibukanya tambang batu bara Ombilin Sawahlunto yang kemudian berdampak luas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta Pemerintah Kolonial Belanda.
Dari Rel Bergerigi hingga Jembatan Tinggi
Kondisi daerah di pedalaman Sumatra Barat yang didominasi oleh bukit dan lembah, membuat Belanda menggunakan teknologi yang sedikit berbeda dari pada biasanya, seperti penggunaan rel gerigi untuk tanjakan serta jembatan tinggi untuk melintasi lembah.
Setidaknya terdapat dua jenis rel yang digunakan, yaitu rel biasa (adhesi baan) untuk medan relatif datar dan rel bergerigi (tandrad baan) untuk kereta yang beroperasi di daerah pegunungan.
Konstruksi rel untuk tanjakan di Sumatra Barat menggunakan model konstruksi Riggenbach, yaitu sistem gerigi yang dikembangkan oleh kontruktir, Swiss Niklaus Riggenbach (1817-1899).
Dari jalur kereta api yang ada, konstruksi rel tidak bergerigi dapat ditemui pada jalur Teluk Bayur - Padang - Kayu Tanam sepanjang 60 kilometer, Batu Tabal - Solok sepanjang 34 kilometer dan Solok – Sawahlunto sepanjang 27 kilometer.
Sementara itu, salah satu jembatan yang terkenal adalah jembatan yang berada di Lembah Anai, bagian bawah jembatan dengan konstruksi beton ini memiliki bentuk setengah lingkaran yang berfungsi sebagai penampang.
Jembatan sudah terdaftar sebagai salah tinggalan cagar budaya ini memiliki panjang 85 meter, tinggi 14,75 meter dan lebar bagian bawah sepanjang 5 meter yang merupakan hasil rancangan Ontwerpert A. Kuntze dari Pabrik Societe Cockeril di Seiraing, Belgia tahun 1890.(SR)