Oleh: Habibur Rahman
Di tengah masyarakat, sering ditemukan fenomena yang unik namun ironis. Ketika seseorang bertobat, keputusan itu dirayakan dengan euforia yang meluap-luap, tetapi jika ada yang melakukan maksiat, seketika ia dihujat dengan penuh amarah.
Misalnya, ketika seseorang memutuskan untuk mengenakan kerudung, ia dipuja seolah mencapai puncak kesempurnaan spiritual. Sebaliknya, ketika ada yang melepas kerudung, ia dicaci maki tanpa ampun. Hal serupa terjadi pada individu yang berpindah agama menjadi seorang Muslim (mualaf); ia diarak bak pahlawan. Namun, ketika ada yang memilih keluar dari Islam, ia langsung diposisikan sebagai musuh dan dianggap sesat tanpa ampun.
Jikalau kita tilik melalui kajian psikologi sosial, fenomena ini dapat kita teropong melalui teori Ekspresi Emosi Kolektif oleh Hatfield, Cacioppo, dan Rapson (1994), yang memberitahu kita, bahwa emosi dalam kelompok sering kali menular dan dapat menjadi berlebihan jika tidak terkendali.
Dan salah satu contohnya dapat kita temukan pada euforia yang berlebihan terhadap seseorang yang hijrah dapat menciptakan standar sosial yang tidak realistis, sehingga mendorong tekanan terhadap individu lain yang mungkin sedang berjuang di jalur spiritual mereka. Sebaliknya, histeria massa terhadap individu yang dianggap melakukan kesalahan menciptakan lingkungan tidak sehat yang bertentangan dengan nilai Islam tentang kasih sayang dan keadilan.
Kenyataan tersebut tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan dalam mencintai maupun membenci. Nabi Muhammad Saw. mengingatkan umatnya melalui hadis yang diriwayatkan At-Tirmidzi: “Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya, karena bisa jadi orang yang kamu cintai suatu hari nanti menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, karena bisa jadi suatu hari nanti dia menjadi orang yang kamu cintai.”
Hadis ini mengajarkan agar emosi manusia tidak dibiarkan meluap tak terkendali, baik dalam hal cinta maupun kebencian.
Pesan serupa juga disampaikan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau berkata, “Janganlah rasa cintamu berlebihan dan jangan pula kebencianmu membinasakan, seperti halnya anak kecil yang tidak bisa mengendalikan perasaannya.”
Bahkan, seorang sufi terkemuka, Hasan Al-Bashri, mengingatkan: “Hendaknya kalian mencintai jangan berlebihan dan membenci jangan berlebihan. Ada orang yang terlalu mencintai suatu kaum, akhirnya ia binasa. Begitu pula orang yang terlalu membenci, ia pun hancur.”
Ajaran Islam sangat menolak segala bentuk sikap yang melampaui batas, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Ma'idah [5]: 87, Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Ayat ini menunjukkan bahwa sikap berlebihan adalah sesuatu yang dilarang, baik dalam aspek spiritual maupun kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam QS Al-A'raf [7]: 31, Allah kembali menegaskan: "Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Larangan terhadap sikap berlebihan ini tidak hanya berlaku dalam hal makan dan minum, tetapi juga dalam menjalankan agama. Nabi Muhammad Saw. memperingatkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas: “Jauhilah sikap berlebihan dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap berlebihan mereka dalam agama.”
Sikap ekstrem ini, menurut Al-Qur’an, adalah ciri khas umat terdahulu yang menyebabkan mereka binasa. Dalam QS Al-Nisa’ [4]: 171, Allah Swt. berfirman: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” Ayat ini menunjukkan bahwa melampaui batas dalam agama bukan hanya perbuatan yang salah, tetapi juga ciri dari kaum yang mendapat laknat Allah.
Pelajaran penting ini tercermin dari sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Ia menceritakan bahwa ada tiga orang sahabat Nabi yang bertekad untuk meningkatkan ibadah mereka secara ekstrem. Satu orang bersumpah akan salat malam tanpa henti, yang lain akan berpuasa sepanjang waktu, sementara yang ketiga bersumpah untuk tidak pernah menikah.
Ketika mendengar hal tersebut, Nabi Muhammad Saw. menegur mereka dan bersabda: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kalian. Namun, aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan tidur, serta aku menikah. Barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” Kisah ini menunjukkan bahwa sikap ekstrem dalam beribadah justru bertentangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan keseimbangan.
Dalam kasus berhijrah, yang paling utama dan menjadi kunci ialah sikap bertahap dan realistis yang tentunya akan dapat menemui keberhasilan. Allah berfirman dalam QS Al-Taghabun [64]: 16, “Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”
Hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Apa yang aku larang untukmu, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan untukmu, maka kerjakanlah menurut kesanggupanmu.” Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa Allah tidak menghendaki umat-Nya terbebani di luar kemampuannya, sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Baqarah [2]: 286: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Konsistensi atau istiqamah dalam ibadah lebih utama daripada ibadah yang dilakukan secara berlebihan tetapi tidak berkelanjutan. Ketika seseorang baru memulai hijrahnya, penting untuk menghindari sikap tergesa-gesa dalam mengambil komitmen besar. Hal ini karena ibadah yang dilakukan dengan tulus dan berkelanjutan jauh lebih bernilai dibandingkan dengan upaya yang terkesan memaksakan diri.
Di samping itu, kita harus mengetahui bahwa setiap individu memiliki perjalanan spiritual yang unik. Ketika seseorang memaksakan dirinya untuk mengikuti standar orang lain, ia berisiko kehilangan keikhlasan dan tujuan utama dari ibadah itu sendiri.
Allah mengingatkan dalam QS Al-Ma’idah [5]: 8: “Berlaku adillah walau pada seseorang yang kamu benci.” Pesan ini mengajarkan kita untuk bersikap objektif dan tidak berlebihan dalam menilai orang lain, meskipun perbedaan pendapat atau kesalahan yang dilakukan.
Adapun iman, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Sufyan bin Uyainah, adalah sesuatu yang fluktuatif. Ketika beliau ditanya apakah iman bisa bertambah atau berkurang, ia menjawab: “Tidakkah kalian mendengar firman Allah, ‘Ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka,’ (QS Ali 'Imran [3]: 173). Jika sesuatu bisa bertambah, pasti ia juga bisa berkurang.” Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. mengajarkan doa yang sangat relevan dalam menjaga konsistensi iman: “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas ketaatan kepada-Mu.”
Jadi dapat kita ambil kesimpulan, bahwasanya sikap rendah hati adalah kunci utama dalam menjalankan ibadah dan berinteraksi dengan sesama. Ketika melihat orang lain, baik yang lebih muda maupun yang lebih tua, hendaknya kita senantiasa berprasangka baik. Anak muda mungkin memiliki dosa lebih sedikit, sementara orang tua memiliki amal lebih banyak. Melalui kerendahan hati, kita dapat menghindari sikap berlebihan yang tidak hanya membebani diri, tetapi juga menjauhkan kita dari esensi Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Sebagai penutup tulisan ini, Omar Imran pernah berkata :
"Kalau jadi religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, kasar, keras dan fitnah, periksalah! Kamu menyembah Tuhan atau egomu."
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.