Islam di Mata Orientalis: Antara Stereotip dan Realitas

Orientalisme merujuk pada studi atau pandangan Barat terhadap Timur, khususnya dunia Islam. Dalam konteks sejarah, orientalisme sering kali

Fadhila Indriani. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Fadhila Indriani

Orientalisme merujuk pada studi atau pandangan Barat terhadap Timur, khususnya dunia Islam. Dalam konteks sejarah, orientalisme sering kali dipenuhi dengan stereotip dan kesalahan representasi (misperception) terhadap budaya, agama, dan masyarakat Islam.

Para orientalis, baik melalui tulisan ilmiah maupun karya sastra, cenderung menggambarkan Islam dan umat Muslim dengan citra negatif, yang menyudutkan ajaran dan praktik keagamaan dalam Islam.

Propaganda yang dilakukan orientalis sering kali menggambarkan Islam sebagai agama yang eksklusif, primitif, dan terbelakang. Hal ini tercermin dalam banyak karya yang menekankan sifat kekerasan atau intoleransi dalam ajaran Islam, sembari mengabaikan aspek kemanusiaan dan keberagaman yang ada dalam agama tersebut.

Selain itu, Islam sering dikaitkan dengan otoritarianisme, ketidaksetaraan gender, hingga perilaku bebas yang justru tidak mencerminkan ajarannya.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa anggapan tersebut tidak terbukti. Islam, secara ajaran, sangat mengedepankan keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Media, sastra, dan ilmu pengetahuan Barat pada zaman kolonial memperkuat citra negatif ini untuk mendukung justifikasi terhadap ekspansi kolonialisme dan imperialisme.

Dengan demikian, propaganda orientalis terhadap Islam tidak hanya mencerminkan ketidaktahuan dan prasangka, tetapi juga kepentingan politik tertentu yang bertujuan menciptakan jarak antara dunia Barat dan Timur.

Dalam konteks global saat ini, penting bagi umat Islam dan masyarakat dunia untuk terus meluruskan pemahaman yang keliru ini dengan membuka dialog lintas budaya yang berdasarkan pada pengetahuan yang benar dan saling menghormati. Masyarakat internasional harus menyadari bahwa Islam memiliki kekayaan ajaran yang dapat memberikan kontribusi positif bagi kemajuan umat manusia.

Seiring waktu, Islam sering kali dikaitkan dengan berbagai stigma negatif yang dipopulerkan oleh media Barat. Stigma tersebut sering terjalin dalam narasi yang memperkenalkan Islam sebagai agama yang terbelakang, penuh kekerasan, atau bahkan ancaman bagi peradaban modern. Hal ini tidak terlepas dari fenomena orientalisme yang sering dijadikan alat untuk memanipulasi pandangan dunia terhadap Islam dan masyarakat Muslim.

Dalam Kamus Besar Bahasa Arab "Lisanul Arab", disebutkan bahwa kata jihad berasal dari kata dasar al-jahdu atau al-juhdu, yang bermakna kemampuan. Berjihad berarti mengerahkan semua kemampuan. Jihad mengajak umat Islam untuk senantiasa menjalankan ajaran agama ini secara total, sepenuh hati, dan tulus karena Allah SWT.

Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi sendiri mendefinisikan jihad sebagai “usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan agama Allah dan mendirikan masyarakat yang Islami.” Kata "jihad" dalam Al-Qur'an dengan makna ini disebutkan 36 kali. Makna dasar yang luas ini kemudian menimbulkan perdebatan tentang apa makna sebenarnya. Umat Islam biasanya memahami jihad sebagai “perang melawan musuh-musuh Islam.”

Dengan ajaran jihad, Islam dianggap sebagai agama yang keras dan galak; tidak ada toleransi, apalagi kedamaian. Banyak kalangan non-muslim memahami bahwa makna jihad adalah perang, seperti yang digembar-gemborkan kelompok Islam radikal.

Bahkan, para orientalis sering memandang Islam sebagai agama pedang. Para pemeluknya dipandang sebagai serdadu fanatik yang menyebarkan agama serta hukumnya dengan kekuatan senjata. Pandangan orientalis yang cenderung melakukan generalisasi ini tentu membuat posisi Islam semakin tersudutkan.

Para orientalis juga menyatakan bahwa poligami dilakukan sebagai jalan untuk melampiaskan nafsu biologis. Namun, Gustave Le Bon, seorang sejarawan Perancis, menyatakan bahwa poligami adalah budaya baik yang dapat meningkatkan keluhuran budi bagi masyarakat yang melakukannya. Poligami menambahkan semangat kekeluargaan serta mengangkat harkat perempuan, sesuatu yang tidak dijumpai di Eropa.

Di samping itu, Mr. Lowey berpendapat bahwa poligami bukanlah pelampiasan nafsu birahi atau bentuk perbuatan semena-mena terhadap perempuan, melainkan cara menjaga suami agar tidak berbuat menyimpang dengan perempuan lain.

Sementara itu, Dr Mustafa al-Siba'i menjelaskan bahwa Geral de Nerval dan Ledy Morgane berpendapat bahwa poligami yang dilakukan oleh umat Islam lebih kecil daripada yang dilakukan umat Kristen, meskipun mereka melarangnya.

Penulis berharap apa yang telah dikemukakan oleh para orientalis, berupa tuduhan dan klaim terhadap poligami, dapat diluruskan melalui penjelasan sejarah Nabi Muhammad SAW dan tanggapannya mengenai persoalan poligami.

Penjelasan ini juga berdasarkan dalil-dalil, baik dari Al-Qur'an maupun hadis, serta argumentasi yang menanggapi stigma negatif terhadap poligami dalam masyarakat yang menjalaninya. (*)

Penulis: Fadhila Indriani (Mahasiswa program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sjech M. Djamal Djambek Bukittinggi)

Baca Juga

Ungkapan "suara rakyat, suara Tuhan" sering kita dengar untuk menggambarkan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi.
Vox Populi, Vox Dei: Harapan Luhur di Tengah Manipulasi Realitas
Langgam.id - KPK RI menetapkan Nagari Kamang Hilia, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam masuk 10 besar Desa Antikorupsi 2022.
Mencegah Korupsi Sejak Dini: Pentingnya Peran Pendidikan
Sebelum memahami hubungan antara misionarisme, orientalisme, dan kolonialisme, penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan masing
Dinamika Tiga Poros: Misionarisme, Orientalisme, dan Kolonialisme di Dunia Timur
Stop Korupsi, Bangun Perilaku Antikorupsi Demi Masa Depan yang Lebih Baik
Stop Korupsi, Bangun Perilaku Antikorupsi Demi Masa Depan yang Lebih Baik
Integritas Kepemimpinan Mahatma Gandhi: Panduan Bagi Pemimpin Masa Kini
Integritas Kepemimpinan Mahatma Gandhi: Panduan Bagi Pemimpin Masa Kini
Pentingnya Pendidikan Integritas Sejak Dini
Pentingnya Pendidikan Integritas Sejak Dini