Oleh: Antoni Putra
Irman Gusman, namanya mendadak menjadi perbincangan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 memerintahkan pemilihan ulang anggota DPD untuk Sumatera Barat. Secara normatif, Irman Gusman memang telah menyelesaikan hukumannya. Hukuman yang diterimanya pun tidak masuk dalam kategori yang mengharuskan masa tunggu lima tahun setelah bebas untuk maju dalam pemilihan umum.
Persoalannya kini bukan lagi tentang putusan MK yang mengabulkan permohonan Irman Gusman, tetapi lebih pada fenomena simpatisan yang tak kunjung surut. Menulis pujian yang dibungkus dalam artikel media massa memang tidak salah, namun akan menjadi janggal ketika pujian tersebut diarahkan kepada seseorang yang terbukti pernah melakukan kesalahan. Terlebih, pujian itu dikemas dengan narasi akademis oleh seseorang yang seharusnya berperan mencerdaskan masyarakat, seperti pengajar atau dosen.
Secara filosofis, fenomena ini sebenarnya mencerminkan dinamika sosial dan politik yang ada di Indonesia. Dalam masyarakat yang sering kali masih mengedepankan hubungan personal dan kedekatan emosional, sulit untuk memisahkan antara penilaian objektif dan subjektif. Hal ini terutama terlihat dalam konteks politik, di mana loyalitas kepada tokoh tertentu bisa mengalahkan pertimbangan rasional.
Namun demikian, apapun argumentasi yang dibangun, fakta bahwa Irman Gusman adalah mantan koruptor tidak dapat dihapus. Bahkan, berdasarkan putusan MK, ia wajib mengumumkan statusnya ke publik. Oleh sebab itu, pembela Irman Gusman yang selalu mengangkat kebaikannya bisa dikategorikan menjadi dua golongan.
Pertama, simpatisan yang mendapat keuntungan dari tindakannya, baik saat ini maupun bila ia terpilih. Jika pujian berasal dari akademisi, hal ini patut dipertanyakan karena pujian tersebut hanya akan mengaburkan informasi terang mengenai rekam jejak kejahatan luar biasa yang dilakukannya. Golongan ini sebaiknya secara terbuka mengumumkan keterlibatannya dalam tim pemenangan. Jangan berkamuflase dengan jabatan akademik seolah-olah tidak terlibat konflik kepentingan.
Kamuflase semacam ini hanya akan melahirkan informasi yang menyesatkan bagi masyarakat. Semua orang pada dasarnya baik, namun narasi kebaikan yang digunakan untuk menutupi informasi yang seharusnya disampaikan ke publik, terutama oleh orang-orang berlatar belakang akademis, seharusnya tidaklah dimunculkan. Terlebih, hal ini dilakukan sesaat sebelum pemilihan.
Golongan kedua adalah orang-orang fanatik. Merujuk pada teori identitas sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner menyatakan bahwa individu mendefinisikan diri mereka berdasarkan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu.
Ketika seseorang sangat mengidentifikasi dengan seorang tokoh, mereka mungkin melihat serangan terhadap tokoh tersebut sebagai serangan pribadi terhadap identitas mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan pembelaan yang kuat dan tidak rasional terhadap tokoh tersebut.
Fenomena simpatisan yang tidak rasional ini menggambarkan bagaimana loyalitas dapat mengaburkan pandangan kritis. Masyarakat perlu bijak dan kritis dalam menanggapi setiap informasi, terutama yang berkaitan dengan figur publik.
Akademisi dan tokoh masyarakat seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi yang objektif dan mencerahkan, bukan malah ikut dalam arus pujian tanpa dasar yang jelas.
Bila ditarik pada kasus Irman Gusman, simpatisan bukan hanya muncul kali ini saja. Saat ia ditangkap KPK, simpatisan juga bermunculan di mana-mana, bahkan menyebabkan perdebatan tidak sehat di berbagai grup percakapan online.
Pada saat itu, gerakan simpati ini tidak lebih dari reaksi emosional akibat rasa cinta yang berlebihan. Latar belakang gerakan ini juga menarik, yaitu Irman Gusman dianggap sebagai milik orang Minang. Bahkan atas dasar ini, sekelompok orang yang mengaku mewakili masyarakat Sumbar sampai menggalang dukungan dengan mengumpulkan tanda tangan untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan untuk Irman Gusman.
Namun, kita perlu melihat lebih dalam tentang dampak dari simpatisan yang tidak rasional ini. Simpatisan yang cenderung mengabaikan fakta dan lebih mengedepankan emosi dapat merusak proses demokrasi yang sehat. Ketika opini publik didominasi oleh narasi yang tidak objektif, maka keputusan yang diambil oleh masyarakat dalam pemilihan umum juga bisa menjadi tidak rasional.
Akademisi dan tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk mencerdaskan masyarakat. Mereka seharusnya tidak terlibat dalam narasi yang menyesatkan dan lebih fokus pada memberikan pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat. Pendidikan politik yang baik akan membantu masyarakat untuk bisa memilih dengan bijak dan tidak terpengaruh oleh narasi yang tidak objektif.
Fenomena simpatisan yang tidak rasional ini juga bisa dilihat sebagai cerminan dari budaya politik yang masih berkembang. Masih mengedepankan hubungan personal dan kedekatan emosional menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih dalam proses perkembangan.
Demokrasi yang sehat seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas dan objektivitas, bukan pada hubungan personal dan kedekatan emosional. (*/)