Oleh: Ahmad Fauzan
Pernahkah kita berpikir bahwa sebenarnya banyak di antara kita yang pernah melihat atau bahkan melakukan tindakan suap dan gratifikasi dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu mengetahui dan memahami bahwa suap dan gratifikasi termasuk dalam tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang jelaskan dalam UU 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), bahwa terdapat 7 jenis tindak pidana korupsi yang mana di dalamnya termasuk suap-menyuap dan gratifikasi. Namun, pada kenyataannya banyak di antara kita yang tetap memberikan suap kepada pejabat birokrasi untuk mempermudah segala urusan, contohnya “menembak surat izin mengemudi (SIM)”, ataupun gratifikasi seperti “memberi uang terima kasih kepada pejabat birokrasi atas pelayanan yang cepat”.
Berdasarkan fenomena tersebut dapat diketahui bahwa suap dan gratifikasi masih menjadi permasalahan struktural yang ada di Indonesia. Suap maupun gratifikasi keduanya sama-sama merusak citra birokrasi dan memperburuk kepercayaan publik. Oleh karena itu, integritas sangat penting bagi para pejabat birokrasi dan masyarakat itu sendiri agar terhindar dari perbuatan suap dan gratifikasi yang merusak bagaikan penyakit. Hal ini berkaitan dengan teori patologi birokrasi yang dikemukakan oleh Gerald E. Caiden dalam buku “Administrative Reform”, yang mana Caiden menyatakan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit yang ada dalam tubuh birokrasi yang merusak birokrasi itu sendiri, sehingga birokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Integritas secara umum dapat dipahami sebagai konsistensi antara perkataan dengan perbuatan seseorang, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mcshane & Von Glinow dalam buku “Organizational Behavior” bahwa integritas adalah kemampuan seseorang untuk menerjemahkan perkataannya melalui tindakan nyata. Suap dan gratifikasi perlu dipahami sebagai dua hal yang berbeda walaupun memiliki kesamaan dalam hal “pemberian”. Menurut UU 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), suap adalah pemberian kepada seseorang untuk melakukan suatu yang berlawanan dengan tugasnya dan tanggung jawabnya. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian kepada seseorang dalam arti luas seperti uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket liburan, dan fasilitas penginapan untuk mempengaruhi objektivitas orang tersebut. Singkatnya suap terjadi jika ada kesepakatan antara pemberi dan penerima, sedangkan gratifikasi terjadi tanpa adanya kesepakatan antara pemberi dan penerima.
Seseorang yang berintegritas cenderung akan menolak suap dan gratifikasi, karena integritas akan mendorong seseorang untuk bertindak sesuai dengan ucapannya. Jika orang tersebut mengatakan tidak akan menerima suap maka pasti akan menolak saat ada yang menawarkannya suap. Orang yang berintegritas cenderung memiliki harga diri yang tinggi dan tidak ingin reputasinya hancur karena merusak kepercayaan publik melalui suap ataupun gratifikasi, mereka menjunjung tinggi norma kesopanan dan bertanggungjawab dalam pelayanannya. Integritas bagaikan lampu penerang dikala gelap yang menuntun mereka supaya tidak terjerumus dalam praktik suap dan gratifikasi. Namun, terkadang orang-orang yang memiliki integritas menghadapi tantangan besar dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, seperti tekanan dari atasan ataupun sistem itu sendiri yang memaksa dirinya.
Hal tersebut dapat terjadi karena institusi birokrasi yang tidak transparan, prosedur berbelit-belit, gaji yang rendah, dan minimnya pengawasan sehingga mendorong pejabat birokrasi untuk menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu integritas individu akan rapuh jika tidak didukung dengan sistem yang efektif, sebaliknya jika sistemnya efektif maka individu yang tidak berintegritas sekalipun akan dipaksa berintegritas. Integritas juga dapat terhambat karena budaya masyarakat yang permisif, yang mana masyarakat yang memandang pemberian suap dan gratifikasi sebagai praktik yang wajar dilakukan. Hal ini akan mendorong terjadinya “abuse of power” oleh para pejabat birokrasi, karena secara tidak langsung tindakan mereka dilegitimasi oleh publik untuk menyalahgunakan wewenang mereka demi keuntungan pribadi. Hal ini didukung oleh survei Transparency International Indonesia yang menyatakan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang diperas oleh oknum pejabat birokrasi saat mengurus keperluan administrasi.
Berdasarkan permasalahan tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan karakter sangat penting diberikan sedini mungkin. Dengan pendidikan karakter, anak-anak akan diajarkan nilai-nilai integritas sehingga anak-anak yang telah melalui pendidikan karakter diharapkan akan menjadi pribadi yang berintegritas di kemudian hari. Pendidikan karakter juga harus dilaksanakan secara konsisten sejak dini hingga masa perkuliahan di kampus, seperti memasukkan mata kuliah integritas dan anti korupsi sebagai mata kuliah wajib di seluruh kampus. Dengan menerapkan mekanisme yang keberlanjutan tersebut, diharapkan nilai-nilai integritas yang diajarkan tidak sekedar formalitas tetapi komitmen penuh melawan korupsi dalam bentuk apa pun termasuk suap dan gratifikasi.
Tanggal 9 Desember yang diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia adalah momentum bagi kita untuk merenungkan kembali pembuatan yang telah kita lakukan, karena sejatinya korupsi besar berawal dari korupsi kecil yang dinormalisasi oleh masyarakat itu sendiri. Maka dari itu mari jadikan hari anti korupsi sebagai langkah awal menuju perubahan, karena integritas harus dimulai dari diri sendiri, jika integritas berhasil ditegakkan dalam birokrasi maka akan memberikan dampak positif yang signifikan. Seperti Kepercayaan publik kembali meningkat, layanan publik kembali berjalan sebagaimana mestinya, dan anggaran operasional digunakan secara tepat sehingga layanan publik kembali berjalan efektif. Momentum hari anti korupsi sedunia tidak boleh dilewatkan begitu saja, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dengan memperkuat nilai-nilai integritas seperti jujur, disiplin, dan bertanggungjawab. Jika masyarakat dan pejabat birokrasi berkomitmen menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pemberantasan praktik suap dan gratifikasi dalam birokrasi bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. (*)
Ahmad Fauzan, Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas






