Integrasi Nilai Kepemimpinan dalam Islam dan Dinamika Medsos Hari Ini

Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi

Habibur Rahman. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Habibur Rahman

Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi sebenarnya tidak juga. Simak baik-baik bacaan ini dengan perlahan, nanti anda akan paham dimana letak korelasinya, hehe.

Pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim melalui Ibnu Umar menyatakan:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah pemimpin keluarganya, demikian pula seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Hadis tersebut, memiliki makna yang sangat luas. Kepemimpinan yang dimaksud tidak semata berkaitan dengan jabatan struktural atau posisi resmi dalam masyarakat, tetapi lebih kepada tanggung jawab personal yang melekat pada setiap individu.

Setiap manusia dalam kapasitasnya masing-masing adalah pemimpin. Bahkan, dalam skala paling kecil, seseorang memimpin dirinya sendiri, mengendalikan pikiran, emosi, tindakan, serta organ tubuh seperti tangan, mata, dan hati. Hal yang tentunya cukup sejalan dengan konsep self-leadership yang cukup familiar dalam psikologi modern, yang memberitahu kita bahwa, pentingnya kemampuan individu untuk memotivasi dan mengarahkan diri sendiri secara bertanggung jawab.

Hadis tersebut juga mengandung pesan penting agar setiap individu berpikir dan bertindak dengan kesadaran yang tinggi, sebagaimana layaknya seorang pemimpin yang besar. Berikutnya kita tentu tahu, bahwa pemikiran besar menghasilkan tindakan besar, sementara pemikiran kecil cenderung melahirkan tindakan yang serampangan, ya serampangan atau ya bisa kita sebut sebagai sembrono.

Contoh, seorang pemimpin yang bijaksana, misalnya akan mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan dan ucapannya, termasuk dalam hal yang tampak sepele seperti unggahan di media sosial. Contoh yang sangat relevan di era digital saat ini, di mana jejak digital, baik berupa cuitan, status, maupun unggahan lainnya, bisa membawa dampak besar, baik positif maupun negatif atau bahasa gampangnya bisa menjadi pisau bermata dua.

Di samping itu, dalam kajian media dan komunikasi, fenomena ini dapat kita sorot dengan tinjauan teori tanggung jawab sosial/social responsibility theory, yang mana teori ini menekankan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menggunakan kebebasan berekspresi secara etis, demi menjaga harmoni sosial.

Media sosial, sebagai ruang publik yang terbuka, menuntut pengguna untuk memahami bahwa setiap ujaran memiliki konsekuensi, baik secara sosial maupun spiritual, tapi justru hari ini hanya dimaknai pada sisi sosial saja kalau kita lihat.

Contoh berikut dapat kita hadirkan, sebagaimana seorang pejabat publik tentu akan mempertimbangkan dampak dari pernyataannya, terlepas dari pejabat publik pun seorang individu yang tidak menjabat sekalipun perlu memiliki kesadaran yang sama, meski mereka merasa bahwa pengaruhnya terbatas.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki kesadaran ini. Banyak yang berpikir bahwa sebagai "orang kecil" tanpa jabatan atau pengaruh besar, mereka bebas bertindak tanpa konsekuensi. Ungkapan seperti, “Aku bukan siapa-siapa, jadi apa yang kulakukan tidak akan berdampak besar,” sering kali dijadikan alasan untuk mengabaikan tanggung jawab. Pemikiran seperti ini mencerminkan mentalitas sempit yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Dalam Islam, kualitas tindakan lebih diutamakan daripada kuantitas atau pengaruh luarnya. QS Al-Zalzalah [99]: 7-8 menegaskan bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, akan dihitung di Hari Perhitungan. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Islam memandang tanggung jawab sebagai sesuatu yang inheren dalam setiap tindakan, tidak peduli seberapa kecil pengaruhnya di mata manusia.

Kesadaran akan tanggung jawab ini juga erat kaitannya dengan konsep growth mindset, yang diperkenalkan oleh Carol Dweck, seorang psikolog terkemuka yang menjadi profesor di Stanford University, Amerika Serikat, yang dikenal karena karyanya tentang sifat psikologis pola pikir pertumbuhan.

Dweck menggambar bahwa individu dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan dan kualitas diri dapat berkembang melalui usaha dan pembelajaran, yang mana dengan kata lain, orang yang berpikir besar akan terus berupaya meningkatkan kualitas dirinya, termasuk dalam hal tanggung jawab dan kebijaksanaan. Sebaliknya, fixed mindset cenderung membuat seseorang terjebak dalam pola pikir sempit, yang sering kali berujung pada tindakan impulsif atau tidak bertanggung jawab.

Selanjutnya, dengan adanya era digital yang begitu menyeruak hari ini, tentu memberikan tantangan baru dalam konteks kepemimpinan personal bagi kita semua. Dimana, media sosial menjadi ruang di mana identitas dan tanggung jawab sering kali terpisahkan, terutama melalui penggunaan akun anonim.

Namun, Islam mengajarkan bahwa anonimitas tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawab moral dan spiritual. Konsep Maha Data yang dimiliki Allah SWT melampaui segala teknologi canggih seperti Big Data. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk niat dan tindakan yang tersembunyi di balik akun anonim. Maka, meski secara kasatmata tindakan tersebut tampak kecil, di mata Allah, semuanya memiliki nilai yang besar dan akan dipertanggungjawabkan.

Dan yang paling terpenting hadis tersebut juga mengajarkan kepada kita untuk menghargai setiap bentuk kepemimpinan, termasuk yang tampak sederhana sekalipun. Kita pasti mengetahui bahwa ada kisah seorang wanita pendosa yang diampuni Allah karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Dengan tindakan kecil tersebut menunjukkan bahwa kualitas tindakan didasari niat baik dan tanggung jawab lebih bernilai di sisi Allah daripada besar kecilnya pengaruh tindakan tersebut di mata manusia.

Ya, pada akhirnya setiap kita adalah pemimpin yang telah diberi amanah oleh Allah SWT. Kepemimpinan itu harus dijaga dengan kesadaran tinggi dan rasa tanggung jawab, baik dalam tindakan nyata maupun di dunia maya, kenapa Maya? Ya karena kita tampaknya lebih excited untuk hidup disitu hari ini hehe. Dengan berpikir besar, kita akan bertindak besar pula, bukan untuk sekadar mendapatkan pengakuan duniawi, tetapi untuk memenuhi amanah Ilahi yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Baca Juga

Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan
Resistensi Perpajakan: Relevansi Sejarah dan Implikasinya pada Kebijakan Pajak Modern
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal dengan singkatan H.O.S Tjokroaminoto merupakan seorang tokoh yang lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882.
Warisan Intelektual H.O.S. Tjokroaminoto: Guru Para Tokoh Bangsa
Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada
Dekonstruksi Islam Identitas: Refleksi atas Praktik Keagamaan Kontemporer
Kesadaran diri (an-nafs) merupakan fondasi utama yang menopang sebagian besar elemen kecerdasan spiritual manusia. Kesadaran ini menjadi
Integrasi Kesadaran Diri dan Spiritualitas dalam Mengatasi Emosi Negatif
Seiring berjalannya waktu, dunia semakin maju dalam berbagai aspek dan bidangnya, terutama dalam bidang teknologi. Tentu, dari kemajuan
Membebaskan Diri dari Kungkungan Nomophobia dan Menemukan Ketenangan dalam Konsep Al-Qur’an