Integrasi Kesadaran Diri dan Spiritualitas dalam Mengatasi Emosi Negatif

Kesadaran diri (an-nafs) merupakan fondasi utama yang menopang sebagian besar elemen kecerdasan spiritual manusia. Kesadaran ini menjadi

Habibur Rahman. (Foto: Dok. Penulis)

Oleh: Habibur Rahman

Kesadaran diri (an-nafs) merupakan fondasi utama yang menopang sebagian besar elemen kecerdasan spiritual manusia. Kesadaran ini menjadi langkah awal untuk mengenali dan memahami siapa diri kita sesungguhnya, sekaligus menjadi kunci utama dalam menciptakan perubahan yang berarti dalam hidup.

Tidak mungkin seseorang dapat mengendalikan sesuatu yang tidak diketahuinya. Jika seseorang tidak menyadari tindakan, motivasi, dan dampak perbuatannya, terutama jika hal tersebut merugikan orang lain, maka ia tidak akan mampu mengubahnya.

Pikiran yang sempit sering kali menjadi penghalang terbesar dalam perubahan diri. Orang yang merasa nyaman dengan keadaannya, tanpa melihat alasan untuk berubah, cenderung terjebak dalam stagnasi. Inilah mengapa kesadaran diri menjadi faktor esensial untuk mengurai setiap masalah satu demi satu.

Melalui umpan balik (feedback) dari apa yang kita lakukan, kita dapat memantau kemajuan yang dicapai. Umpan balik ini memungkinkan kita untuk memahami sejauh mana langkah kita mendekati tujuan yang diinginkan.

Seseorang yang dapat memahami dirinya telah membuka "pintu" untuk mengenal Penciptanya. Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang siapakah orang yang paling mengenal Allah. Beliau menjawab, "Orang yang paling mengenal dirinya."

Dengan mengenal Allah dan menyadari siapa Dia, seseorang akan senantiasa mengingat-Nya (zikir). Proses ini membantu seseorang mengelola emosinya, termasuk amarah, stres, kebingungan, dan kegelisahan lainnya, sehingga tidak menguasai dirinya.

Pemahaman tentang pengaruh bisikan jahat dari makhluk seperti setan juga menjadi bagian penting dari kecerdasan diri. Pemahaman ini tidak hanya berdasarkan pengalaman manusia, tetapi juga berakar pada wahyu, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-A’raf ayat 11-25.

Pengaruh tersebut bukanlah mitos atau fiksi, melainkan fakta historis tentang asal-usul manusia yang diberitakan oleh Allah, Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya. Keyakinan terhadap kebenaran berita ini menjadi dasar bagi manusia untuk menolak dorongan hawa nafsu dengan berlindung kepada Allah melalui ketaatan yang tulus.

Setan akan selalu berusaha menyesatkan manusia dengan "membajak" emosi dan nafsunya. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Shad (38): 82-83, Iblis berkata, "Demi kekuasaan Engkau, aku (Iblis) akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka."

Di samping itu, dalam situasi emosi yang tidak terkendali, sebenarnya Islam telah mengajarkan kita untuk berlindung kepada Allah semata, karena hanya Dia yang mampu melindungi manusia dari godaan makhluk jahat.

Jika seseorang mencari perlindungan kepada selain Allah, ia akan terjebak pada perlindungan yang semu, yang lambat laun menjauhkannya dari Allah. Pada akhirnya, tindakan tersebut dapat menjerumuskan seseorang ke dalam syirik, dosa yang paling besar sebagaimana dinyatakan dalam QS. An-Nisa (4): 48, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."

Orang dengan kesadaran diri yang tinggi akan mampu mengenali saat dirinya sedang tidak bersemangat atau merasa terganggu. Ia akan menyadari bagaimana perasaan tersebut dapat memengaruhi perilakunya sehingga memungkinkan orang lain menjauh darinya.

Selain itu, ia mampu mengenali pemicu perasaan tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Kesadaran ini memberinya kemampuan untuk mengontrol dirinya sehingga tidak terjebak dalam konflik emosional yang berkepanjangan.

Sebaliknya, rendahnya kesadaran diri dapat memicu situasi yang tidak terkendali. Sebagai contoh, seorang manajer kantor bernama Qodri selalu berbicara dengan nada tinggi. Ketika karyawannya mencoba menanyakan alasan di balik sikapnya, Qodri dengan tegas membantah sedang marah meskipun perilakunya jelas menunjukkan sebaliknya.

Qodri tidak menyadari bagaimana sikapnya memengaruhi suasana kerja, bahkan tidak mengenali emosi yang sedang menguasainya. Hal ini mencerminkan bagaimana kurangnya kesadaran diri dapat merusak hubungan interpersonal.

Dampak dari emosi yang tidak terkendali dapat dibagi menjadi dua sisi. Dari aspek fisik, seseorang berisiko mengalami tekanan darah tinggi atau gangguan lambung. Sedangkan dari aspek sosial, orang-orang di sekitarnya cenderung menjauhi atau mencapnya sebagai pribadi negatif, meskipun ia memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi.

Langkah-langkah praktis untuk mengelola emosi yang diajarkan dalam Islam meliputi:

  1. Membaca istigfar dan berlindung kepada Allah. Nabi Muhammad SAW menganjurkan membaca doa, "A’udzu billahi minasy-syaithanir-rajim" (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
  2. Mengambil wudu. Membasuh tubuh dengan niat menyucikan diri dapat membantu meredakan gejolak emosi.
  3. Melakukan relaksasi pernapasan. Tarik napas panjang secara perlahan, kemudian keluarkan dengan lembut, seolah-olah melepaskan "beban" emosi dari dalam tubuh.
  4. Berbaring dan menenangkan diri. Dengan posisi relaks, seseorang dapat memusatkan pikirannya untuk menghilangkan kemarahan, seraya memohon pertolongan Allah.

Kesadaran diri yang kuat memungkinkan seseorang memahami emosi dan perilakunya, serta menyesuaikannya dengan cara yang konstruktif. Dengan demikian, ia tidak hanya menjaga kesehatan mental dan fisiknya tetapi juga membangun hubungan yang lebih harmonis dengan orang-orang di sekitarnya.

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Baca Juga

Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada
Dekonstruksi Islam Identitas: Refleksi atas Praktik Keagamaan Kontemporer
Seiring berjalannya waktu, dunia semakin maju dalam berbagai aspek dan bidangnya, terutama dalam bidang teknologi. Tentu, dari kemajuan
Membebaskan Diri dari Kungkungan Nomophobia dan Menemukan Ketenangan dalam Konsep Al-Qur’an
Minangkabau adalah salah satu kelompok etnis terbesar di Indonesia yang berasal dari Sumatra Barat, terkenal dengan kekayaan budaya, bahasa
Adat, Syarak, dan Genetika: Larangan Pernikahan Sesuku di Minangkabau
Perkataan ini mengingatkan kita tentang pentingnya memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan ilmu, khususnya ilmu yang bersifat mendalam
Dimensi Lahir dan Batin dalam Islam: Penggabungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, perubahan dalam bersikap dan menyikapi sesuatu pun turut berubah karenanya. Banyak kita lihat dalam
Normalisasi Budaya Feodal: Implikasi Terhadap Kehidupan Sosial dan Syariat Islam
Sholawat Nabi adalah ungkapan pujian dan rasa terima kasih umat Muslim kepada Rasulullah SAW atas segala jasa dan pengorbanannya yang
Sholawat Nabi: Antara Kesakralan Ibadah dan Kekeliruan Budaya