Benni Inayatullah menanggapi tulisan saya di Langgam.id yang berjudul "Jalan Lintas Layak Dulu, Baru Tol". Judul tulisan Benni: "Menanggapi 'Garah' Miko Kamal".
Saya senang dengan tulisan itu. Sesenang ibu-ibu dapat menantu baru. Inilah yang harus dibiasakan: membalas tulisan dengan tulisan. Berdialektika. Perkara siapa yang benar dan yang tidak, urusan lain. Bisa jadi saya benar. Bisa jadi juga Benni yang keliru. Silakan saja pembaca yang menilainya.
Setelah saya baca, Benni belum paham benar dengan apa yang saya tulis. Sepertinya, beliau hendak melekatkan cap 'Anti Tol' saja kepada saya. Itu tergambar jelas pada paragraf pembuka tulisannya: "Pada intinya Miko Kamal menganggap bahwa jalan tol Padang - Pekanbaru belum seharusnya dibangun. Menurutnya negara harus memenuhi kewajiban dahulu yakni membangun fasilitas umum yang layak baru kemudian membuat jalan tol".
Baca Juga: Jalan Lintas Layak Dulu, Baru Tol
Untuk mendukung argumen-argumennya, Benni mengutip beberapa peraturan perundang-undangan. Diantaranya, UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Permenhub No 111/2015. Intinya bicara tentang kelas-kelas jalan dan batas kecepatan mengendara di jalan.
Tulisan ini tidak akan membahas peraturan perundang-undangan yang dukutip Benni. Soal ini biarlah nanti dijelaskan saja oleh mahasiswa saya yang belajar pada semester lima di fakultas hukum. Sudah paham benar mereka bagaimana undang-undang dan aturan di bawahnya harus sujud kepada konstitusi.
Baca juga: Menanggapi ‘Garah’ Miko Kamal
Agar Benni dan pembaca paham, saya ulang lagi pernyataan saya di tulisan saya sebelumnya itu: "Sebagaimana keinginan banyak orang, ingin benar saya ke Pekanbaru dari Padang 3 jam saja. Tidak 7 jam (lebih kurang) serupa sekarang".
Pernyataan itu menegaskan bahwa jalan lintas yang ada sekarang tidaklah layak. Padang-Pekanbaru adalah contohnya. Contoh lain, bisa juga. Misalnya, Padang-Jambi. Jaraknya hanya 543 km yang harus ditempuh 13 jam lebih. Jalan lintas saya sebut tidak layak karena tiga hal: sempit, berlubang dan bergelombang.
Lubang dan gelombang dibenahi tiap tahun. Benar. Soal sempit tidak. Lebar jalan lintas nyaris tidak berubah dari tahun ke tahun. Segitu-segitu saja. Padahal, secara konstitusional, rakyat berhak atas jalan lintas dengan lebar yang layak. Misalnya, satu arah masing-masing tersedia tiga lajur.
Saya tidak sepakat dengan jawaban dari fakta ketidaklayakan itu: tol. Mengapa saya tidak sepakat? Jawabannya: tol membebani rakyat tiga kali. Beban pertama pajak. Beban kedua karcis masuk atau keluar tol. Wajib bayar utang adalah beban ketiga.
Menjawab hak konstitusional rakyat menikmati jalan lintas yang layak dengan tol, serupa dengan memaksa buruh harian mengganti makan siangnya yang selayaknya ampera sepuluh ribu ke nasi kapau. Sekadar makan nasi kapau tidak ada masalah. Malah beruntung: sambalnya enak, prosinya besar lagi. Masalahnya adalah ketika si buruh diharuskan mengeluarkan uang tambahan ketika nasi kapau dinikmatinya.
Banyak yang protes kepada saya setelah membaca tulisan saya itu. Kata mereka, membenahi jalan lintas yang ada sekarang tidak semudah menulis di media. Tidak lagi memungkinkan. Mustahil. Rumah-rumah dan bangunan lainnya sudah berjejer-jejer di sepanjang jalan lintas. Biaya ekonomi dan sosialnya akan sangat besar, jika itu dilakukan.
Sebab itu, menurut cara yang sekarang, jalan keluarnya adalah tol. Ruas jalan baru dibuka. Sungai diseberangi. Bukit dilubangi. Yang bersentuhan dengan jalan lama dilayangi (dibuatkan flyover).
Menurut saya, kekeliruannya justru di situ. Negara membuat jalan yang layak (namanya tol) dengan mewajibkan rakyat memikul beban tambahan. Harusnya, sesuai pesan konstitusi, jalan tol baru yang dibangun di tengah fakta jalan lintas sekitarnya belum layak (sempit berlubang dan bergelombang) itu adalah sebagai pengganti jalan lintas yang tidak layak, dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusi. Bukan alternatif yang kualitas antara keduanya (jalan lintas dan tol) yang tidak seimbang, plus dengan beban tambahan.
Sederhananya beginilah, ruas jalan tol yang sedang dikerjakan itu diubah statusnya menjadi jalan lintas. Sebab, rakyat memang berhak atas itu.
Terakhir, banyak yang menuduh saya menerjemahkan Pasal 34 ayat (3) seenak perut saya saja. Okelah, mengalah saya soal ini. Saya turuti saja tuduhan itu. Mari simulasikan pasal tersebut dengan memasukan kata tol ke dalamnya. Bunyinya akan begini: "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan tol (tol sebagai pengganti fasilitas pelayanan umum yang layak)".
Coba pembaca inap-inapkan benar simulasi pasal yang saya tulis itu barang sebentar saja. Picingkan mata agak 1 menit, dan buka lagi. Jika pembaca setuju dengan itu, mungkin pembaca sedang mengecilkan lingkar kepala para pendiri bangsa yang telah bertungkus lumus menyiapkan konstitusi.
Saya merasa amat terhina orang kampung saya serupa M Hatta, M Yamin dan H Agus Salim dianggap sama lingkar kepalanya dengan kita yang hidup hari ini. (*)
Catatan: tulisan ini dan tulisan sebelumnya adalah pendapat pribadi. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan jabatan saya sebagai Wakil Ketua Tim Percepatan Sumbar Madani (TPSM) Sumbar.
--