Ketika bercerita tentang ulama Minangkabau, tentu orang kampung kita akan mengenal nama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; tokoh prestisius yang pernah menjadi salah satu imam dan khatib (Jum’at) di maqam Imam Syafi’i di Masjidil Haram.
Di samping “jabatan” tersebut, ia merupakan pengajar di Masjidil Haram. Hampir rata muslim Negeri Bawah Angin yang bermukim, belajar, di Mekkah di awal abad 20 tersebut singgah, mustami’ halaqah Syekh Ahmad Khatib. Nama tokoh ini besar, hingga sekarang masih menjadi sebutan akan kebesaran tokoh-tokoh ulama di Tanah Andalas ini.
Namun, pertanyaannya, seberapa kita faham, kenal, dengan sosok Syekh Ahmad Khatib tersebut? Apakah perkenalan kita soal tokoh ini hanya berhenti pada kalimat “beliau ialah ulama besar dari Minangkabau” saja? Tanpa mengetahui bagaimana pribadinya, terutama yang mencakup cakupan intelektual sosok ini?
Jika kita baca tawarikh ulama Minangkabau, terdapat sederetan ulama yang mempunyai, bukan hanya nama besar, tapi juga pengaruh kuat dalam tatanan keilmuan Islam di Minangkabau. Kita sebut contohnya Syekh Isma’il al-Khalidi al-Minangkabawi al-Makki, senior Syekh Ahmad Khatib, yang menjadi ulama besar di Mekkah. Mengenai sosok ini, Syekh Ahmad Khatib pernah berkomentar dalam otobiografinya dengan menyebut “min kibar al-ulama al-Jawi”, artinya salah satu ulama besar Melayu.
Bagi muslim Minangkabau, terutama di Darek, sosok ini masih menjadi panutan; silsilah ilmunya dilanjutkan dan karyanya dibaca serta dilantunkan. Ada sosok lain, yang juga tidak kalah penting serta memiliki pengaruh luas, yaitu Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (Limapuluh Kota), lawan diskusi Syekh Ahmad Khatib sendiri. Suraunya masih berdiri, keilmuannya masih dilanjutkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Sya’ir gubahannya dalam bahasa Arab masih dibaca selepas wirid dan zikir di pedalaman.
Perlu juga kita tahu, bahwa bagi orang ajam (selain Arab) sangat sukar menulis sya’ir/puisi berbahasa Arab Fushah itu. Kita juga mengenal sosok lain yang juga luar biasa, seperti Syekh Janan Thaib yang menjadi pelajar Minangkabau terawal yang menyelesaikan pelajaran di al-Azhar. Sosok ini pernah mendirikan Madrasah Indonesia sekitar 1920-an di Mekkah.
Pembelaannya terhadap “kaji” Sifat Dua Puluh masih dijadikan hujjah sampai saat ini. Kita bisa membaca sederetan nama lainnya, yang mungkin rada-rada asing didengar oleh generasi muda, sebab jarang dibaca.
Kita sebut, seperti Syekh Burhanuddin Ulakan, sosok sufi besar di Pantai Barat Sumatera yang disebut sebagai pengembang agama Islam; Syekh Abdurahman Batuhampar, kakek Proklamator RI, Moh. Hatta; Syaikh Khatib Alim Kumango yang menjadi guru al-Qur’an dan Qira’at di Mekkah selama lebih 40 tahun; dan berbilang nama lainnya.
Namun mengapa dengan tokoh Syekh Ahmad Khatib? Jawabannya dapat diterka bahwa sosok prestisius ini beraktifitas di Masjid Haram, pusat ibadah dan intelektual; penulis produktif, meskipun sebagian karangannya ialah polemik; dan juga dianggap sebagai sosok pembaharu.
Mari kita simak beberapa fakta tentang Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, yang selayak kita mengetahui, dalam mengenal lebih dekat sosok ini.
- Syekh Ahmad Khatib ialah sosok sufi, pengembang Tarekat Khalwatiyah sebagaimana disebutkan oleh Syekh Harun Toboh Pariaman. Akan sangat keliru, jika ada generasi saat ini yang menganggap bahwa Syekh Ahmad Khatib ialah anti sufi. Kritikannya terhadap sebagian amaliah Tarekat Naqsyabandiyah dan pemahaman Martabat Tujuh hanya semacam dinamika intelektual yang sudah ada sepanjang masa.
- Syekh Ahmad Khatib adalah penganut Mazhab Syafi’i yang kokoh, bahkan dapat disebut sebagai “tiang tengah” Mazhab Syafi’i awal abad 20 untuk kawasan Melayu. Karya-karyanya cukup banyak berkaitan dengan fiqih Syafi’iyah. Di antara ciri-ciri amalan fiqih Syafi’iyah yang mencolok di tengah masyarakat ialah pelaksanaan Shalat Tarawih 20 rakaat, puasa dengan rukyah, mengamalkan zikir jama’i dan jahar setelah shalat fardhu, dan lain-lainnya.
- Syekh Ahmad Khatib ialah sosok yang teguh berpegang kepada prinsip akidah Asy’ary dan Maturidi, akidah yang dipegang oleh mayoritas ulama Islam dan disebut sebagai representasi dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Kokoh pribadinya dalam mengembangkan akidah Asy’ari dan Maturidi tercermin dari kitab-kitab karangannya. Di tengah masyarakat, akidah Asy’ari dan Maturidi disebut dengan istilah Pengajian Sifat Dua Puluh atau Akidah Limapuluh.
- Syekh Ahmad Khatib ialah sosok yang tekun belajar ilmu agama dengan totalitas. Ia belajar dan mengajar tidak dengan ceramah lepas seperti tabligh-tabligh hari ini, tapi dengan mendaras kitab turast yang menjadi kunci dalam menyelami al-Qur’an dan Hadits.
Inilah di antara hal yang patut kita ingat dari sosok Syekh Ahmad Khatib. Sehingga kita tidak mengenalnya hanya sebatas salah satu imam dan khatib Mazhab Syafi’i di Mekkah, sebagai nostalgia sejarah kita, namun kita juga mengingat ilmu dan amalannya sebagai ulama yang kita banggakan.
Ketika saya mendengar adanya wacana penggantian nama sebuah Masjid di Sumatra Barat mengambil tafa’ul dengan nama Syekh Ahmad Khatib, dalam fikiran saya segala ketokohan dan keilmuan Syekh Ahmad Khatib akan disemarakkan.
Dikuatkan kembali kaji tasawuf, yang dulu pernah menjadi “pakaian” muslim Minangkabau secara umum; akan dikokohkan pengamalan Mazhab Syafi’i sesuai tunjuk ajaran Syekh Ahmad Khatib; kemudian diisbatkan Akidah Asy’ari dan Maturidi di lingkungan mesjid tersebut. Kenapa? Sebab ketika hal ini adalah “ruh” dari surau di Minangkabau itu sendiri.
Selain itu terbayang pula oleh saya akan disemarakkan kembali mengkaji turast, membaca Jalalain, Tuhfah, Ihya’, dan sebagainya.
Jika tidak demikian, hanya menyandang nama besar, dan berkisah soal kebesaran dan nostalgia masa lalu, tanpa mengambil ajaran dan ketekunannya dalam ilmu agama, saya beranggapan bahwa kita akan masuk ke dalam petatah yang pernah ditulis oleh Syekh Arifin Batuhampar, sepupu Moh. Hatta, pada 1938: “Hari paujan bonda koriang, padi manjadi boreh maha.”
Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)