Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 menjadi langkah strategis untuk mendukung penerimaan negara dan menjaga stabilitas fiskal. Namun, jika kebijakan ini ditunda atau tidak diterapkan secara penuh, dampaknya akan meluas ke penerimaan pajak, kebijakan fiskal, dan stabilitas ekonomi agregat. Artikel ini membahas implikasi penundaan kenaikan PPN dan strategi mitigasi untuk mengatasi tantangan yang muncul.
Dampak pada Penerimaan Pajak
PPN merupakan kontributor utama penerimaan negara, sehingga penundaan kenaikan tarif akan menekan potensi pendapatan negara yang sudah diproyeksikan. Pemerintah kehilangan tambahan penerimaan yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah, menciptakan tekanan besar pada kemampuan negara untuk mendanai belanja publik dan program pembangunan. Tanpa kenaikan tarif, pemerintah harus bergantung pada pertumbuhan konsumsi domestik dan perluasan basis pajak.
Namun, jika konsumsi melambat akibat tekanan daya beli atau dampak ekonomi global, penerimaan pajak akan tertekan. Ketergantungan pada basis PPN yang ada mempersempit ruang fiskal dan mengancam stabilitas anggaran negara, terutama dalam memenuhi belanja publik yang esensial.
Dampak pada Kebijakan Fiskal
Penundaan kenaikan PPN memaksa pemerintah untuk meninjau ulang target defisit anggaran tahun 2025 yang telah ditetapkan sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), setara dengan Rp616,2 triliun. Dengan berkurangnya pendapatan pajak, defisit dapat melebar, menciptakan kesenjangan lebih besar antara pendapatan dan pengeluaran negara.
Untuk menutup kekurangan tersebut, pemerintah mungkin harus meningkatkan pembiayaan utang yang direncanakan sebesar Rp775,9 triliun. Ketergantungan pada utang dapat meningkatkan beban bunga utang dan memperburuk stabilitas fiskal jangka panjang. Ruang fiskal untuk belanja publik, termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, akan semakin menyempit jika defisit tidak terkendali.
Dampak pada Ekonomi Secara Agregat
Penundaan kenaikan tarif PPN memberikan manfaat sementara bagi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah. Konsumsi domestik yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga. Namun, di sisi lain, penurunan penerimaan pajak dapat memaksa pemerintah mengurangi belanja sosial atau subsidi, yang berdampak negatif pada kelompok rentan.
Ketidakpastian akibat perubahan kebijakan fiskal yang tidak konsisten juga dapat mengurangi kepercayaan investor dan pelaku usaha terhadap stabilitas ekonomi. Jika kepercayaan ini terganggu, iklim investasi menjadi kurang kondusif, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan mengurangi peluang pembangunan yang inklusif.
Strategi Mitigasi
Pemerintah dapat mengatasi dampak penundaan kenaikan tarif PPN dengan memperluas basis pajak melalui peningkatan kepatuhan pajak di sektor informal dan memperketat pengawasan pajak digital, sehingga penerimaan pajak meningkat tanpa menaikkan tarif.
Selain itu, pemerintah dapat menerapkan pajak progresif, seperti pajak kekayaan atau pajak karbon, yang menyasar kelompok berpenghasilan tinggi dan sektor pencemar lingkungan untuk mendukung pendapatan negara secara adil.
Pemerintah juga dapat mengurangi pemborosan anggaran dan mengoptimalkan belanja negara pada program prioritas guna mengurangi tekanan pada kebutuhan pendapatan tambahan. Mendorong konsumsi domestik dan investasi melalui insentif fiskal menjadi langkah lain untuk memperluas basis pajak secara alami dan memperkuat pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan
Penundaan kenaikan tarif PPN 12 persen memiliki implikasi serius terhadap penerimaan pajak, kebijakan fiskal, dan stabilitas ekonomi. Kegagalan menerapkan kebijakan ini dapat memperlebar defisit anggaran, meningkatkan ketergantungan pada utang, dan menciptakan tekanan pada belanja publik.
Namun, dampak negatif ini dapat diminimalkan melalui langkah-langkah mitigasi yang strategis, seperti memperluas basis pajak, menerapkan pajak progresif, dan meningkatkan efisiensi belanja negara. Konsistensi kebijakan menjadi kunci utama dalam menjaga kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha, serta memastikan keberlanjutan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan jangka panjang.
Pemerintah harus bertindak tegas dan bijak untuk mengelola risiko ini, sehingga stabilitas ekonomi tetap terjaga dan masyarakat terlindungi dari dampak negatif kebijakan fiskal yang tidak efektif.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)