Langgam.id - Sejumlah aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menggelar aksi pengibaran spanduk "Cabut UU Minerba" di bekas lokasi tambang batu bara di Sawahlunto. Aksi itu disebut sebagai bagian dari advokasi pencabutan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Salah satu peserta aksi, Diki Rafiqi menuturkan, aksi tersebut sebagai solidaritas atas kesengsaraan masyarakat atas kerusakan yang ditinggalkan tambang.
"Sampai kapan rakyat harus menunggu tanah dan air dipulihkan kembali oleh aktivitas pertambangan yang merusak ini. Sampai kapan pemerintah mau serius dan sungguh-sungguh untuk memaksa perusahaan tambang melakukan pemulihan lingkungan berupa reklamasi dan pascatambang," katanya, dalam siaran pers pada Jumat (30/7/2021).
UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU Minerba, menurutnya, merugikan warga sekitar tambang, ruang hidup rakyat, lingkungan dan masa depan.
"Aktivitas pertambangan di Indonesia acapkali mencatatkan sejarah perampasan ruang hidup rakyat, pelanggaran hak-hak rakyat, kriminalisasi rakyat, merusak serta mencemari lingkungan tanpa adanya proses pemulihan yang berarti. Di atas itu semua terdapat segerombolan kelompok yang berbahagia dan berfoya-foya," katanya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, berbagai elemen masyarakat sipil menolak tegas pengesahan UU tersebut. UU ini dinilai sebagai produk hukum yang gagal dan illegal. Pasalnya, disahkan tanpa partisipasi dan kedauluatan rakyat dan tidak mempertimbangkan keselamatan rakyat.
Uji Materi
Koalisi masyarakat sipil sudah mendaftarkan uji materi UU ini ke Mahkamah Konstitusi. "LBH Padang menjadi salah satu lembaga yang bersolidaritas dan menjadi kuasa hukum atas perjuangan masyarakat sekitar tambang di berbagai belahan Indonesia," kata Diki.
Menurutnya, persidangan uji materi ini akan dimulai pada 9 Agustus 2021 mendatang. Ia mengatakan, setidaknya terdapat empat alasan pengajuan uji materi itu, yakni:
1. Sentralisasi penguasaan mineral dan batu bara yang menyebabkan akses masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dan mengontrol penguasaan pertambangan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat menjadi lebih sulit.
2. Perpanjangan otomatis Kontrak Karya dan PKP2B mengabaikan proses evaluasi dan menghilangkan pastisipasi masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.
3. Tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk wilayah pertambangan yang akan menganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sudah terlampaui ditakutkan akan berdampak pada bencana alam akibat eksploitasi berlebihan.
4. Pasal kriminalisasi masyarakat yang merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan yang berpotensi pasal karet untuk menbungkam perjuangan masyarakat di sekitar tambang yang terampas ruang hidupnya. (*/SS)