BEBERAPA hari lalu (19/5/2023), dalam sebuah pembicaraan santai usai rapat kerja di Gedung Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Jakarta, seorang pengurus teras dalam organisasi serumpun tersebut memanggil saya dari ujung mejanya. “Saya sebenarnya tidak sepakat dengan pembicaraan rapat tadi soal tidak perlunya Perti terlibat dalam politik. Menurut saya, sebagai organisasi Islam, Perti perlu berpolitik. Karena Islam itu tidak bisa lepas dari politik,” ucapnya memulai pembicaraan.
Saya tertegun, karena sejatinya rapat yang dimaksudkan tadi tidak berbicara secara spesifik tentang politik. Kecuali selingan. Itu pun dalam dua hal. Pertama, soal perlunya Perti memperbaiki cara komunikasi mereka dengan berbagai unsur dan elemen pemerintah. Kedua, menyikapi tahun politik 2024, Perti tidak perlu menyatakan dukung-mendukung pada salah satu dari calon presiden yang berkontestasi.
Selingan pertama adalah bagian kalimat yang saya sampaikan dalam rangka menjawab titik temu program yang akan disusun organisasi, dengan peran pemerintah yang tidak dapat dilepaskan darinya. Selingan kedua disampaikan salah seorang pengurus lain, yang tampaknya terpancing dengan kalimat-kalimat yang saya sampaikan tentang perlunya organisasi serumpun Perti menjawab klaim intoleransi yang sering disematkan oleh berbagai pihak pada beberapa daerah yang menjadi basis jamaahnya. Entah karena kelatahan, atau apa, respon yang diberikan bertaut-tautan dengan beberapa nama yang belakangan sering terdengar di media massa sebagai calon presiden pada pemilu mendatang.
Pengurus teras tadi tampaknya gelisah dengan tanggapan yang menjadi selingan kedua. Ia seolah meminta sokongan saya, yang bukan siapa-siapa ini, untuk turut tegas menyikapi hubungan Perti dengan politik.
“Ini yang saya sayangkan dari buya-buya,” tambahnya dengan menyebut nama salah seorang yang menjadi motor organisasi. “Tidak tegas memberi dukungan politik.” Padahal, jelasnya lagi, banyak pengurus yang menjadi calon legislatif tahun ini. Ia juga membandingkan dengan beberapa kasus pesantren di daerah tertentu yang terbuka memberikan dukungan untuk pemimpin mereka yang terlibat aktif dalam politik praktis.
Seorang pengurus lain lagi yang kebetulan masih bertahan setelah rapat dan mendengar obrolan kami turut menimpali. “Sepakat, Buya,” katanya pada pengurus teras. “Perti perlu aktif berpolitik. Paling tidak dengan sosialisasi ke pesantren-pesantren yang santrinya banyak menjadi pemilih pemula. Menjadi pendidikan politik untuk mereka. Kan (sosialisasi) juga bisa untuk meningkatkan partisipasi pemilih,” terangnya lagi.
Mendengar tanggapan yang terakhir saya tertawa. Ia adalah calon legislatif yang telah terdaftar untuk berebut masuk ke Senayan periode depan. “Pintar sekali olah argumen,” saya membatin.
Menyambut kegelisahan pengurus teras tadi, dengan merujuk perpecahan Perti pada tahun1970-an, saya menjawab, “Mungkin karena Perti punya trauma politik.” Kalimat itu pun mengunci obrolan kami tentang hal ini.
Belakangan, sepulang dari rapat terbatas tersebut, saya berpikir lagi. “Jika benar ada trauma, kenapa jamak pengurus masih getol bermain api? Apa jangan-jangan, politik-lah sejatinya yang menjadi ruh kehidupan organisasi serumpun ini? Jika iya, apa khitah politik yang menjadi acuan gerakan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berseliweran di kepala.
Idealisme Islam Sunni ala Perti
Di antara faktor yang menambah kesulitan dalam pembicaraan politik Perti adalah minimnya literatur yang mengulas hal ini secara mendalam. Ini cukup menyedihkan sebenarnya jika dibandingkan dengan geliat dan gairah yang ditunjukkan para punggawanya di hampir setiap sudut obrolan. Kekurangan literatur politik ini selanjutnya juga berkonsekuensi pada terbatasnya alat yang dapat kita gunakan dalam mengevaluasi setiap praktik politik yang ditunjukkan organisasi yang lahir di Sumatera Barat ini.
Di antara sedikit literatur yang dapat dipegang komitmen analisanya adalah studi sejarah yang dilakukan Alaidin Koto. Nama ini cukup populer di kalangan warga Tarbiyah Islamiyah. Sarjana lain yang mengangkat topik serupa dalam studi mereka seperti Nelmawani (2013) dan Maimunah (2015) juga menjadikan Alaidin sebagai salah satu titian dalam menarik kesimpulan, baik dalam membaca politik Perti masa lalu maupun mengomentari praktik politik pengurus organisasi ini belakangan.
Berangkat dari Alaidin pula dapat diposisikan bahwa Sirajuddin Abbas adalah figur terpenting dalam tema ini. Melebihi ulama-ulama senior yang mendirikan madrasah dan lembaga pendidikan seantero Sumatera waktu itu, Sirajuddin Abbas telah memberikan kontribusi besar dalam preferensi politik Tarbiyah Islamiyah. Ya, dengan tidak melupakan Konferensi Perti tahun 1930 yang mengamanatkan perlunya upaya bersama dalam mengintegrasikan lembaga Tarbiyah Islamiyah dan mempertahankan ajaran Islam, secara singkat dapat disebutkan Perti adalah sebuah gerakan politik.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Sirajuddin Abbas yang didaulat sebagai Ketua PB Perti pada 1935 menjalankan “agenda politik” tersebut? Inilah kiranya yang patut dianalisa guna mendapatkan pola strategis yang diperlukan sebagai bahan refleksi politik organisasi ini. Melalui biografi Sirajuddin Abbas (Alaidin Koto, 2016) diketahui, setidaknya terdapat beberapa prinsip yang terus dipegang Buya Siraj, panggilannya, saat menakhodai Perti.
Prinsip tersebut adalah, 1) Menjadikan Islam sebagai acuan dasar; 2) Meletakkan kepentingan bangsa di atas ragam ideologi politik; 3) Menolak anarkisme; dan 4) Adaptif dengan kemajuan zaman. Empat kredo tersebut saya tarik secara acak saat menyimak sikap yang ditunjukkan Buya Siraj atas berbagai peristiwa politik yang berkaitan langsung dengan organisasi yang dipimpinnya.
Menjadikan Islam sebagai acuan dasar berarti tidak memisahkan Islam dengan setiap agenda politik. Narasi yang paling kentara dalam hal ini adalah konsepsi ad-Daulah al-Jumhuriyah al-Islamiyah al-Indonesia yang digagas tahun 1953 hingga 1955. Konsepsi tersebut mengulas bangunan negara Indonesia yang Islami sebagai tawaran Perti untuk kehidupan berbangsa saat itu. Ia menolak dikotomi negara dan agama. Dan layaknya pemikir Sunni lainnya, Ia juga meyakini bahwa tugas (politik) manusia adalah menjalankan perintah dan nilai esensial Islam.
Namun visi menghadirkan Negara Indonesia yang Islami tersebut tidak dijalankan dengan kaku. Perti meletakkan kepentingan bangsa sebagai yang utama. Alih-alih memaksakan Islamisme, Buya Siraj lebih memilih untuk komitmen pada keutuhan bangsa dengan mendukung konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan berada dalam barisan Soekarno sebagai pemerintah yang sah. Di tengah gejolak periode itu, demi kepentingan yang lebih besar, pilihan ini menunjukkan bahwa ego sektoral dalam politik harus ditinggalkan. Politik Islam pun mesti dijalankan dengan luwes.
Demikian menjadi komitmen Perti. Bahkan lebih dari itu, meski mendukung ideologi Islam, Buya Siraj tidak ingin Perti menjalankan siasat anarkisme. Strategi yang acap menjebak gerakan Islam,
Penolakannya atas anarkisme ditunjukkan pada ketidaksepakatannya pada gerakan Negara Islam Indonesia yang dikomandoi Kartosoewirjo. Buya Siraj dengan tegas menyampaikan bahwa gerakan tersebut adalah tindakan makar yang merugikan umat Islam itu sendiri. Dari penolakan tersebut dapat dipahami, selain tidak ada dikotomi Islam dan negara, juga tidak ada negasi antara keislaman dan kebangsaan, yang berkarakter demokratis dan pluralis.
Watak yang keras dengan prinsip sekaligus lentur dalam menyikapi situasi menjadi sepasang sepatu untuk menapaki jalan politik. Ini juga yang ditampakkan Buya Siraj saat mendorong Perti untuk dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman. Dukungan agar generasi Tarbiyah Islamiyah cakap dengan teknologi adalah salah satu yang menjadi cerminan. Dengan menguasai teknologi, ia meyakini gerakan akan semakin kompeten untuk mempertahankan ajaran Islam.
Prinsip-prinsip tersebut hanya dapat diraih dari pendidikan Islam yang kuat sekaligus analisa sosial yang tajam. Keduanya menjadi instrumen yang dibutuhkan. Pendidikan Islam yang dimaksud di sini pun tidak lain adalah penggemblengan pada sumber-sumber primer ajaran Islam-Sunni. Dalam hal ini, madrasah dan pesantren Tarbiyah Islamiyah memiliki peran penting. Metode pengajaran yang menekankan penguasaan pada matan diperlukan untuk mengakses sumber-sumber tersebut, dengan pemahaman yang terkandung di dalamnya.
Namun itu saja belum cukup. Apalagi kurang darinya, dengan embel-embel Islam yang ditampakkan dengan simbol atau jubah semata. Pendidikan Islam yang kuat mesti ditambah dengan kemampuan untuk menyelidiki perkembangan kemasyarakatan. Pada aspek yang disebutkan terakhir, alumnus madrasah atau pendidikan Tarbiyah Islamiyah mesti menambah tempaan pada ragam keterampilan yang dibutuhkan masyarakat, bahkan pada disiplin “yang dianggap” tidak berkaitan langsung dengan pendidikan Islam, seperti kesehatan, kelautan, pertanian, energi, biologi, dan lainnya.
Sampai di sini barangkali ada yang mengira bahwa haluan ini hampir mustahil digapai. Cenderung idealistik dan utopis. Namun perkiraan tersebut kembali berpulang pada bagaimana politik tersebut dibicarakan. Dan justru pada poin inilah ujian sebenarnya. Jika politik dimaknai sebagai jalur meraih kemaslahatan, sebagai amanat kekhalifahan manusia di bumi, maka sebagaimana aktivitas bermartabat lainnya; inilah tanggung jawab yang mesti ditunaikan.
Jika sebaliknya, pembicaraan politik masih pada level partisan. Tidak memiliki kompas Keislaman dan etika Kebangsaan, maka sudah tentu tugas-tugas tersebut akan memberatkan dan menambah pusing kepala.
Meskipun begitu, pemaknaan pertama tadi bukanlah barang baru dalam sejarah. Dalam lektur politik, demikian dikenal sebagai praksis dari para intelektual organik. Mereka berjuang untuk mengejawantahkan nilai-nilai, terlibat aktif untuk mengangkat harkat kehidupan manusia, dan berkorban untuk generasi setelahnya. Perti tidak terkecuali dalam narasi ini.
Problem Politik (Perti) Saat ini
Kegelisahan yang disampaikan pengurus teras sebagaimana diceritakan di awal tadi hanyalah percikan kecil saja dari problem yang lebih mendasar, tidak hanya dalam tubuh organisasi keagamaan yang akan berusia se-abad tersebut, tapi lebih luas pada kondisi perpolitikan Indonesia belakangan ini.
Problem mendasar tersebut adalah macetnya gagasan keislaman yang diusung sebagai jawaban persoalan masyarakat kontemporer. Bahkan lebih buruk, Islam “dipenjara” dengan pernak-pernik, lambang, dan slogan-slogan parsial. Sebab itu, tidak mengherankan, sebagian intelektual-politikus yang membawa ‘Islam’ sebagai marketing politiknya, acap gagap ketika membicarakan keluwesan Islam dalam kebijakan publik. Sebagian lain, cenderung ngotot dengan Islamisme, dengan mengasingkan atau menghubungkan secara serampangan ajaran Islam itu sendiri.
Bagi warga Tarbiyah Islamiyah kemacetan tersebut berefek ganda. Saat hubungan madrasah, pesantren Tarbiyah Islamiyah dan organisasi serumpun masih tengah diupayakan kembali rekat setelah islah, kehadiran kontestan pemilu yang membawa embel Tarbiyah Islamiyah membuat jamaah bertanya-tanya akan komitmen mereka pada pengarusutamaan khazanah yang menjadi warisan para ulama. Belum lagi sebagian dari mereka, seperti jamak calon kontestan lainnya, muncul tiba-tiba. Tidak jelas kemampuan mereka untuk mengakses sumber-sumber primer Islam sebagaimana yang disyaratkan dalam politik Islam. Penguasaan mereka pada disiplin yang dibutuhkan masyarakat pun terlihat buram.
Kemacetan tersebut pula yang membuat warga gundah terkait langkah yang akan diambil Perti. Pada Milad ke 95, 5 Mei 2023 lalu, Ketua Umum PB Perti, Syarfi Hutauruk, mengatakan bahwa lembaganya akan menyebar kader-kader terbaiknya, untuk turut bertarung dalam pemilu 2024 mendatang. Dengan tegas, Ia mengatakan,
“Perti independen secara kelembagaan. Tidak ikut lagi politik praktis. Independen. Tapi memberikan kader-kader terbaiknya untuk dicalonkan menjadi anggota DPRD tingkat II, Provinsi, dan DPR RI. Harusnya anggota Perti mengisi lembaga-lembaga-lembaga yang sah di negara ini.”
Pernyataan tersebut menerbitkan pertanyaan, Bagaimana Perti secara kelembagaan mengidentifikasi kader “terbaik” tersebut? dan Bagaimana Perti menjaga komitmen etik para kader dalam menjaga amanah tersebut, baik untuk lembaga maupun masyarakat yang mengenalinya sebagai sisipan Perti?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut demikian penting mengingat belum ada bukti koheren yang menunjukkan manfaat lebih besar yang akan diterima Perti secara organisasi keagamaan, kecuali untuk eksistensi kader itu sendiri, saat berhasil meraih jabatan politik yang ditargetkannya.
Sebagaimana disebutkan dalam riset Hardi Putrawirman (2015), hubungan organisasi keagamaan seperti Perti dengan politik praktis telah menerbitkan citra negatif untuk organisasi, namun menguntungkan bagi para elitnya. Negatif, karena organisasi tidak lagi dipandang otonom. Menguntungkan bagi para kader, karena jabatan politik yang diraih telah memperkuat posisi mereka dalam tubuh organisasi yang bersangkutan. Ini cukup ironi bagi organisasi atau siapa saja yang menyatakan independen, tapi acap terpukau dengan jabatan-jabatan politis, baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Pada akhirnya, kegelisahan kecil yang disampaikan di awal tadi telah mendesak untuk jawaban yang lebih besar. Bagi organisasi serumpun Perti, tanggung jawab untuk melanjutkan etika politik dalam garisan Sunni sebagaimana yang diwasiatkan berada di depan mata. Begitu juga bagi masyarakat secara umum, gambaran ini sekaligus menjadi refleksi bersama atas kondisi politik Islam kontemporer, dengan tantangan-tantangan yang belum terselesaikan. Dengan tanggung jawab dalam menuntaskan tantangan yang ada, tidak menutup kemungkinan babak baru dalam kesejarahan politik Islam di Indonesia akan terbuka. [*]
Robby Kurniawan adalah Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang, Jamaah Perti.