Langgam.id - Ranah Performing Arts Company (Ranah PAC), grup Teater asal Padang tampil membawakan ‘Sandiwara Pekaba’ dalam acara Ekskavasi Swarnabumi #1 di Medan, Sumatra Utara, Sabtu (23/3/2019).
Ekskavasi Swarnabumi #1 yang digelar di Museum Situs Kotta Cina No. 65, Kelurahan Paya Pasir, Medan Marelan itu berlangsung pada 22-24 Maret 2019.
Usai tampil, pertunjukan yang sudah pernah digelar di Padang, Pekanbaru, Solo dan Singapura itu dapat banyak pertanyaan dalam diskusi yang dipimpin Direktur Festival Ekskavasi Swarnabhumi #1 Agus Susilo.
Umumnya pertanyaan merujuk pada proses dan maksud dari pertunjukan. Marlina Tarigan misalnya, ia mengaku sangat dekat dengan beberapa bunyi yang dihasilkan pertunjukan ini.
Akan tetapi, ia agak sulit mencari jalan cerita. “Saya menikmati tapai tidak mengerti (jalan ceritanya),” kata Marlina, sebagaimana dirilis siaran pers Ranah PAC.
Sutradara pertunjukan, S Metron Masdison menjelaskan, ia memilih jalur lain dalam pertunjukannya. Bukan teater konvensional seperti yang mungkin banyak disaksikan penonton di Medan. Ia menyebutnya ‘teater bunyi’. Di mana, bahasa mau dikembalikan dalam bentuknya yang paling purba, bebunyian.
“Saya ingin, penonton pernah mendengar bunyi yang sama di masa lalu dengan pertunjukan dan bunyi yang akan didengarnya di masa depan. Satu denting saja cukup. Ketika penonton mendengar bunyi yang sama dengan pertunjukan ini, lima atau lima belas tahun kemudian,” jelasnya.
Metron menjelaskan, ia memilih jalur ini karena ingin bereksperimen. Tradisi yang dimiliki Minangkabau sangat kaya bunyi. Tidak hanya pada musik tapi petatah-petitih. “Jika didengarkan secara seksama, petatah-petitih itu menghasilkan bunyi,” alasannya.
Karena itu, ia ingin menjadikannya model pementasan. Pertunjukan ini sudah diproses sejak 2014.
Pertanyaan lain bermunculan selepas itu. Agus menutup sesi ini dan meminta penonton jika ingin masih meminta penjelasan, langsung saja ditanyakan ke personel Ranah PAC.
Sebelum itu, sastrawan dan dramawan Medan, Thompson Hs menyatakan bahwa sutradara sudah menyatakan inti pertunjukannya, post-tradisi.
“Satu jawabannya sudah memudahkan dan langsung dari Metron. Mereka tidak mau mengikuti ketunggalan dalam persoalan Teater Indonesia, yang mungkin dari modernitasnya sudah melangkah kepada posmo-posmoan. Namun garapan mereka boleh disebut post-tradisi,’ ungkap sutradara ‘Opera Batak’ itu.
Penonton langsung menyerbu ke tengah pentas usai itu. Ada yang mewawancarai sutradara atau pemain.
Saat ditanya tentang proses, Syahrul Huda, salah seorang Pekaba mengatakan, ia sudah ikut Ranah PAC selama 7 tahun. Tapi sempat berhenti untuk skripsi. Ia melanjutkan lagi latihan usai wisuda.
Sementara Afdal Zikri, Pekaba yang lain mengaku, menikmati proses di Ranah PAC walau mesti belajar melangkah silek (silat). “Terutama pada langkah. Belajarnya lama sekali. Tapi karena itu (langkah silat) jadi syarat utama, saya menjalaninya sepenuh hati,” ujar mahasiswa STKIP Padang ini.
Esok harinya (24/3), baca puisi tingkat umum berlanjut. Seperti biasa, pada sore, Teater Selembayung tampil membawakan “Situs”. Naskah ini sejak 2016 diproses. Intinya mengenai kehancuran Candi Muara Takus.
Sebelumnya pada Jumat sore (22/3), Ekskavasi Swarnabhumi #1 dibuka dengan diskusi di Museum Situs Kotta Cina No. 65, Kelurahan Paya Pasir, Medan Marelan, Medan Sumatra Utara. Temanya ‘Tentang Situs Kotta Cinna’ dari berbagai perspektif, misal dari sampah dan hutan Mangrove.
Tampil sebagai pembicara adalah Phil. Ichwan Azhari, penggagas Museum Kotta Cinna serta Repelit Wahyu Oetomo dan Wibi Nugroho.
Tampil sore itu Teater Rumah Mata dengan “Repro-Diksi Tanda: Kisah-kisah Tembikar”. Agus Susilo bertindak sebagai sutradara dan pemain. Ia mengajak tiga dara kecil dari lingkungan Situs Kotta Cinna. “Agar mereka juga belajar tentang lingkungan mereka sejak dini,” ujarnya. (*/HM)