Hari ini dunia memperingati Hari Bumi ke-50, tepatnya 22 April 2020. Hari Bumi Internasional atau International Mother Earth Day sudah diperingati sejak 22 April 1970.
Peringatan Hari Bumi kali ini dirasakan berbeda di seluruh dunia. Musababnya, Virus Corona atau Covid-19 yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi pada Kamis (12/3/2020).
Pandemi ini benar-benar mengubah perilaku banyak negara terhadap bumi dan lingkungan hidup. Penerapan lockdown diberbagai negara serta penerapan PSBB (Pembatas Sosial Berskala Besar) di Indonesia menjadi bukti sangat seriusnya negara-negara menghadapi pandemi ini.
Sejak Covid-19 merebak, bumi dan lingkungan hidup mendapat dampak positif. Berdasarkan beberapa sumber, beredar foto-foto sungai Venesia yang makin jernih setelah Italia lockdown. Kualitas udara di Tiongkok juga terpantau membaik. Dan setelah 28 tahun, akhirnya kualitas udara di Jakarta membaik karena penerapan PSBB.
Organisasi lingkungan internasional Greenpeace menyebut Covid-19 memang memberi dampak negatif kepada perdagangan dan ekonomi. Namun, polusi dari industri berkurang, dan kualitas lingkungan hidup meningkat.
Meningkatnya kualitas lingkungan hidup akhir-akhir ini, setelah aktivitas industri terhenti akibat lockdown dan PSBB turut membuktikan bahwa manusia dan ekonomi punya andil besar dalam penyebaran polusi.
Namun kita juga tidak boleh mengabaikan krisis pangan dunia di tengah pandemi Covid-19. Selain kesehatan, pangan menjadi salah satu persoalan utama. Tidak hanya ketika Pandemi Virus Corona Covid-19 ini berlangsung, tetapi juga keberlangsungan perekonomian setelah pandemi berakhir.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) pada Selasa (14/04/2020) mengingatkan, pandemi Covid-19 ini bisa menyebabkan krisis pangan dunia. Dampak dari wabah ini telah merusak berbagai tatanan mulai dari sosial, kesehatan, dan ekonomi, hampir sebagian besar negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Perenungan besar harus dilakukan negara-negara di dunia. Kondisi bumi saat ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan perhatian lebih dari penghuninya.
Pertanyaan besar harus disampaikan kepada seluruh negara-neraga di dunia, apakah masih akan tetap melakukan eksploitasi bumi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dunia? Atau akan berubah dan berkaca dari pandemi Covid-19 untuk memperbaharui cara memenuhi kebutuhan? Maka mari kita belajar dari masyarakat adat Mentawai.
Tinungglu
Ratusan akademisi lingkungan dan pembangunan Belanda merilis manifesto (pernyataan sikap) untuk perencanaan pembangunan di masa depan pasca pandemi Covid-19, yang mereka sebut dunia “post-neoliberal development”.
Manifesto yang diterbitkan di surat kabar nasional Belanda itu ditandatangani 170 akademisi yang berbasis di 5 perguruan tingi di Belanda.
Dalam 5 manifesto tersebut, ada hal menarik dan sebenarnya sudah diterapkan sejak lama oleh masyarakat adat Mentawai. Yakni transformasi pertanian menuju pertanian yang dapat diperbarui berdasarkan perlindungan kepada keragaman hayati, produksi pangan yang bersifat lokal dan berkelanjutan, serta sistem pertanian yang adil memperhatikan kondisi dan upah pekerja.
Lalu, mengurangi konsumsi dan lawatan secara drastis, dari bermewah-mewah. Dan mubazir secara konsumsi menuju lawatan yang sifatnya penting (berorientasi pada publik) dan mengutamakan prinsip berkelanjutan.
Masyarakat adat Mentawai dan hutannya telah lama menerapkan sistem yang baru direkomendasikan ratusan akademisi Belanda tersebut. Konsep yang diterapkan masyarakat adat Mentawai adalah Tinungglu. Representasi dari menjaga keseimbangan alam.
Tinungglu secara konsep adalah perladangan baru atau lahan-lahan yang masih dikelola secara intensif oleh pemiliknya. Orang Mentawai menganut sistem perladangan berpindah yang berdasarkan kearifan lokal mereka yang diyakini sebagi cara untuk menjaga siklus kesuburan tanah secara alamiah.
Secara tradisional masyarakat adat Mentawai memanfaatkan lingkungannya sebagai tempat melakukan aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas tersebut mengubah lingkungan alami, seperti hutan menjadi lingkungan yang lebih khas.
Mereka mengklasifikasi lingkungan di sekitarnya dalam berbentuk penataan lahan. Kekhasan setiap lingkungan tersebut menjadi tanda atau identitas aktivitas masyarakat adat terhadap lingkungan dan pengaruh yang ditimbulkannya.
Menurut Reimar Schefold dalam buku “Mainan Para Roh”, yang menggembirakan masih tetap ada kesadaran bahwa corak hidup tradisional yang sudah ada sejak ribuan tahun dalam keserasian dengan lingkungan tidak mesti merupakan hambatan bagi pembangunan. Melainkan sebaliknya, harus dimasukkan ke dalam semua proyek pelestarian, sebagai bagian integral dari situasi ekologis.
Pemanfaatan Mentawai secara komersial takkan mungkin bisa sepenuhnya dihindari. Perlu dicari jalan untuk membukakan kemungkinan-kemungkinan baru bagi perekonomian.
Hutan menjadi sumber daya kolektif bagi masyarakat Mentawai di Siberut. Tidak hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai identitas diri dalam Uma (suku) atau kelompok kekerabatan yang dibangun dalam sistem dan nilai-nilai budaya sejak ribuan tahun yang lalu.
Pengelolaan hutan, khususnya hutan dengan sumber daya kolektif sebagai sumber perekonomian, sangat erat kaitannya dengan hak tenurial. Istilah hak tenurial berarti sekumpulan hak yang mencakup hak mengakses dan hak pakai untuk mengelola, eksklusif dan mengalihkan.
Akses merujuk pada hak untuk memasuki kawasan tertentu. Pemakaian atau pemanfaatan, berarti hak untuk memperoleh sumber daya seperti kayu, kayu bakar atau hasil hutan lainnya, dan mengambilnya dari hutan.
Menjadi alternatif pembangunan ekonomi secara lestari dan berkelanjutan, tanpa membawa ancaman bagi hilangnya identitas kebudayaan tradisional orang Mentawai.
Memahami Tinungglu memerlukan pemahaman tentang sejarah dan hubungan kekuasaan. Yang dapat dipandang dari sudut pandang yang berbeda, yaitu terhadap hak kepemilikan yang tumpang tindih dan yang terkadang juga mendatangkan konflik.
Wacana penguatan kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola hutan menjadi penting untuk menjaga kelestarian hutan, dan secara hukum dapat menjadi pengakuan resmi atas hak-hak masyarakat adat terhadap sumber daya alam atas wilayah adatnya.
Masyarakat adat Mentawai sangat paham bahwa hidup selaras dengan alam adalah, cara mereka terus bertahan hidup, agar mereka terus terhindar dari krisis pangan dan meminimalisir terjadinya krisis iklim
Legalitas Masyarakat Hukum Adat
Kabupaten Kepulauan Mentawai memang saat ini menajadi satu-satunya kabupaten tertinggal di Sumbar. Namun berbicara soal isu krisis pangan dan ketahanan pangan banyak kabupaten dan kota mestinya belajar dari Mentawai. Khususnya belajar ketahanan pangan dari masyarakat adat Mentawai.
Tidak tergantung seratus persen terhadap beras sebagai kebutuhan pokok, menjadi salah satu kunci masyarakat adat Mentawai disebut akan terhindar dari krisis pangan yang akan mendera dunia. Namun tetap melestarikan pangan-pangan pokok lokal, sebagai contoh sagu yang tumbuh subur di Mentawai.
Yang menjadi persoalan bagi masyarakat adat saat ini adalah, minimnya legalitas dan pengakuan negara terhadap masyarakat adat.
Apresiasi tertinggi harus disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 11 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Serta Peraturan Bupati (Perbup) No. 12 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Lewat kedua peraturan tersebut, saat ini Mentawai sudah mengakui 4 Uma/Suku secara legalitas sebagai kesatuan masyarakat adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pengakuan ini sangat penting untuk ditiru kabupaten dan kota lain di Sumatera Barat dan Indonesia secara nasional, maupun negara-negara di dunia.
Dengan memberikan otonomi kepada masyarakat Adat yang tersebar di seluruh dunia, dan mempelajari kearifan lokal mereka dalam merwat hutan dan bumi, maka dampak yang kita rasakan ditengah pandemi Covid-19, seperti krisis iklim dan krisis pangan dapat diminimalisir seperti yang disarankan 170 akademisi Belanda.
Surya Purnama (Legal Officer Yayasan Citra Mandiri Mentawai)