Hedonisme Versus Kesederhanaan Founding Fathers

Hedonisme Versus Kesederhanaan Founding Fathers

Dosen UIN Imam Bonjol Padang Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg. (Foto: Dok. Pribadi)

PERILAKU hedonis yang dipertontonkan oknum pejabat pemerintah, kembali menuai sorotan publik. Wapres Ma’ruf Amin pun turun gunung mengingatkan bahaya gaya hidup mewah dan mendukung langkah cepat dan tegas Sri Mulyani pasca mencuatnya kasus pejabat tinggi di kementerian yang dipimpinnya. Menurut Wapres, perilaku tersebut dapat menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah (tempo.co/24/2/2023).

Oktober lalu, Presiden Joko Widodo juga memperingatkan hal yang sama di depan ratusan perwira Polri di Istana. Kepala Negara menegaskan agar lifestyle tidak menimbulkan kecemburuan masyarakat, sehingga memicu letupan sosial. Menurutnya, justru sikap sense of crisis dan respon cepat dalam menanggapi keluhan masyarakatlah yang mesti dimiliki di tengah kondisi perekonomian sulit saat ini (Kompas.com/29/10/2022).

Pergeseran Makna Hedonisme

Perilaku hedonis dinisbatkan kepada Mazhab Hedonisme-nya Aristippos (435 SM-335 SM), filosof kuno asal Kinere, Afrika Utara, teman sekaligus murid filosof Yunani terkemuka, Socrates (470 SM-399 SM). Mazhab Hedonisme berawal dari jawaban Aristippos atas pertanyaan Socrates tentang hal apa “yang terbaik” bagi manusia. Bagi Aristippos, “kesenangan” atau “hedone” merupakan yang terbaik. Lantaran itulah, sejak kecil manusia mencari “kesenangan”, dan akan terus menerus mencarinya. Epicuros (341 SM-270 SM) meneruskan paham ini, dan menganggap “hedone” sebagai kodrat alami. Ia memperluas cakupan hedone dengan aspek kesenangan rohani, dari hanya semata bersifat jasmani seperti yang dianut Aristippos.

Catatan terpenting dari diskursus hedonisme adalah terjadinya pergeseran makna yang sangat prinsipil dan fundamental dari yang semula dicetuskan pendirinya. Menurut Ismail (2019), awalnya hedonisme tidak identik dengan perilaku negatif seperti yang dimaknai sekarang; rakus, foya-foya, dan sejenisnya. Istilah ini sejatinya lebih sebagai deskripsi esensial kemanusiaan dalam konteks perbedaannya dari mahkhluk lain. Setiap individu tentu berhak mencapai kesenangan dan kenikmatan hidup, namun hedonisme mengantisipasi pencapaian yang berlebihan.

Secara prinsip terdapat tiga aspek keinginan manusia, yakni (1)  keinginan alamiah prioritas, seperti sandang, pangan, dan papan, (2) keinginan alamiah bukan prioritas, seperti barang mewah dan makanan lezat, (3) keinginan yang tidak penting, seperti hasrat mengejar kekayaan dan kemewahan hidup. Epicuros menegaskan, garis batas demarkasi hidup bahagia terletak pada kemampuan memenuhi kebutuhan alamiah semata. Sedangkan obsesi mengejar keinginan yang tidak vital berakibat kepuasan tanpa akhir, yang justru mencerabut individu dari ketenangan hidup. Padahal orientasi kenikmatan itu sendiri agar manusia terhindar dari kesulitan dan kesedihan (Rahmasari, 2022). Artinya, lifestyle foya-foya, boros, berlebihan, konsumtif, dan sejenisnya, hanyalah semata kesenangan semu yang justru tidak membahagiakan.

Natsir, Mobil Butut dan Kemeja Bertambal

Kesederhanaan para founding fathers, jauh berbeda dari gaya hidup mewah dan glamour yang dipertontonkan sebagian oknum pejabat hari ini. Tokoh-tokoh bangsa saat itu memiliki social sensitivity tinggi, rasa senasib sepenangggungan, sehingga tidak tega berpenampilan wah di tengah kondisi ekonomi sulit. Mohammad Natsir misalnya, kesederhanaan mantan perdana menteri (1950-1951) dan menteri penerangan (1946-1949) ini tercatat dengan tinta emas. Keteladanan beliau sulit ditemukan padanannya hingga saat ini. Putera terbaik kelahiran Alahan Panjang Sumatera Barat (1908) itu melegenda dengan mobil butut dan kemeja bertambal. Jabatan elit yang diemban tidak merubah kesederhanaan yang telah menjadi jati dirinya.

George McTurnan Kahin, Maha Guru Cornell University, kagum bercampur kaget ketika bertemu Natsir, Menteri Penerangan RI saat itu.  "Saya menemukan seorang yang sederhana dan rendah hati. Pakaiannya tidak mencerminkan sebagai seorang menteri dari suatu pemerintahan. Kemejanya bertambalan," tulis Kahin (1978). Tokoh besar yang disebut Kahin “the last giants among the Indonesia's nationalist and revolutionary political leaders”itu hanya memiliki dua kemeja yang juga sudah kusam. Agar tampak layak sebagai menteri, para stafnya urunan membelikan pakaian baru. Jauh setelah itupun Natsir tetap tak berubah. Yusril Ihza Mahendra, orang dekat Natsir bersaksi bahwa di Era Orde Baru, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu cuma memakai baju putih dengan noda tinta di kantongnya, atau kemeja batik biru (Tempo, 2017).

Meski menjadi pejabat tinggi negara, Natsir hanya mengendarai mobil pribadi sederhana dan kusam bermerk DeSoto. Antoni (2008) mengisahkan penolakan halus Natsir atas mobil mewah Chevrolet Impala yang disumbangkan seorang dermawan kaya. Baginya  mobil tua yang ada sudah lebih dari cukup. Lebih dari itu, ketika menyerahkan kembali mandat perdana menteri kepada Presiden Soekarno, Natsir meninggalkan mobil dinas dan pulang bersepeda, berboncengan dengan supirnya.  

Prinsip hidup sederhana yang dilakoni Natsir, tentu merupakan refleksi dari empati terhadap kondisi riil bangsa. Sikap seperti ini lahir dari kesadaran penuh terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain sebangsa yang sangat perlu ditenggang. Meski fasilitas jabatan dan kemudahan berhak dinikmati, tetapi tidak mampu menggeser jati dirinya sebagai negarawan sejati. Pribadi berkarakter dengan kesederhanaan yang lahir dari keikhlasan, empati, solidaritas, dan ekspresi religiusitas yang mendalam seperti itu, tampak semakin langka ditemukan. Meski demikian, bangsa sebesar ini menjadi terlalu kerdil jika gagal melahirkan aparatur yang komit mencintai bangsanya, jauh di atas kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. (*)

Faisal Zaini Dahlan adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

Gamawan Fauzi
Semua Ada Akhirnya
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Demi Kemajuan Sumatra Barat, Kita Lebih Butuh Pulang Kampung daripada Merantau
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Reformasi (Bagian I): Retrospeksi
Berburu Takjil Antaragama
Berburu Takjil Antaragama
Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Mahyeldi Ansharullah mengharapkan agar Bagindo Dahlan Abdoellah segera dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Gubernur Sumbar Harap Bagindo Dahlan Abdoellah Jadi Pahlawan Nasional, Ini Alasannya
Gosip Online
Gosip Online