Hasil Riset: Fenomena Rent-Seeking Pada Tambang Emas Ilegal di Sumbar Meningkat Jelang Pilkada

Sebanyak 11 orang dilaporkan meninggal dan 25 orang lainnya masih tertimbun di lokasi tambang emas di Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti,

Ilustrasi tambang ilegal di Pasbar. [foto: Ist]

Langgam.id - Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), tambang emas ilegal di wilayah Sumatera Barat kembali menjadi sorotan. Fenomena ini bukan hanya soal aktivitas tambang ilegal yang melanggar hukum, tetapi juga memperlihatkan hubungan erat antara kepentingan politik lokal dan praktik ekonomi ilegal. Sebuah studi yang dirilis oleh peneliti dari Universitas Andalas dan Universitas Taman Siswa pada Juli 2023 dalam jurnal Journal of Election and Leadership mengungkap jaringan kompleks rent-seeking yang melibatkan berbagai aktor. Terutama pada dua kabupaten yang menadi lokasi penelitian. Yakni Kabupaten Sijunjung dan Solok Selatan.

Rent-seeking atau perburuan rente dalam konteks ini merujuk pada upaya kelompok-kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya publik tanpa memberikan kontribusi produktif bagi masyarakat. Dalam tambang emas ilegal, praktik ini terlihat jelas pada bagaimana pengusaha tambang, pejabat pemerintah, dan aparat penegak hukum berkolaborasi demi kepentingan finansial pribadi atau kelompok, terutama menjelang Pilkada.

Penelitian tersebut berjudul "Rent Seeking in The Illegal Gold Mining Business Network in West Sumatra Province: A Case Study of Sijunjung and South Solok Regencies", yang digagas Dewi Anggraini, Muhammad Fajri, dan Syaifuddin Islami memberikan gambaran rinci tentang betapa rumitnya fenomena ini dan bagaimana keterlibatan aktor-aktor kunci di tingkat lokal menciptakan sistem ekonomi-politik yang sulit ditembus oleh hukum. Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah lemahnya pengawasan dari pemerintah terhadap aktivitas tambang ilegal, yang diiringi dengan keterlibatan aktor-aktor politik yang memiliki hubungan dengan industri tambang.

Pengawasan terhadap tambang emas ilegal di Sumatera Barat, khususnya di Sijunjung dan Solok Selatan, menjadi salah satu sorotan utama dalam penelitian ini. Pemerintah provinsi dan kabupaten sama-sama dinilai gagal dalam menegakkan hukum yang berlaku. Pemerintah kabupaten sering kali berdalih bahwa pengawasan tambang minerba bukan wewenang mereka, melainkan pemerintah provinsi. Sebaliknya, pemerintah provinsi mengklaim bahwa terbatasnya sumber daya manusia dan infrastruktur menjadi kendala utama dalam menjalankan pengawasan yang efektif.

Di Kabupaten Sijunjung, Mardison, Wali Nagari Silokek, dalam penelitian mengakui bahwa tambang ilegal memang ada di wilayahnya. Namun, dia merasa tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan aktivitas tersebut. "Pengawasan tambang ilegal seharusnya menjadi wewenang pemerintah provinsi, bukan kabupaten. Kami di tingkat nagari hanya bisa melakukan pengawasan terbatas, tidak bisa menindak," ujarnya. Pernyataan ini mencerminkan kelemahan struktural yang ada di berbagai tingkatan pemerintahan dalam menindak tambang ilegal.

Penelitian juga mencatat adanya tekanan sosial di tingkat lokal, terutama dari masyarakat yang bergantung pada tambang ilegal sebagai sumber pendapatan. Di Solok Selatan, tambang ilegal bukan hanya menjadi mata pencaharian, tetapi juga telah menjadi bagian dari struktur sosial-ekonomi lokal. Penutupan tambang ilegal berpotensi menimbulkan gejolak sosial, karena banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini, pemerintah berada dalam dilema antara menegakkan hukum dan menjaga stabilitas sosial di daerah.

Salah satu aspek menarik dari penelitian ini adalah temuan tentang keterlibatan aktor-aktor kunci dalam praktik rent-seeking di tambang emas ilegal. Rent-seeking dalam konteks tambang ilegal merujuk pada upaya berbagai aktor, seperti pejabat pemerintah, aparat penegak hukum, dan pengusaha tambang, untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya publik—dalam hal ini emas—tanpa memberikan kontribusi produktif bagi masyarakat.

Penelitian ini menemukan bahwa di Sijunjung dan Solok Selatan, banyak pengusaha tambang yang memiliki koneksi dengan pejabat daerah dan oknum aparat keamanan. Koneksi ini memungkinkan mereka untuk beroperasi secara bebas dari tindakan hukum. Sebagai imbalan atas perlindungan ini, pengusaha tambang sering kali memberikan “setoran” atau gratifikasi kepada pihak-pihak yang melindungi operasi mereka. "Jaringan rent-seeking ini sangat kompleks dan melibatkan banyak aktor dengan kepentingan berbeda," kata para peneliti dalam hasil pembahasan.

Di Solok Selatan mereka contohkan, Ita, seorang pemilik tanah ulayat, memberikan kesaksian tentang bagaimana sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan pengusaha tambang berlangsung. Pemilik tanah yang tidak memiliki kapasitas finansial atau teknologi untuk melakukan aktivitas tambang biasanya bekerja sama dengan pemodal yang menyediakan alat berat seperti ekskavator. "Kami menerima bagian dari hasil tambang, sementara pemodal yang mengoperasikan alat berat mendapatkan sebagian besar keuntungan," kata Ita. Selain itu, Ita menyebutkan bahwa banyak pengusaha merasa aman karena adanya dukungan dari aparat setempat, yang diduga menerima imbalan finansial dari hasil tambang ilegal.

Fenomena serupa juga ditemukan di Kabupaten Dharmasraya, di mana masyarakat mencurigai adanya keterlibatan oknum pejabat daerah, termasuk anggota DPRD, dalam praktik tambang ilegal. Dalam penelitian ini, keterlibatan anggota DPRD menjadi perhatian khusus, mengingat mereka seharusnya berperan sebagai pengawas kebijakan publik, bukan malah terlibat dalam kegiatan ilegal. Hal ini memperlihatkan betapa kuatnya jaringan rent-seeking di sektor tambang ilegal, yang melibatkan aktor-aktor politik dengan kepentingan ekonomi.

Menjelang Pilkada, penelitian ini menemukan adanya lonjakan aktivitas di sektor tambang ilegal, yang kerap dikaitkan dengan upaya suksesi politik lokal. Banyak kandidat kepala daerah yang berusaha memperoleh sumber dana tambahan dari tambang emas ilegal untuk membiayai kampanye mereka. Dalam beberapa kasus, izin tambang atau toleransi terhadap aktivitas tambang ilegal diberikan sebagai imbalan atas dukungan politik atau finansial. Studi ini mencatat bahwa keterlibatan aktor-aktor politik dalam tambang emas ilegal semakin menguat menjelang Pilkada, karena dana kampanye sering kali berasal dari sumber-sumber ilegal seperti tambang emas tanpa izin.

Di Sijunjung, misalnya, kepala daerah yang sedang bersiap menghadapi Pilkada diduga memanfaatkan tambang emas ilegal untuk mendapatkan dana kampanye. Meskipun tidak ada bukti langsung yang dapat menguatkan tuduhan ini, banyak pengamat politik lokal mencurigai bahwa praktik seperti ini sudah menjadi rahasia umum dalam politik lokal. Fenomena ini menggambarkan bagaimana kepentingan politik sering kali memperburuk masalah tambang ilegal, di mana penegakan hukum tidak berjalan karena adanya konflik kepentingan di kalangan pejabat daerah.

Selain itu, aktivitas tambang ilegal yang semakin marak menjelang Pilkada juga menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Banyak tambang beroperasi tanpa memperhatikan dampak ekologis, seperti pencemaran sungai dan kerusakan hutan. Namun, pemerintah daerah sering kali tutup mata terhadap aktivitas ini, terutama jika ada kepentingan politik yang terlibat.

Meskipun penelitian ini mengungkap indikasi kuat keterlibatan sejumlah oknum pejabat, aparat keamanan, dan pengusaha tambang dalam jaringan rent-seeking, asas praduga tak bersalah harus tetap dihormati. Setiap pihak yang disebut dalam penelitian ini belum tentu bersalah secara hukum hingga ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini lebih berfungsi sebagai dasar awal bagi masyarakat dan penegak hukum untuk memperhatikan fenomena ini dengan lebih serius dan mendalam.

Penegakan hukum terhadap tambang ilegal di Sumatera Barat sebenarnya telah beberapa kali dilakukan, namun tidak jarang upaya tersebut terhenti di tengah jalan. Peneliti mencatat bahwa dalam banyak kasus, pengusaha tambang yang ditangkap sering kali hanya mendapatkan sanksi ringan atau bahkan bebas dari tuntutan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas penegak hukum di daerah.

Tambang emas ilegal di Sijunjung dan Solok Selatan tidak hanya berdampak pada aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Penggunaan merkuri dalam proses penambangan emas telah menyebabkan pencemaran sungai yang menjadi sumber air bagi masyarakat setempat. Merkuri adalah bahan kimia berbahaya yang dapat merusak kesehatan manusia, menyebabkan berbagai penyakit, dan merusak ekosistem sungai.

Penelitian ini juga mencatat bahwa tambang emas ilegal di wilayah ini telah mengakibatkan deforestasi yang luas, dengan banyak hutan lindung yang ditebang untuk membuka lahan tambang. Kerusakan lingkungan ini memiliki dampak jangka panjang yang sangat merugikan, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil alam, seperti pertanian dan perikanan.

Di sisi sosial, tambang emas ilegal juga memicu konflik antar kelompok masyarakat, terutama antara masyarakat adat yang memiliki tanah ulayat dengan pengusaha tambang yang menginginkan akses ke tanah tersebut. Dalam beberapa kasus, masyarakat adat yang menolak kehadiran tambang ilegal justru menjadi korban intimidasi dari oknum-oknum yang berkepentingan. Penelitian ini mencatat bahwa konflik seperti ini sering kali diselesaikan dengan kekerasan, sementara penegak hukum cenderung lamban dalam bertindak.

Studi ini menegaskan bahwa tambang emas ilegal di Sijunjung dan Solok Selatan merupakan contoh nyata dari fenomena rent-seeking di sektor tambang di Indonesia. Jaringan rent-seeking yang melibatkan pengusaha tambang, pejabat pemerintah, dan aparat penegak hukum menunjukkan betapa kompleksnya masalah tambang ilegal di daerah ini. Penelitian ini juga menyoroti perlunya reformasi dalam pengawasan tambang dan penegakan hukum, terutama menjelang Pilkada, di mana kepentingan politik sering kali memperburuk masalah tambang ilegal.

Dampak negatif tambang ilegal, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi, menuntut perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah. Jika tidak segera diatasi, tambang emas ilegal berpotensi merusak sumber daya alam yang sangat berharga dan mengganggu stabilitas sosial di Sumatera Barat. (*/Yh)

Tag:

Baca Juga

Lurah di Padang Belajar ke Nagari Sungai Duo Dharmasraya
Lurah di Padang Belajar ke Nagari Sungai Duo Dharmasraya
Tim Minisoccer Semen Padang Juara 1 Breezon Minisoccer SKMA I Cup Padang
Tim Minisoccer Semen Padang Juara 1 Breezon Minisoccer SKMA I Cup Padang
100 Tahun AA Navis: Luncurkan Buku Antologi Cerpen 'Tentang Harimau Suamiku'
100 Tahun AA Navis: Luncurkan Buku Antologi Cerpen 'Tentang Harimau Suamiku'
Anggota DPR asal Sumatra Barat (Sumbar) Andre Rosiade bersama anggota DPRD Padang Rachmad Wijaya membagikan ribuan paket sembako kepada warga
Bagi Ribuan Paket Sembako, Andre Rosiade Komit Atasi Banjir di Rawang Padang
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid menjamu pengurus Masjid Nurur Rahman
Menteri Nusron Usulkan Adakan Kajian Bulanan di Masjid Kementerian ATR/BPN
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) meraih Penghargaan Bhumandala Rajata Perak dengan kategori Kementerian
Kementerian ATR/BPN Raih Penghargaan Rajata pada Bhumandala Award 2024