Harmonisasi Rasionalitas dan Kearifan Lokal dalam Manajemen Sistem Irigasi

Langgam.id - Dalam pandangan opini, pengaturan sistem irigasi di tingkat usaha tani telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Aturan tersebut menegaskan bahwa perkumpulan petani pengguna air bertanggung jawab atas pengelolaan sistem irigasi tersier. Ini berarti perkumpulan seperti Mitra Cai, Subak, HIPPA, Dharma Tirta, dan perkumpulan petani pengguna air tanah (P3AT) bertanggung jawab atas pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada tingkat tersebut.

Untuk mencapai hal ini, lembaga P3A yang kuat, mandiri, dan berdaya diperlukan agar pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dapat berlangsung dengan lancar dan berkelanjutan. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian serta mendukung peningkatan kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional. Intinya, pengelolaan irigasi harus berfokus pada prinsip keadilan.

Oleh karena itu, perlu ada mekanisme pengaturan untuk memastikan distribusi lahan yang tepat waktu, jumlah yang sesuai, dan biaya yang tepat. Meskipun teknologi infrastruktur irigasi sangat penting, keadilan tidak akan tercapai tanpa mempertimbangkan aspek musyawarah atau konsensus.

Menurut pandangan pemerintah, pengelolaan irigasi yang baik mencakup berbagai kegiatan yang meliputi semua aspek operasional dan pemeliharaan, mulai dari pembersihan, perbaikan, penyelesaian konflik terkait pembagian air, hingga perencanaan untuk musim tanam berikutnya.

Operasi irigasi dianggap baik jika jaringan irigasi berfungsi dengan baik, pembagian air optimal, dan memperhitungkan usia ekonomi sesuai rencana. Ada empat komponen utama yang dapat digunakan untuk menilai keandalan teknologi irigasi, yaitu peningkatan produksi dan produktivitas, keandalan sistem distribusi air, pembagian air yang adil dan merata, serta pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan kualitas fisik, teknologi, dan lingkungan. Kata kunci dalam konteks ini adalah keberlanjutan.

Keberlanjutan adalah upaya untuk memastikan bahwa sistem irigasi akan tetap berfungsi dan berkelanjutan. Ini tidak dapat tercapai tanpa adanya nilai budaya yang memberi jiwa dan semangat pada keberlanjutan tersebut.

Pentingnya keterlibatan petani dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi semakin diakui belakangan ini. Sejarah menunjukkan bahwa petani beririgasi di Indonesia telah menggunakan pendekatan teknologi tradisional dan partisipatif selama berabad-abad. Contoh budaya petani beririgasi ini dapat ditemukan dalam Subak di Bali, Tudang Sipulung di Sulawesi Selatan, Kapalo Banda di Sumatera Barat, dan lainnya, yang masih lestari hingga kini.

Di Sumatera Barat, pengelolaan irigasi dalam konteks keberlanjutan adalah bagian dari peradaban lama yang didasarkan pada kearifan lokal. Banyak daerah masih memelihara kearifan tersebut dalam urusan pertanian. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di Jorong Situgar Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, dan Nagari Sabu, Kecamatan Batipuh. Irigasi tradisional di sini didasarkan pada konsensus dan musyawarah.

Prinsip ini mencerminkan partisipasi demokratis. Pengambilan keputusan melalui musyawarah adalah bentuk keadilan prosedural yang tercapai melalui dialog yang rasional dan egaliter.

Irigasi adalah aset bersama yang terkait dengan penggunaan sumber daya air lainnya, sehingga pengelolaannya memerlukan regulasi yang baik. Nilai-nilai tradisional yang terwarisi dari pengalaman irigasi dapat memberikan kontribusi pada pembentukan lembaga pengelolaan irigasi yang modern.

Di Sumatera Barat, pengelolaan irigasi tradisional yang didasarkan pada kesepakatan bersama mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal dan prinsip keadilan. Prinsip-prinsip tersebut perlu diadopsi dan diselaraskan dengan pengelolaan irigasi modern.

Pengelolaan irigasi baik melalui P3A yang dibentuk oleh pemerintah maupun melalui Banda yang berakar pada tradisi di Sumatera Barat merupakan bentuk lembaga. Namun, Banda adalah bentuk lembaga yang mengatur kesepakatan dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan.

Terbentuknya Banda dimulai dari keputusan bersama melalui musyawarah. Setelah sistem irigasi dibangun, masyarakat lokal mulai memikirkan tentang pembagian air dan jumlah debit yang dialirkan ke sawah. Selain Banda, beberapa daerah di Sumatera Barat juga mengenal istilah Paraku, yang merupakan pengetahuan lokal tentang pembagian air yang efisien dan adil.

Jelas bahwa sistem irigasi tradisional menggabungkan pengetahuan teknis dengan manajemen yang didasarkan pada kearifan lokal untuk mengoptimalkan produktivitas lahan pertanian dengan mempertimbangkan aspek keadilan. Dengan memperkuat modal sosial di berbagai tingkatan, pengelolaan irigasi dan keandalan pasokan air yang berkelanjutan dapat ditingkatkan.

Secara jangka panjang, modal sosial akan berfungsi sebagai investasi dan diharapkan dapat mengurangi tingkat kerusakan, terutama yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk di tingkat usaha tani.

Permasalahan terkait air muncul ketika jumlahnya menjadi sangat kurang karena faktor seperti kemarau, kerusakan pada bendungan dan saluran, atau menjadi sangat berlebihan karena banjir, atau kerusakan pada tanggul, dan sebagainya. Peran dan fungsi lembaga dalam pengaturan irigasi muncul ketika dibutuhkan, sementara ketika segala sesuatu berjalan normal dan kebutuhan air dasar terpenuhi, peran lembaga menjadi kurang aktif.

Permasalahan lain timbul saat sumber air terbatas. Pembagian air yang terbatas memerlukan infrastruktur irigasi yang berfungsi dengan baik. Infrastruktur irigasi yang tidak berfungsi dengan baik menyebabkan aliran air tidak lancar. Ketidakberfungsian pintu air mengakibatkan kesulitan dalam pembagian air. Ketidakberfungsian bangunan pengukur menyebabkan pembagian air tidak tepat dalam volume.

Dalam menyediakan layanan irigasi, penting untuk melakukan upaya pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang mengutamakan partisipasi dan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dengan melibatkan semua pihak yang terlibat. Efisiensi dan efektivitas penggunaan air irigasi sangat bergantung pada tindakan para pengelola irigasi (lembaga P3A) melalui pelayanan yang tepat, yaitu tepat waktu, jumlah yang sesuai, dan kualitas yang dibutuhkan oleh tanaman.

Dengan peningkatan luasnya area irigasi yang dibangun oleh pemerintah, baik pemerintah kolonial maupun Republik Indonesia, terdapat dua kerangka pengelolaan irigasi yang berbeda, yaitu berbasis masyarakat tani dan berbasis pemerintah.

Terdapat setidaknya empat tahap perkembangan yang penting untuk diperhatikan sebagai hasil dari interaksi antara kekuatan yang memengaruhi eksistensi kedua kerangka pengelolaan tersebut.


Rahmi Awalina, S.TP.,MP
Dosen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fateta-Universitas Andalas

Baca Juga

Irigasi Banda Taluak Bawah Tuntas, Petani: Sekarang Sudah Bisa Bayar Kuliah Anak
Irigasi Banda Taluak Bawah Tuntas, Petani: Sekarang Sudah Bisa Bayar Kuliah Anak
Inovasi Pertanian: Pemberdayaan Kader PKK Melalui Pelatihan Hidroponik
Inovasi Pertanian: Pemberdayaan Kader PKK Melalui Pelatihan Hidroponik
Bendungan Irigasi Koto Kandis di Pesisir Selatan Mulai Diperbaiki
Bendungan Irigasi Koto Kandis di Pesisir Selatan Mulai Diperbaiki
Faperta UNAND Gelar Konferensi Internasional Bahas Pertanian Berkelanjutan
Faperta UNAND Gelar Konferensi Internasional Bahas Pertanian Berkelanjutan
Transformasi Penyuluhan Pertanian untuk Kaum Muda
Transformasi Penyuluhan Pertanian untuk Kaum Muda
Jalan Usaha Tani di Nagari Gadut Dibuka untuk Tingkatkan Perekonomian Warga
Jalan Usaha Tani di Nagari Gadut Dibuka untuk Tingkatkan Perekonomian Warga