Langgam.id - Sebagaimana di wilayah Indonesia lainnya, warga Kota Padang awalnya bertanya-tanya begitu mendengar pengumuman Letnan Kolonel Untung, Jumat, 1 Oktober 1965 pagi. Melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta, ia telah memimpin gerakan, yang ia sebut "Gerakan 30 September". Dua wartawan Harian Aman Makmur menceritakan suasana Padang lewat buku setelah mendengar pengumuman itu, tepat 55 tahun yang lalu dari hari ini, Kamis (1/10/2020).
Mantan Pemimpin Redaksi Harian Aman Makmur Marthias Dusky Pandoe (alm), dalam Buku "Jernih Melihat, Cermat Mencatat" (2010) menulis, saat peristiwa terjadi, harian yang ia pimpin sudah dibredel penguasa. "Hari itu, Jumat 1 Oktober 1965, pagi, walau tidak terbit, sebagian karyawan tetap kumpul-kumpul di kantor Aman Makmur kendati sedang terbelenggu," tulisnya.
Meski para wartawan dan karyawan Aman Makmur praktis mengganggur karena pelanggaran kebebasan pers oleh pemerintah itu, menurutnya, mereka sudah terbiasa keluar rumah pagi. "Beberapa orang di antara kami ngopi di kios Engko Hin Simpang Olo. Semua membawa topik untuk memulai ota (obrolan), yakni warta berita RRI Jakarta..."
Ia menuturkan, saat itu sulit untuk mengecek apa yang terjadi di Jakarta. "Sistem komunikasi yang memakai telepon manual lewat operator tidak bisa dilakukan. Sentral telepon di Jakarta dikuasai pasukan Untung. Begitu pula studio Radio Republik Indonesia (RRI). Waktu kami konfirmasi mengenai situasi itu kepada Kodam III/17 Agustus, tak ada yang berani buka mulut. Panglima Kolonel Panoedjoe juga bungkam," tuturnya.
Zuiyen Rais yang kelak jadi wali kota Padang adalah salah satu wartawan Aman Makmur yang dididik Pandoe. Dalam autobiografinya "Wartawan Wali Kota: Wali Kota Wartawan" (2019), Zuiyen menulis hal senada dengan Pandoe.
Menurutnya, meski sedang jadi penganggur (karena koran mereka dibredel), semua bekas wartawan Aman Makmur tetap berkumpul secara rutin bersama Pandoe di kantor di Jalan di Damar 54, di depan kantor Surat kabar Haluan lama.
"Hari itu, Jumat 1 Oktober 1965, kami datang lebih pagi, karena dipesankan oleh Uda Pandoe. Selain saya, ada beberapa wartawan Aman Makmur yang datang antara lain Radjalis Kamil, Pasni Sata, Sjafri Segeh, dan Boneh Sutan Mantari," tulisnya.
Zuiyen menulis, sejak pagi mereka berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di Jakarta. "Tapi hal itu sangat sulit. Uda Pandoe mencoba menghubungi Panglima Kodam Kolonel Panoedjoe. Tapi ia bungkam. Sejumlah perwira Kodam III yang selama ini sejalan dengan Aman Makmur, juga tidak tahu apa yang telah terjadi."
Menjelang siang, rombongan wartawan itu pindah duduk ke kedai kopi “Kho Hin” di Simpang Olo Ladang. "Di sini kami menganalisis keadaan dengan merangkai sejumlah fakta dan informasi yang berkembang. Kesimpulan kami adalah: “PKI telah melakukan kudeta dengan membentuk Dewan Revolusi,” tulisnya.
Ia mengatakan, kesimpulan itu bisa ditarik dari berbagai informasi berkembang sebelum itu. Pemimpin Redaksi Aman Makmur, menurutnya, menjalin hubungan baik dengan Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Mayor Jenderal Harsono dan Juru Bicara Kasab Letnan Kolonel Jusuf Siradj. Mayjen Harsono menaungi kelompok wartawan antikomunis di Jakarta.
"Kelompok ini adalah penegak pers Pancasila yang bergabung Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Sebagai penegak pers Pancasila, kelompok wartawan BPS mempunyai misi menjaga dan membentengi Presiden Soekarno dari pengaruh PKI yang ketika itu semakin menguat. Tapi karena misi itu pula BPS menjadi musuh PKI," tuturnya.
Pandoe, menurut Zuiyen, selalu aktif dalam pertemuan-pertemuan BPS. "Karena itu Uda Pandoe sering ke Jakarta. Menurut ceritanya, rapat-rapat BPS yang sangat terbatas dan selektif sekali pesertanya, selalu diadakan secara rahasia dan tempatnya berpindah-pindah. Kadang di rumah Adam Malik di Jalan Balikpapan atau di Pasar Minggu, lain kali di rumah BM Diah."
Hal lain, katanya, karena ada nama Letnan Kolonel Untung sebagai Ketua Dewan Revolusi. Nama ini tak asing di Sumbar. "Ketika penumpasan PRRI, Untung ikut bertugas sebagai Komandan Kompi di daerah Tanah Datar dengan pangkat Letnan. Selesai operasi PRRI, ia balik ke Semarang lalu pindah ke Jakarta dan masuk pasukan elite Tjakrabirawa. Pangkatnya naik dengan cepat. Tahun 1958 masih Letnan dan 1965 sudah Letnan Kolonel. Dalam waktu enam tahun tiga kali ia naik pangkat. Kami menduga ia adalah perwira yang dibina dan disusupkan oleh PKI ke pusat kekuasaan," ujarnya.
Usai salat Jumat, para wartawan itu berkumpul lagi di kantor Aman Makmur untuk melanjutkan mengikuti perkembangan situasi di Ibukota. "Kesimpulan kami bahwa PKI berada di belakang Dewan Revolusi makin kuat. Karena tak lama setelah pengumuman terbentuknya dewan itu, organisasi antek-antek PKI langsung ramai-ramai menyatakan dukungan terhadap Dewan Revolusi," tulis Zuiyen.
Pandoe kemudian mengontak lagi beberapa perwira menengah di Kodam 17 Agustus yang dekat dengan mereka dan diketahui anti-komunis. "Empat perwira menengah Kodam III/17 Agustus, yakni adalah Letkol Sarwani, Mayor Iman Suparto, Mayor Wardjono dan Mayor Ahmad Sjahdin dapat menerima kesimpulan kami. Tapi mereka tak bisa membawanya ke Kodam," tulis Pandoe.
Menurutnya, karena cepat memahami situasi, di Padang kelompok Aman Makmur yang pertama memelopori aksi ganyang PKI. Mereka mengerahkan wartawan dan karyawannya yang sedang mengganggur karena koran mereka dibredel pemerintah orde lama. "Aksi kami lakukan tengah malam sampai menjelang subuh," tuturnya.
Kelompok wartawan ini kemudian membeli cat hitam dan merah untuk melakukan aksi corat-coret “ganyang PKI” di tembok-tembok di berbagai tempat di Kota Padang. "Aksi tersebut kemudian didukung oleh pihak-pihak yang selama ini selalu diteror oleh PKI seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dipimpin oleh Saidal Bahauddin, Asnil Sahim, Sjofjan Asnawi, Sabaruddin Abas, dan lain-lain. Mereka juga didukung oleh sejumlah perwira Kodam III yang antikomunis," tulis Zuiyen.
Wartawan senior Hasril Chaniago pada Selasa (28/9/2020) kepada langgam.id mengatakan, Surat Kabar Aman Makmur adalah harian dengan oplah terbesar di Sumbar pada 1963-1965. "Surat kabar ini didirikan oleh empat sekawan wartawan asal Minang, yaitu Marthias Dusky Pandoe, Darmalis, Saifullah Alimin, dan Mahyudin Hamidy," katanya.
Pendiriannya didorong oleh Mohammad Yamin yang pada 1962 menjabat menteri penerangan. Chairul Saleh, urang awak lainnya yang menjadi wakil perdana menteri ikut mendukung dengan memberi modal.
Terbit pertama kali sebagai surat kabar harian pada tanggal 1 Maret 1963. Media ini membawa misi, membangkitkan kembali harga diri masyarakat Sumatra Barat yang terpukul akibat Pergolakan PRRI. Motto surat kabar ini adalah “Untuk Pembangunan Daerah bagi Kesejahteraan Bangsa”.
Pada Harian Aman Makmur edisi pertama dimuat Sambutan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution, Sambutan Panglima Kodam 17 Agustus Kolonel Soerjosoempeno, dan sambutan sejumlah tokoh lainnya.
Setelah harian Haluan ditutup penguasa karena mendukung PRRI, di Padang sudah terbit lagi dua surat kabar harian. Pertama, Res Publika yang berafiliasi dengan PNI, dipimpin oleh Daranin St. Kayo yang juga Kepala Jawatan Penerangan Provinsi Sumatera Barat. Pemimpin Redaksinya adalah A. Rivai yang berasal dari Semarang. Satu lagi Harian Panarangan yang merupakan koran PKI. Pemimpin Umumnya Amiruddin dan Pemimpin Redaksi Zulkifli Sulaiman.
Menurutnya, suasana di kampung-kampung di seluruh Sumatera Barat ketika itu, masyarakat berada dalam tekanan kaum komunis atau PKI. Banyak teror dilakukan oleh bekas OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat), organ yang dipakai oleh APRI untuk memberantas PRRI. Setelah PRRI usai para (bekas) anggota OPR di kampung-kampung banyak yang ditunggangi oleh PKI dan aktif melakukan teror dan tekanan terhadap masyarakat yang rata-rata bekas pendukung PRRI.
Kehadiran Aman Makmur, menurutnya, membawa misi memulihkan kembali mental dan psikologi masyarakat Sumatera Barat pasca-PRRI. Karena itu, surat kabar ini memang mendapat sumbutan luas masyarakat. Oplahnya sempat mencapai 27 ribu eksemplar. Jumlah yang besar saat itu. Sementara, Res Publika 8 ribu dan Panarangan 3.500 eksemplar.
Disukai masyarakat, namun, Aman Makmur tak aman dari penguasa dan kelompok PKI. Media ini diserang dengan beragam isu. Ada yag menyebut, Aman Makmur adalah reinkarnasi koran Masyumi karena banyak menyiarkan berita dan tulisan bernuansa Islam. Ada pula yang melaporkan Aman Makmur adalah corong Partai Murba karena didukung oleh Chairul Saleh, Mohammad Yamin dan Adam Malik. Organisasi sayap PKI seperti CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) beberapa kali mendemo media ini.
Pandoe berulang kali dipanggil ke Kodam 17 Agustus terkait pemberitaan. Meski demikian, banyak juga perwira Kodam yang mendukung bahkan melindungi. Mereka antara lain Mayor CKH Imam Suparto, Kolonel CKH Jalaluddin Nasution, Kapten Inf. Wardjono, Letkol CZI Mohammad Syarwani, dan Kapten Ahmad Syahdin."
Mereka umumnya perwira Kodam IV/Diponegoro yang datang ke Sumbar pasca-PRRI, tapi termasuk yang anti komunis. Kelak perwira-perwira tersebut punya berbagai peran penting setelah Orde Lama jatuh. Imam Suparto sebelum menjadi Walikota Semarang pernah menjadi Ketua DPRD Sumatera Barat. Wardjono juga pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Barat dan kemudian menjadi Kakanwil Depag Jawa Tengah. Ahmad Sjahdin kelak menjadi Bupati 50 Kota dan Bupati Agam.
Ketika Kolonel Poniman (kelak menjadi Kasad dan Menhankam) diangkat menjadi Kepala Staf Kodam 17 Agustus, Aman Makmur merasa mendapat teman yang lebih kuat di Kodam. Poniman bukan perwira dari Kodam Diponegoro, melainkan berasal dari Kodam Siliwangi. Menurut Zuiyen, simpatinya lebih besar kepada masyarakat Sumatra Barat dan Aman Makmur.
Namun, semua itu tak bisa menghentikan bredel terhadap Aman Makmur. Surat Izin Terbit (SIT) Surat Kabar Aman Makmur dicabut pada 17 Maret 1965 oleh Menpen Achmadi. Menurut Zuiyen, pencabutan media ini bersama sejumlah media yang terafiliasi kelompok BPS karena memuat tulisan Sayuti Melik. Tulisan berjudul “Mendukung Soekarnoisme” itu, mengkritik kebijakan Bung Karno yang semakin condong ke kiri.
Pandoe sempat mengajukan permohonan peninjauan kepada Menpen Achmadi melalui Mayjen Soepardjo Roestam. Namun, Achmadi menjawab, bredel itu sudah keputusan Bung Karno. Setelah dibredel, wartawan Aman Makmur sempat ditampung Koran Tri Ubaya Sakti yang digagas Kepala Penerangan Kodam III/17 Agustus, Mayor Wardjono. Namun, media ini juga tak bertahan lama.
Di masa orde baru, Pandoe kembali mencoba menerbitkan Aman Makmur. Namun, karena bisnisnya tak berkembang, Aman Makmur ditutup pada 1971. Pandoe sendiri akhirnya bergabung menjadi jurnalis Kompas hingga pensiun pada 1990-an. (HM)